Selama jadi serial dater di Belgia dan Denmark, hampir semua cowok yang saya ajak jalan adalah para bule berhidung mancung dan berkulit putih pucat. Pernah satu kali, saya berkenalan dengan cowok Vietnam yang lahir dan besar di Hungaria, lalu diajak berkencan ke satu pub di Lyngby. Sayangnya, meskipun sama-sama Asia, saya merasa tidak nyaman karena si doi kebanyakan hanya bicara tentang dirinya sendiri. Boring! Blacklist dari kencan kedua!
Awal tahun tadi, saya yang masih aktif buka-tutup OKCupid mendapatkan satu pesan dari cowok berakun mainstream "Asian_Guy". Sudah namanya terlalu norak, fotonya pun hanya satu. Benar-benar tidak menarik perhatian. Fotonya juga tidak saya buka dengan jelas.
Tapi karena pesannya cukup jenaka dan berbeda, saya niat juga bertukar pesan dengan dia. Cowok asli Korea yang sudah lama tinggal di Amerika tersebut ternyata sedang berada di Kopenhagen karena urusan bisnis. Alih-alih mengajak kenalan, si cowok yang bernama Sung-kyung itu malah minta rekomendasi saya tempat makan dan minum yang oke di Kopenhagen. Lha, memangnya saya tourist information?
"Kamu betul-betul hanya minta rekomendasi atau ada unsur kencan di balik pertanyaan itu?", tanya saya yang berharap akan diajak kencan. Uhukk.Murahan.
"Minta rekomendasi. Soalnya saya bingung dengan sistem kerja di Denmark. Pulang kantor, orang benar-benar langsung pulang. Saya ajak nongkrong dulu, mereka tidak mau. I have no friends to talk or just drink with after working."
"Yaudahlah, saya temani! Rabu malam ya," tawar saya yang sebenarnya ikut kasihan dengan si doi.
Sebenarnya malas juga ucuk-ucuk datang ke Kopenhagen di hari kerja, apalagi malam. Tapi karena memang di hari itu saya ada kelas desain di kota, makanya masih ada waktu sebentar menemani si Korea minum-minum.
Dari setelan fotonya yang formal dan juga lingkup kerjanya yang terlalu profesional, saya mengajak Sung-kyung minum-minum ke bar koktail favorit saya, Bar 7, yang fancy dan tidak jauh dari hotel dia menginap di pusat kota. Karena memang janjian di Rabu malam, banyak sofa kosong yang bisa bebas dipilih. Coba kalau datang kesini saat akhir pekan, duh, berdiri saja susah.
Sekitar 10 menit menunggu, saya melihat seorang cowok yang celingak-celinguk dari luar bar mencari pintu masuk. Agar tidak terlihat terlalu memperhatikan, saya langsung baca menu dan pura-pura tidak tahu saat dia masuk.
"Uhmm, sorry, are you Nin?" tanya Sung-kyung mendekati sofa saya. Sangat mudah memang menebak saya yang mana, karena hanya saya sendiri yang berparas Asia di bar saat itu.
"Oh, hello, hi. Yes, I am Nin," kata saya sambil menjabat tangannya.
Iya, jabat tangan. Terkesan terlalu kaku dan profesional kan? Body language Sung-kyung menunjukkan jarak yang memang hanya sebatas jabatan tangan saat bertemu orang baru. Oke.
Sung-kyung duduk berhadapan dengan saya di sofa depan tanpa melepas jaketnya terlebih dahulu. Matanya hanya segaris tanpa lipatan, mirip orang Korea asli. Badannya tinggi tegap, meskipun sedikit berisi. Rambut halusnya dibiarkan tak tersentuh gel sehingga membuat poni-poni kecil jatuh menutupi dahinya. Suer, Sung-kyung terlihat super imut dan jauh dari ekspektasi saya.
"Are you really 31?" tanya saya menyangsikan keimutan muka dan gayanya yang masih seperti abege.
"I am. Tapi tidak cuma kamu yang bingung, saya malah dibilang seperti anak umur 17 tahun waktu perkenalan diri di kantor. Huhu."
