Langsung ke konten utama

Postingan

Norwegia, Negara Sarat Nepotisme

Entah sebuah kebetulan atau tidak, cerita au pair saya di 3 negara selalu dimulai dari mengasuh anak balita. Di Belgia , saya dihadapkan dengan anak usia 2 tahun yang sedang giat-giatnya tantrum dan keras kepala. Di Denmark lebih seru lagi, mengasuh bayi usia 4 bulan yang tak cuma seorang, namun kembar! Di Norwegia, tugas saya lebih menantang karena harus jadi au pair, mama pengganti, kakak, serta pengasuh untuk bayi yang usianya saat itu baru 3 minggu, serta si kakak yang belum menginjak 2 tahun. Bisa dibayangkan bagaimana kehidupan saya sebagai au pair yang selalu dibayang-bayangi tangisan dan tantrum dari para balita dengan karakter mereka yang berbeda-beda. Sebagai orang tua yang punya anak balita, apalagi masih bayi, adalah normal rasanya untuk memastikan bahwa anak yang kita titipkan ke au pair baik-baik saja. Apalagi au pair ini hanyalah gadis asing yang asalnya (kebanyakan) dari negara ketiga yang tak punya kompetensi panjang sebagai nanny . Mereka tak pernah dilatih untuk
Postingan terbaru

Si Paling "Hidup di LN Faktanya Tak Enak"

Lagi-lagi, menemukan topik seru di Twitter. Suatu hari, seorang imigran Indonesia membuat utas tentang asumsi orang-orang yang mengatakan negara tempat tinggalnya enak, padahal aslinya tak demikian. Dari mulai mahalnya harga permak celana, sulitnya jasa percetakan, hingga absennya tukang bakso keliling. Lalu sebuah balasan warganet cukup mencolek saya, " orang Indonesia yang tinggal di LN ini selalu promosi hidup di LN gak enak, tetap saja gak mau pulang dari sana ". Tiba-tiba saya berpikir, lho iya juga ya . Sedikit tersentil, karena orang Indonesia yang sering promosi kekurangan tinggal di luar negeri itu salah satunya saya sendiri. Lewat blog ini, saya juga membanjiri cerita pengalaman tak mengenakan yang berbeda dengan banyak konten bahagia diaspora di media sosial. Saya juga seringkali menjelekkan negara tempat tinggal dan kadang masih membandingkannya dengan kampung halaman di Indonesia. Padahal sedekade ini tinggal di Eropa, harusnya sudah di fase 'menerima' b

Obrolan Para Diaspora Tentang Izin Tinggal

Suatu hari, lima orang imigran yang punya latar belakang berbeda berkumpul di satu meja membahas politik Norwegia. Empat dari mereka sebut saja Ana, Bao, Choi, dan Dee. Percakapan ini diawali dari sebuah pertanyaan tentang " apa fungsi ganti WN Norwegia? " ketika jawaban yang selalu dilontarkan hanyalah " ohh, kamu bisa dapat hak suara saat pemilu " atau " ohh, kamu bisa jalan-jalan ke banyak negara tanpa mengajukan visa "   —  visa ke Amerika maksudnya. Lama-kelamaan topik tak menarik lagi, obrolan berganti tentang status izin tinggal masing-masing. Ana sedang proses memperbarui izin tinggal keluarga ( reunification family ) karena menikah dengan warga lokal. Bao sedang riset tentang job seeker permit  karena masa studinya akan segera berakhir. Choi sedang berbahagia akan segera mengajukan izin tinggal permanen. Dee sudah cukup secured di Norwegia namun masih pusing akan mendaftarkan anak ke penitipan yang mana, mengingat antrian selalu panjang. Lalu yan

Sah: Program Au Pair di Norwegia Resmi Dihentikan!

Setelah melalui proses persidangan yang dimulai 29 Maret 2023, keputusan pemerintah Norwegia untuk menghentikan program au pair nyatanya terealisasikan. Per 15 Maret 2024, UDI ( Utlendingsdirektoratet ) atau imigrasi Norwegia sudah tak lagi menerima aplikasi baru au pair ( first time application ) dan terakhir menerima aplikasi baru hingga tanggal tersebut mengikuti persyaratan yang berlaku. Imigrasi juga tetap melayani para au pair yang sekarang sudah tinggal di Norwegia dan berniat memperbarui izin tinggal maksimum hingga 24 bulan selama kontrak berlaku. Pun bagi yang masih tinggal di Norwegia, tetap bisa melanjutkan kontrak mereka hingga selesai tanpa terganggu keputusan tersebut.  Keputusan ini pun disambut bahagia oleh LO Norge ( Landsorganisasjon ), serikat pekerja nasional, yang sudah 12 tahun menyuarakan gagasan untuk menutup program au pair di Norwegia. LO menganggap bahwa program au pair yang tadinya bertujuan untuk cultural exchange sudah berubah fungsi menjadi praktek pe

Au Pair: Diskriminasi Usia?

