Kapan pulang? dan masih betah disana? adalah dua pertanyaan dominan yang paling sering ditanyakan ke saya dari setibanya di Eropa. Biasanya pertanyaan semacam ini sering sekali dilontarkan oleh teman-teman yang memang masih berkontakan via media sosial. Saya tahu, pertanyaan ini hanya basa-basi terlepas dari apa kabar?.
Bosan sekali ditanya pertanyaan demikian, belum lagi belakangan ini ada satu pertanyaan tambahan, kapan nikah?. HELL OH! Nyaris tiga tahun hijrah ke Eropa, saya kira hanya saya saja yang belum menemukan jodoh di usia segini, tahunya dari 36 mahasiswa seangkatan kuliah dulu, baru 9 orang yang menikah. Ehe.
Jujur saja, saya sangat betah tinggal di Eropa dengan segala kebebasan, kemudahan, kecanggihan, dan kemajuan yang benua ini miliki. Travelling jadi sangat mudah karena letak satu negara ke negara lainnya begitu dekat. Belum lagi, banyak festival dan konser musik internasional yang sering digelar di Eropa. Kalau mau jujur, terlepas dari ukuran ibukota ini, saya lebih kenal Brussels dan Kopenhagen ketimbang Jakarta. I am so scared and feel lost in Jakarta.
Tapiiiii...percayalah, dari banyak kebobrokan, kedangkalan, kesulitan, dan kemacetan yang Indonesia miliki, saya tetap rindu kampung halaman. Bagi saya, home is where my mom is. Jadi selama ibu saya masih tinggal di Palembang, saya tetap akan menyebut kota itu sebagai rumah.
Saya bersyukur sekali bisa hijrah ke Eropa dan mencoba hal-hal baru yang tidak akan pernah bisa saya cicipi di Palembang. Meskipun tercatat sebagai kota terbesar ketujuh di Indonesia, tapi Palembang memang tidak bisa disamakan dengan kota-kota lain di Pulau Jawa. Akses informasi masih lambat, tren kadang ketinggalan, bukan kota seni, tidak banyak tempat hang out, dan sulitnya mencari pekerjaan di industri kreatif selain jadi PNS.
But, man, I miss this city so bad! Saya lahir dan dibesarkan di kota ini. Dari kecil main becek, main layangan, menangkap capung, sampai jadi manusia modern pun saya rasakan di Palembang. Saya rindu dengan orang-orang Palembang yang besar omong dan belagu, tapi sebenarnya rendah diri dan penakut.
Sama seperti kota-kota besar lainnya, orang Palembang juga tetap update dengan tren terbaru dan sering show off. Anak-anak gaul juga sering nongkrong di mall dan kafe. Namun tak jarang, anak-anak gaul juga makannya di pinggir jalan, pecel lele 15 ribuan.
Orang Palembang sekarang sudah konsumtif dan hedonis, tapi bukan berarti mereka tidak tahu dimana tempat belanja murah. We still adore Pasar 16! Banyak mall yang parkirannya selalu penuh saat akhir pekan, tapi mereka juga tahu bahwa Benteng Kuto Besak menyajikan hiburan dan tempat makan lain di sisi Sungai Musi.
Saya selalu rindu pempek, model, kemplang, martabak Har, dan segala penganan khas Palembang yang mustahil bisa saya dapatkan di Denmark. Pernah suatu kali, saya sampai menangis rindu mencicipi makanan Palembang saat beberapa bulan tiba di Denmark. Salah sekali jika pendatang mengatakan bahwa pempek terenak hanya yang ada di toko-toko besar. Nyatanya, warung pempek dari yang termurah sampai termahal ada di setiap sudut kota Palembang. Semuanya enak!
Lalu kenapa tidak bikin sendiri? Beda rasanya. Bagi saya, pempek terbaik itu yang dibuat dari olahan daging ikan gabus yang lembut. *Alasan! Padahal malas bikin sendiri*
Saya juga rindu pepes ikan Patin pedas buatan nenek dan pindang tulang buatan Uwak Jakyah di Palembang. Rindu sate manis dan sate Padang di dekat rumah. Rindu (sekali!!) mie ayam Bang Ilham di dekat SMA saya dulu. Rindu juga kehidupan masyarakat Tionghoa yang selalu akur dengan masyarakat pribumi di area yang saya tinggali.
Meskipun makanan adalah hal utama yang selalu saya (dan para perantau lain) rindukan, tapi saya juga rindu keluarga dan teman-teman baik di Indonesia. Sulit sekali menemukan teman sebaik teman-teman lama saya di Palembang. Kami memang jarang bicara via media sosial, tapi saya selalu sadar, kadang hanya mereka yang mengerti tentang cita-cita dan perasaan saya terdalam. Because we grew up and fought for dreams together.
Saya selalu kagum dengan kemudahan dan kecanggihan akses transportasi di Eropa. Saya juga selalu sebal dengan kemacetan lalu lintas kota Palembang sekarang ditambah lagi dengan para pengendara yang tidak mau mengalah. Tapi kadang, saya rindu angkot biru, kuning, merah, hijau, yang sempat jadi moda transportasi sejak SMP dulu.
Saya cinta setiap sudut Kopenhagen yang aman, tenteram, dan damai. Tapi saya juga rindu dengan keramahan tetangga, tukang ojek yang saya kenal, dan anjing Tante Jar di Palembang.
Kopenhagen memberikan kemewahan dalam segala hal. Tapi saya juga rindu dengan kesederhanaan orang-orang Palembang dalam hidup. Orang-orang Palembang memang tidak terlalu banyak memiliki harapan tinggi terhadap cita-cita dan masa depan. Pun begitu dengan kebahagiaan. Bagi kami, makan pempek plus cuko atau model panas-panas di warung pinggiran adalah sebuah kebahagiaan di hari itu.
Saya sangat betah hidup di Eropa dan jauh dari kekepoan individu. Tapi saya juga sering kesepian dan sedih jauh dari orang-orang dan makanan tercinta. Selain berkomunikasi dengan keluarga dan teman lewat media sosial, saya juga sering menonton Studio 42 UHF tentang Kelakar Betok khas joke-joke Palembang yang selalu membuat ngakak.
Dang! I miss Palembang.
Dang!!!..... You make me miss home too! 😣😢😢😢🏠
BalasHapusUhh.. I thought it was only me :(
Hapussis Nin punya channel yutub gak? kalo ada apa namanya? ingin sekali saya bisa lihat perjalanan dan bahasa2 eropa. saya kerja dengan orang denmark dia dari silkeborg. jadi kepo segala sesuatu tentang denmark....
BalasHapusHalo Rofi,
HapusSaya gak bikin channel emang. Gak ada waktu nih. :)
Tapi semoga imajinasi tentang Denmark lewat tulisan saya bisa bermanfaat ya.