Oke. Saya hanya punya waktu satu jam setengah menemani Sung-kyung minum. Obrolan yang tadinya kaku, akhirnya mulai mencair saat kami mulai sedikit terbuka tentang kehidupan pribadi. Sung-kyung pun sempat mengomentari tentang gaya kerja orang di kantornya serta bebasnya bermesraan di Denmark. So cute!
Yang saya suka juga, karena Sung-kyung sudah lama sekali tinggal di Amerika, jadi aksen Amerikanya begitu kental dan sangat enak didengar. Suaranya pun renyah tapi tegas.
Entah kenapa, meskipun baru kenal Sung-kyung 3 hari, tapi dia sudah bisa menggambarkan sifat cowok Korea yang memang sedikit mirip dengan yang ada di drama. Selain super perhatian dan lucu, Sung-kyung juga tidak rela membiarkan saya membayar bon minum. Doi pun sampai berulang kali minta maaf kalau sudah mengganggu waktu saya menemani dia minum-minum.
Aaahhh ~
Wednesday-winter night in Copenhagen, it's so melting and warm.
Kamis malam adalah malam kedua saya menemani Sung-kyung minum-minum di kota. Rencana kami selanjutnya adalah menuju bar lain tak jauh dari Bar 7. Tapi karena Denmark sedang diguyur salju dari sore, akhirnya kami batalkan rencana itu. Sung-kyung menawarkan opsi lain untuk minum-minum di bar hotel tempat dia menginap saja.
Bayangkan, sampai jam 10 malam, salju tak kunjung reda hingga menutupi hampir semua ruas jalan di pinggir kota. Saya juga seperti maju mundur akan datang atau tidak. Tapi demi minuman gratis, saya pun langsung pasang jaket, lalu meluncur bersepeda ke stasiun kereta menuju Kopenhagen.Astaga, murahan.
Sung-kyung sudah menunggu di lobi saat saya datang. Karena sudah cukup terbuka di kencan pertama, Sung-kyung tidak segan membantu membawakan jaket saya saat kami pindah sofa. Doi pun sengaja mengunduh banyak permainan untuk drinking games malam itu.
"Come on! Tujuan kita malam ini kan minimal tipsy," katanya memberi semangat gila.
Kalau dihitung-hitung, kami mungkin sudah memesan lebih dari 10 gelas koktail dari bar hotel. Semuanya dia yang bayar.
Tidak hanya sampai disitu. Takut kelaparan di tengah malam, saya dan dia belanja dulu ke supermarket 24 jam yang super dekat dengan hotelnya. Layaknya emak-emak, Sung-kyung juga menyuruh memilih semua makanan dan minuman yang saya suka untuk dibawa ke hotel. Lagi-lagi semuanya dia yang bayar. Tapi ujung-ujungnya saya cuma memilih satu kaleng cider saja. Sementara dia, kembali mengisi keranjang belanjaan dengan bir kalengan dan ciki-cikian.
"Cuma satu? Ambil deh dua!" katanya saat melihat saya memasukkan satu kaleng cider ke keranjang.
Duh, baiknya, Bang.
Saat mulai lelah karena tipsy, Sung-kyung mengajak istirahat di kamarnya sekalian menunggu pagi. Dengan sopan juga, dia membiarkan saya melemparkan badan ke kasur twin di sebelahnya. Tidak seperti para bule yang dengan leluasa buka baju di kamar, doi malah permisi ke toilet saat mengganti celana dan baju. Doi juga sampai sengaja menawari saya baju dan celana santai, serta dengan anehnya, memberikan sikat gigi baru untuk saya pakai malam itu.
"I know, it's weird," katanya.
Ini yang saya suka dengan cowok seperti dia, super inisiatif! Tanpa harus bertanya atau disuruh dulu, kelakuannya kadang sulit diprediksi. Selain sangat gesit memesan minuman, Sung-kyung juga tidak malu membawakan tas, memegangi gelas saya, hingga benar-benar peduli dengan hal-hal kecil, seperti menggantung blus saya dengan rapih ke lemari padahal blus tersebut sengaja saya letakkan di lantai.
