Tiba-tiba kepala saya terasa sangat berat beberapa jam setelah tiba di guesthouse. Niatnya ingin langsung walking trip ke beberapa landmark kota Melaka setelah jam makan siang, tapi cuaca di luar benar-benar tidak mendukung. Panasnya sangat terik dan sama sekali tidak bersahabat untuk jalan santai. Beberapa bus wisata membawa turis keturunan Tionghoa mondar-mandir di depan guesthouse. Saya juga baru ngeh kalau guesthouse tempat saya menginap berada di Chinatown-nya Melaka yang menjadi salah satu objek wisata di sini.
Yang tadinya mau jelajah kota dari siang sampai malam, akhirnya saya dan dua orang adik baru keluar dari guesthouse jam setengah 5 sore. Dikiranya matahari bakalan lebih bersahabat, tapi ternyataaa sinar matahari masih menyilaukan dan bikin muka saya memerah. Saya juga awalnya ogah-ogahan beranjak dari kasur karena rasa nyeri di kepala masih menempel. Namun, saya paksakan juga sih. Lagian adik saya sudah merengek-rengek minta dibawa jalan-jalan.
Kali ini entah kenapa saya tidak penuh persiapan saat traveling. Saya malah lupa nge-print peta Melaka dan cuma mengandalkan ingatan saja. Duuhh, mana sempat nyasar pula di tengah kota yang panas. Untungnya saat makan siang, di warung makan saya bertemu dengan bapak-bapak ramah yang bersedia memberikan peta-nya untuk kami. Selain ramah, bapak ini juga doyan sekali bicara. Saat kami makan, saat kami minum, saat kami berjalan untuk sekedar mengambil sendok, dia tidak berhenti mengajak bicara. Saya sampai kebosanan dan senggol-senggolan siku dengan adik saya. Kapan nih dia berhenti ngomong, pikir saya saat itu.
Tapi terima kasih atas petanya, Pak. Akhirnya saya tidak buta arah lagi. Lagian peta di-guesthouse sama sekali tidak membantu. Mereka hanya mencetak peta yang tidak menunjukkan arah jalan kota, manapula cuma difotokopi lagi.
Dari informasi yang saya temukan di internet, pusat landmark kota Melaka sebenarnya dapat ditempuh dengan berjalan kaki kalau kita memilih penginapan yang tepat. Dua tempat yang saya ingin kunjungi saat di Melaka adalah Jonker Walk atau Jonker Street dan Dutch square. Dari beberapa foto di internet, suasana jalan berwarna merah meriah yang ramai adalah salah satu daya tarik tempat ini.
Sebenarnya jalan ini adalah jalan lurus biasa yang sama sekali tidak ada denyutnya di hari Senin hingga Sabtu. Saya juga baru tahu dari seorang sopir taksi, Jonker Street ramai hanya di hari Minggu. Hoh, untung banget saya kesini tepat di hari Minggu. Saya sempat ingin mengganti jadwal ke Melaka di hari Senin soalnya.
Dari pangkal ke ujung Jonker Street banyak kios atau toko-toko yang menjual barang yang hampir sama. Tapi semakin ke ujung, harga barang yang ditawarkan biasanya akan semakin murah. Selain barang-barang lucu, disini juga tersedia berbagai macam makanan kecil yang membuka kedainya di pinggir jalan.
Saat kami datang kesini, bus-bus pariwisata mulai memenuhi jalanan. Sebelum memasuki kawasan Jonker Street kami melewati Dutch square atau biasa dikenal dengan Red square, area Christ Church dan The Stadthuys berada, yang kanan kiri bangunannya berwarna merah bata. Bangunan yang sudah ada abad ke-18 ini merupakan peninggalan kolonial Belanda, yang saat pertama kali dibangun bukan berwarna merah. Ada banyak alasan dan cerita yang menyebutkan mengapa kawasan ini di-cat merah. Namun salah satu alasan yang lebih masuk akal adalah dikarenakan kurangnya pemeliharaan. Merah batu laterit yang digunakan untuk membangun The Stadthuys lama-kelamaan memutih dikarenakan hujan yang yang sering terjadi cukup deras. Untuk menghemat biaya pemeliharaan, di abad ke-19 kawasan ini disulap Inggris menjadi merah seluruhnya biar seragam dengan warna merah batu. Bukan cuma disini, di beberapa bangunan tua dan ruko di sekitar tempat ini juga akhirnya ikutan di-cat dengan warna serupa.
Di tempat ini juga terdapat pasar kaget dan banyak becak dengan rangkaian bunga warna-warni yang siap mengantar kita menjelajah kota. Tapi saya tidak sempat naik sih, cuma mengabadikan fotonya saja. Sayangnya sinar matahari masih saja terik dan terang benderang di jam 6 sore. Eh, tapi sakit kepala saya hilang nih gara-gara diajakin jalan dan keringatan. Karena sudah menyerah dengan teriknya matahari, akhirnya kami cuma berleye-leye santai di pinggir sungai sembari memperhatikan kapal yang lewat membawa peserta tur.
Di tempat ini juga terdapat pasar kaget dan banyak becak dengan rangkaian bunga warna-warni yang siap mengantar kita menjelajah kota. Tapi saya tidak sempat naik sih, cuma mengabadikan fotonya saja. Sayangnya sinar matahari masih saja terik dan terang benderang di jam 6 sore. Eh, tapi sakit kepala saya hilang nih gara-gara diajakin jalan dan keringatan. Karena sudah menyerah dengan teriknya matahari, akhirnya kami cuma berleye-leye santai di pinggir sungai sembari memperhatikan kapal yang lewat membawa peserta tur.
Jam setengah 7 malam, matahari baru berlalu dari singgasananya. Menyisakan sinar oranye yang menjadi alarm bahwa kami harus kembali ke guesthouse. Tapi satu hal yang saya kurang suka dari kota ini, sepi! Gara-gara sepi ini, transportasi di kota juga lumayan susah. Di buku traveling yang saya baca, disebutkan kalau bisa naik bus panorama untuk menyusuri berbagai macam landmark di pusat kota. Tapi setelah ditunggu hampir satu jam, bus-nya malah tidak muncul-muncul.
Saya tidak bisa membayangkan kalau di kota ini tidak ada Jonker Street yang meriah, mungkin hari-hari lain akan berjalan biasa saja. Sepi, terlampau tenang, dan cukup membosankan, mungkin?
Komentar
Posting Komentar