Setidaknya selama 3 bulan ke belakang, saya sudah beberapa kali menyimak kericuhan jagad Twitter tentang diskriminasi usia yang masih membebani masyarakat Indonesia saat cari kerja dan daftar beasiswa. Baru-baru ini, karena pendaftaran beasiswa LPDP dibuka kembali, kericuhan terjadi lantaran batas usia pendaftar dianggap tak masuk akal dan sangat diskriminatif. Maksimal 35 tahun bagi pendaftar Master, serta 40 tahun bagi pendaftar Doktoral. Padahal membatasi usia hingga 35 tahun bagi yang ingin dapat beasiswa S2 membutakan apa yang terjadi di realita. Faktanya, justru malah banyak yang ingin lanjut kuliah di akhir 30 tahunan dan tetap layak dapat beasiswa. Sebetulnya batasan usia sebagai syarat administrasi bukan hal baru lagi dan sudah lama prakteknya. Tak hanya di Indonesia, tapi juga negara-negara di Asia Timur. Saya ingat betul beberapa tahun lalu berniat cari beasiswa di Asia, batasan usia sebagai persyaratannya pun nyaris serupa. Karena adanya batasan umur inilah, akhirnya saya b

Cara Terbaik Menikmati Makanan (dan Nongkrong) di Norwegia

Setelah misuh-misuh perkara restoran di Norwegia yang seringkali tak memenuhi ekspektasi , ada baiknya saya berbagi dari sudut pandang orang lokal bagaimana cara mereka bersosialisasi dan menikmati makanan. Biar adil. Betul, Norwegia bukan tempat yang tepat berwisata kuliner layaknya Denmark. Betul juga, Norwegia tak punya tempat nongkrong asik di ibukota dan kehidupan malamnya cenderung pasif, tak serupa Swedia. Kehidupan di Norwegia sesungguhnya sederhana. Kuncinya, memanfaatkan sumber daya alam yang tak dimiliki Denmark dan Swedia. Sesimpel itu, karena memang tak ada yang lagi bisa disyukuri orang lokal selain keindahan alamnya yang fantastis. Baca juga: 10 Alasan Norwegia Tak Cocok Untuk Destinasi Liburan Orang Indonesia God is kind. Meskipun negara ini lebih dekat dengan kutub utara dan punya musim dingin mencekam, namun habitat alam Norwegia cenderung aman. Norwegia tak punya banyak hewan buas seperti di negara-negara tropis, kecuali beruang yang lebih sering dijumpai di utara s

Melarikan Diri, Perbaikan Gizi

Dari pertengahan tahun lalu, saya sudah visioner untuk tak ingin menghabiskan liburan Natal dan Tahun Baru 2024 di Eropa. Sekali ini Eropa tak masuk dalam daftar rencana tahunan. Apalagi mengingat pengalaman di Paris awal tahun lalu membuat saya trauma dan merasa Eropa jadi tak menarik lagi. Sombong sekali, tapi perasaan tak ada yang abadi. Kemarin happy , bisa jadi hari ini sedih.  Secara impulsif, rencana liburan akhir tahun berdua dengan adik pun dibuat spontan tanpa berpikir apakah finansial siap. Haha! Ini adalah kali ke-4 saya reuni dengan si adik dalam setahun. Sebetulnya ada keinginan pulang sejenak ke Indonesia, tapi tiket cukup mahal dan liburan kurang dari 2 minggu rasanya terlalu tanggung. Ingin ke Taipei, tiketnya juga masih mahal di akhir tahun apalagi untuk dua orang. Lucunya, mendadak terpikir Cina karena baca berita negara ini sudah mulai buka normal lagi pasca Korona dan harga tiketnya terbilang murah dari Oslo. Tanpa pikir dua kali, booked ! No lie, the more I live i