Dengan posisi tiduran di lain kasur, kami mengobrol lagi tentang si doi yang katanya lebih suka Cina ketimbang kampung halamannya di Korea. Cewek-cewek Korea terlalu kurus katanya. Orang-orang disana juga terlalu obsesif dengan fashion, muka yang sempurna, serta badan-badan super ramping yang faktanya sama sekali tidak menarik perhatian.
"Di Amerika, saya biasanya pakai baju ukuran M-L. Di Korea, banyak baju tidak muat untuk saya. Kalaupun muat, ukurannya XL atau XXL. Bayangkan!"
Duh, kasihan si abang buntet.
Lucunya, saat saya suruh bicara bahasa Korea, Sung-kyung langsung menutup wajahnya dengan selimut lalu berbisik dengan aksen Korea yang super cute.
"Sorry, I am so shy saying something in Korean."
Aahhh ~ ^.^
Sung-kyung juga mengatakan kalau saya adalah cewek Indonesia pertama yang dia kencani. "Most of the time, I only date Korean girls," katanya.
"Tapi nih ya, menurut kamu, kalau seandainya kamu tinggal di Kopenhagen, do you think we could be together?" tanya saya mengharap. Efek tipsy.
"Maybe. It could be possible, though quite tough. But my parents hate non-Koreans."
Doi cerita kalau orang Korea di Amerika sebisa mungkin menikah dengan sesama orang Korea juga untuk mempertahankan tradisi dan kultur. Bagi orang Korea, kalaupun harus dengan kebangsaan lain, kemungkinan untuk berpacaran ataupun menikah hanya untuk orang-orang top three; Korea, Jepang, dan Cina. Jadi mereka menganggap, orang-orang yang muka dan kebudayaannya satu rumpun mereka sajalah yang pantas mendampingi hidup ke depannya.
Apa, maksudnya tidak ada possibility begitu? :b
Meskipun hanya jalan dan mengobrol selama beberapa hari dengan cowok Korea-Amerika ini, tapi saya merasa bahwa kencan terbaik cuma dengan si doi. Sung-kyung yang sangat sopan, masih membawa unsur ketimuran, inisiatif, perhatian, dan juga super lucu, membuat saya lupa tentang betapa magisnya pesona bule.
He knows well how to treat and respect Asian girls, or am I just infatuated?
Awal tahun tadi, saya yang masih aktif buka-tutup OKCupid mendapatkan satu pesan dari cowok berakun mainstream "Asian_Guy". Sudah namanya terlalu norak, fotonya pun hanya satu. Benar-benar tidak menarik perhatian. Fotonya juga tidak saya buka dengan jelas.
Tapi karena pesannya cukup jenaka dan berbeda, saya niat juga bertukar pesan dengan dia. Cowok asli Korea yang sudah lama tinggal di Amerika tersebut ternyata sedang berada di Kopenhagen karena urusan bisnis. Alih-alih mengajak kenalan, si cowok yang bernama Sung-kyung itu malah minta rekomendasi saya tempat makan dan minum yang oke di Kopenhagen. Lha, memangnya saya tourist information?
"Kamu betul-betul hanya minta rekomendasi atau ada unsur kencan di balik pertanyaan itu?", tanya saya yang berharap akan diajak kencan. Uhukk.
"Minta rekomendasi. Soalnya saya bingung dengan sistem kerja di Denmark. Pulang kantor, orang benar-benar langsung pulang. Saya ajak nongkrong dulu, mereka tidak mau. I have no friends to talk or just drink with after working."
"Yaudahlah, saya temani! Rabu malam ya," tawar saya yang sebenarnya ikut kasihan dengan si doi.
Sebenarnya malas juga ucuk-ucuk datang ke Kopenhagen di hari kerja, apalagi malam. Tapi karena memang di hari itu saya ada kelas desain di kota, makanya masih ada waktu sebentar menemani si Korea minum-minum.
