Saya sebenarnya bersumpah untuk tidak berkencan dengan cowok manapun lagi. Alasannya simpel, saya akan meninggalkan Denmark dalam waktu dekat. Lagipula, berkencan itu melelahkan. I'm fed up already!
Aplikasi dating semacam Tinder sudah saya hapus sejak tahun lalu. Meskipun sering buka tutup OKCupid, tapi hanya situs kencan satu ini yang masih saya pertahankan. Saat bosan melanda, sering iseng saya buka walaupun tujuannya hanya untuk mengecek siapa yang mengunjungi profil saja.
Suatu hari, saat mengecek profil, satu foto menarik perhatian saya. Bukan soal tampangnya, tapi matanya. Bukan warna biru seperti kebanyakan orang Denmark lainnya, tapi abu-abu muda yang sangat cantik dan berbeda.
"Nice eyes. You're welcome," kata saya mengawali sekalian mengakhiri obrolan.
Jujur saja, tidak sekali ini saya mengirim pesan duluan ke cowok-cowok di situs kencan. Kalau profil atau foto mereka menarik, biasanya saya tidak malu memuji duluan. Tujuannya bukan breaking the ice, tapi benar-benar murni memuji. Meskipun ujung-ujungnya kadang hanya dibalas, "Thank you."
Benar saja, si cowok bermata abu-abu ini lalu membalas pesan saya. Tidak hanya ucapan terima kasih, tapi berusaha untuk mencari topik obrolan agar berlanjut. Satu, dua, tiga pesan pendek, lalu seterusnya selalu dibalas pesan panjang.
"It's too bad I cannot meet you this weekend. Saya mau liburan dulu ke Austria nih," kata saya saat doi mengajak ketemuan.
"Ah, that's okay. I will meet you when you're back then!"
Sampai akhirnya satu minggu berlalu, saya dan dia masih saja balas-balasan pesan lewat OKCupid setiap hari. Doi juga kadang jadi tempat sampah berbagi uneg-uneg saat saya sudah muak di Paris.
"I'm flying back home tonight! Semoga bisa ketemu besok ya," kata saya mengakhiri obrolan sebelum pesawat lepas landas.
*
Sabtu sore, saya dan dia janjian ketemuan di stasiun metro Frederiksberg. Stasiun ini memang sangat dekat dengan taman yang akan jadi tempat kencan pertama kami. Yang saya suka saat berkencan dengan orang lokal adalah mereka biasanya tahu tempat-tempat mana saja yang tidak terdeteksi oleh turis. Makanya saat doi menyarankan dating di Landbohøjskolens, saya dengan mantap langsung mengiyakan.
Bagi saya, kencan pertama serasa bertemu teman baru. Pun saat bertemu dengan doi, sudah tidak ada lagi rasa gugup. Saya mengembangkan senyuman saat baru tiba di stasiun dan melihat cowok kurus tinggi langsing berjalan menghampiri saya. It's him!
"Finally!" kata saya lalu memeluknya.
Bunny, panggilan saya ke dia, memakai kemeja hitam saat itu. So typical Danish! Rambutnya cokelat tua berbelah pinggir, berewokan seperti cowok-cowok zaman sekarang, tapi tetap cute dengan mata abu-abunya. Doi memang tipe cowok Denmark yang mudah ditebak, sopan, namun sangat hangat. Karena tidak ingin terlihat kaku, Bunny juga tidak berhenti mengeluarkan jokes sepanjang perjalanan di taman. Sangat mirip dengan gaya obrolan kami yang jarang serius di texting. Karena saat itu Bunny juga lagi sibuk mengerjakan tugas akhir masternya, topik obrolan pun kadang nyangkut ke tesis dia.
"I'm boring. I know," katanya rendah diri saat menyadari saya mulai menguap mendengar doi menjelaskan tentang si tugas akhir.
Kencan saya dan Bunny hari itu berlangsung cukup lama. Tidak hanya di taman Landbohøjskolens, saya dan dia juga mampir ke kedai es krim sekalian mengitari daerah Frederiksberg. Rute kali itu, taman, es krim, lalu taman lagi.
"Do you want to sit above my jacket?" tanya Bunny seraya menggelar jaket hitamnya di atas rerumputan.
"No. That's fine. I can just sit on the grass."
"Well, saya kira saya bisa jadi gentleman karena menawari jaket," katanya sambil tidak berhenti menatap mata saya.
Jleebbb... There's something on him. Sesuatu yang membuat saya ingin mengenal dia lebih jauh. Tapi karena terlalu geer ditatap begitu terus, saya langsung melirik jam tangan.
"Sudah jam setengah 8. Kamu mau cari makan buat dinner kah?"
"Hmm.. Sebenernya belum lapar. But, if you think you are, let's go grab some food!"