Dari setelan fotonya yang formal dan juga lingkup kerjanya yang terlalu profesional, saya mengajak Sung-kyung minum-minum ke bar koktail favorit saya, Bar 7, yang fancy dan tidak jauh dari hotel dia menginap di pusat kota. Karena memang janjian di Rabu malam, banyak sofa kosong yang bisa bebas dipilih. Coba kalau datang kesini saat akhir pekan, duh, berdiri saja susah.
Sekitar 10 menit menunggu, saya melihat seorang cowok yang celingak-celinguk dari luar bar mencari pintu masuk. Agar tidak terlihat terlalu memperhatikan, saya langsung baca menu dan pura-pura tidak tahu saat dia masuk.
"Uhmm, sorry, are you Nin?" tanya Sung-kyung mendekati sofa saya. Sangat mudah memang menebak saya yang mana, karena hanya saya sendiri yang berparas Asia di bar saat itu.
"Oh, hello, hi. Yes, I am Nin," kata saya sambil menjabat tangannya.
Iya, jabat tangan. Terkesan terlalu kaku dan profesional kan? Body language Sung-kyung menunjukkan jarak yang memang hanya sebatas jabatan tangan saat bertemu orang baru. Oke.
Sung-kyung duduk berhadapan dengan saya di sofa depan tanpa melepas jaketnya terlebih dahulu. Matanya hanya segaris tanpa lipatan, mirip orang Korea asli. Badannya tinggi tegap, meskipun sedikit berisi. Rambut halusnya dibiarkan tak tersentuh gel sehingga membuat poni-poni kecil jatuh menutupi dahinya. Suer, Sung-kyung terlihat super imut dan jauh dari ekspektasi saya.
"Are you really 31?" tanya saya menyangsikan keimutan muka dan gayanya yang masih seperti abege.
"I am. Tapi tidak cuma kamu yang bingung, saya malah dibilang seperti anak umur 17 tahun waktu perkenalan diri di kantor. Huhu."
Oke. Saya hanya punya waktu satu jam setengah menemani Sung-kyung minum. Obrolan yang tadinya kaku, akhirnya mulai mencair saat kami mulai sedikit terbuka tentang kehidupan pribadi. Sung-kyung pun sempat mengomentari tentang gaya kerja orang di kantornya serta bebasnya bermesraan di Denmark. So cute!
Yang saya suka juga, karena Sung-kyung sudah lama sekali tinggal di Amerika, jadi aksen Amerikanya begitu kental dan sangat enak didengar. Suaranya pun renyah tapi tegas.
Entah kenapa, meskipun baru kenal Sung-kyung 3 hari, tapi dia sudah bisa menggambarkan sifat cowok Korea yang memang sedikit mirip dengan yang ada di drama. Selain super perhatian dan lucu, Sung-kyung juga tidak rela membiarkan saya membayar bon minum. Doi pun sampai berulang kali minta maaf kalau sudah mengganggu waktu saya menemani dia minum-minum.
Aaahhh ~
Wednesday-winter night in Copenhagen, it's so melting and warm.
Kamis malam adalah malam kedua saya menemani Sung-kyung minum-minum di kota. Rencana kami selanjutnya adalah menuju bar lain tak jauh dari Bar 7. Tapi karena Denmark sedang diguyur salju dari sore, akhirnya kami batalkan rencana itu. Sung-kyung menawarkan opsi lain untuk minum-minum di bar hotel tempat dia menginap saja.
Bayangkan, sampai jam 10 malam, salju tak kunjung reda hingga menutupi hampir semua ruas jalan di pinggir kota. Saya juga seperti maju mundur akan datang atau tidak. Tapi demi minuman gratis, saya pun langsung pasang jaket, lalu meluncur bersepeda ke stasiun kereta menuju Kopenhagen.
Sung-kyung sudah menunggu di lobi saat saya datang. Karena sudah cukup terbuka di kencan pertama, Sung-kyung tidak segan membantu membawakan jaket saya saat kami pindah sofa. Doi pun sengaja mengunduh banyak permainan untuk drinking games malam itu.
"Come on! Tujuan kita malam ini kan minimal tipsy," katanya memberi semangat gila.
Kalau dihitung-hitung, kami mungkin sudah memesan lebih dari 10 gelas koktail dari bar hotel. Semuanya dia yang bayar.