Kebingungan ingin makan apa, ujung-ujungnya saya dan dia mampir ke kedai pizza. Tidak ingin menghabiskan waktu hanya di dalam ruangan, kami pun membawa si pizza ke taman lain yang masih berada di daerah yang sama. Kami memilih duduk di perairan, yang sialnya, berdekatan dengan bebek-bebek yang lagi mondar-mandir santai. Karena mencium aroma pizza, sekawanan bebek berjalan ke arah kami. Cukup mengganggu, karena harus makan sekalian mencegah para bebek agar tidak mematuk makanan kami.
"Well, we have friends to eat with now," kata Bunny sambil mengunyah sandwich pilihan dia.
Sudah jam 9 malam. Hari sudah mulai gelap, tapi saya dan dia masih duduk kaku di tempat yang sama. Obrolan pun masih terus berlanjut dari soal si bebek, orang-orang yang lewat, hingga apa yang mesti kita lakukan setelah dinner ini.
"Let's take a walk a bit!" saran Bunny.
It seemed like we never wanted to go home. Bunny membuat kencan hari itu begitu santai namun tetap romantis. Meskipun sempat grogi juga karena sering ditatap, tapi jokes-nya selalu membuat saya tertawa kecil. Hingga 10 menit kemudian, saya kebelet ingin ke toilet.
"Ehmmm... kita mesti jalan balik ke belakang kalo kamu ingin pip.."
"No!" kata saya menginterupsi. "That's impossible! Saya bener-bener sudah kebelet. Lagian sudah jam setengah 10 ini. Kamu yakin kalau toiletnya masih buka?"
"Well, I'm not that sure."
"Itu!" kata saya seraya menunjuk daerah pepohonan seperti hutan mini di tengah taman. "Saya mesti kencing di semak-semak itu."
Tanpa babibu, Bunny langsung saja menuntun saya menuju semak-semak dan sedikit berkeliling mencari posisi yang pas agar tidak terlihat oleh orang yang masih berlalu-lalang.
"Oke, kayaknya saya juga mau pipis nih," katanya sambil membelakangi saya.
Saya yang masih sedikit canggung, akhirnya terpaksa menunggu si Bunny kencing dulu lalu menyuruhnya menjauh. Gila! Kencan apa-apaan ini?!
"It was quite challenging and fun, you know?! Kencing di semak-semak. Haha!" kata si Bunny sambil tertawa kecil.
"Iya. Di kencan pertama pula. What a shame!"
"But, do you think we're gonna meet again?" tanya Bunny saat kami sudah dekat dengan gerbang taman.
"I don't know. It's not only about me, but also about you. Kamu mau ketemu saya lagi kah?"
"Of course!"
waw.... love this story ^_^
BalasHapusOhh really? 😅
HapusThank you deh ya.
Hi.. Nin? Just stumbled upon your blog when I looked for information about learning spanish. I really like your writing! I hope to see more about it in the near future
BalasHapus*lanjut baca entri lain
Halo, Han :)
HapusMakasih udah mampir dan kasih komen. Lanjut dibaca-baca, semoga dapat informasi yang oke ya.
Cheers!
Hi Nin, cerita ttg si Bunny ini menarik. Apakah dgn dia masih berlanjut sampai skrg kah?
BalasHapusHalo Fenny,
HapusIya. Dia mah emang unik dan aneh anaknya :p
Kira-kira masih lanjut gak ya? Uhhhmmm....
Hai.. boleh minta IG kk nggak??
BalasHapusGak punya. Huhu :<
HapusSerasa baca novel tp inin based on true storie
BalasHapusHihihi.. Emang kayak kisah yang di novel-novel gitu ya? ;p
HapusAhh baper bacanya..
BalasHapusHello nin, im ur new viewer
Aahhh so cute :)
HapusEnjoy my blogposts ya!
Hello sist Nin, I'm your new viewer too. I enjoy reading your blog, really inspiring :)
BalasHapusThank you so much!!! :)
HapusHello..
BalasHapusSalam kenal
Saya suka dgn tulisan mu
mau tanya nin...kalo kencan sama bule gitu pas pertama kencan gitu yang traktir siapa ya? kalo di Indonesia kan memang biasanya cowok ya..nah kalo di luar gitu, apakah sama?
BalasHapusBule tuh beda2. Gak bisa semuanya dipukul rata. Ada yang royal karena banyak uang, ada yang banyak uang tapi maunya bayar2 sendiri karena equality. Intinya satu, gak ada satu bulepun yang mau jadi ATM berjalan untuk istrinya. Kalopun doi royal, bisa jadi karena orangnya memang baik dan niat membantu ATAU emang doi sengaja ngebeli cinta & perhatian kamu lewat uang dan barang mahal, biar kagak ditinggal! Maklum, biasanya kurang laku di negaranya ;D
HapusCoba baca postingan aku di sini deh:
https://www.artochlingua.com/2019/02/pacaran-siapa-yang-bayar.html
Aahh so sweet, terus baca tulisan akhir nya ngakak pip di semak :D
BalasHapus