Tidak hanya sampai disitu. Takut kelaparan di tengah malam, saya dan dia belanja dulu ke supermarket 24 jam yang super dekat dengan hotelnya. Layaknya emak-emak, Sung-kyung juga menyuruh memilih semua makanan dan minuman yang saya suka untuk dibawa ke hotel. Lagi-lagi semuanya dia yang bayar. Tapi ujung-ujungnya saya cuma memilih satu kaleng cider saja. Sementara dia, kembali mengisi keranjang belanjaan dengan bir kalengan dan ciki-cikian.
"Cuma satu? Ambil deh dua!" katanya saat melihat saya memasukkan satu kaleng cider ke keranjang.
Duh, baiknya, Bang.
Saat mulai lelah karena tipsy, Sung-kyung mengajak istirahat di kamarnya sekalian menunggu pagi. Dengan sopan juga, dia membiarkan saya melemparkan badan ke kasur twin di sebelahnya. Tidak seperti para bule yang dengan leluasa buka baju di kamar, doi malah permisi ke toilet saat mengganti celana dan baju. Doi juga sampai sengaja menawari saya baju dan celana santai, serta dengan anehnya, memberikan sikat gigi baru untuk saya pakai malam itu.
"I know, it's weird," katanya.
Ini yang saya suka dengan cowok seperti dia, super inisiatif! Tanpa harus bertanya atau disuruh dulu, kelakuannya kadang sulit diprediksi. Selain sangat gesit memesan minuman, Sung-kyung juga tidak malu membawakan tas, memegangi gelas saya, hingga benar-benar peduli dengan hal-hal kecil, seperti menggantung blus saya dengan rapih ke lemari padahal blus tersebut sengaja saya letakkan di lantai.
Dengan posisi tiduran di lain kasur, kami mengobrol lagi tentang si doi yang katanya lebih suka Cina ketimbang kampung halamannya di Korea. Cewek-cewek Korea terlalu kurus katanya. Orang-orang disana juga terlalu obsesif dengan fashion, muka yang sempurna, serta badan-badan super ramping yang faktanya sama sekali tidak menarik perhatian.
"Di Amerika, saya biasanya pakai baju ukuran M-L. Di Korea, banyak baju tidak muat untuk saya. Kalaupun muat, ukurannya XL atau XXL. Bayangkan!"
Duh, kasihan si abang buntet.
Lucunya, saat saya suruh bicara bahasa Korea, Sung-kyung langsung menutup wajahnya dengan selimut lalu berbisik dengan aksen Korea yang super cute.
"Sorry, I am so shy saying something in Korean."
Aahhh ~ ^.^
Sung-kyung juga mengatakan kalau saya adalah cewek Indonesia pertama yang dia kencani. "Most of the time, I only date Korean girls," katanya.
"Tapi nih ya, menurut kamu, kalau seandainya kamu tinggal di Kopenhagen, do you think we could be together?" tanya saya mengharap. Efek tipsy.
"Maybe. It could be possible, though quite tough. But my parents hate non-Koreans."
Doi cerita kalau orang Korea di Amerika sebisa mungkin menikah dengan sesama orang Korea juga untuk mempertahankan tradisi dan kultur. Bagi orang Korea, kalaupun harus dengan kebangsaan lain, kemungkinan untuk berpacaran ataupun menikah hanya untuk orang-orang top three; Korea, Jepang, dan Cina. Jadi mereka menganggap, orang-orang yang muka dan kebudayaannya satu rumpun mereka sajalah yang pantas mendampingi hidup ke depannya.
Apa, maksudnya tidak ada possibility begitu? :b
Meskipun hanya jalan dan mengobrol selama beberapa hari dengan cowok Korea-Amerika ini, tapi saya merasa bahwa kencan terbaik cuma dengan si doi. Sung-kyung yang sangat sopan, masih membawa unsur ketimuran, inisiatif, perhatian, dan juga super lucu, membuat saya lupa tentang betapa magisnya pesona bule.
He knows well how to treat and respect Asian girls, or am I just infatuated?
cerita yang menarik
BalasHapus