Saya sebenarnya salut dengan para mantan au pair Indonesia yang meneruskan kuliah di Eropa selepas masa au pair mereka berakhir. Fakta memang, bahwa au pair bisa dijadikan batu loncatan untuk tinggal di Eropa lebih lama. Antusiasme teman-teman au pair itu pun sebenarnya layak diacungi jempol karena kebanyakan dari mereka kuliah dengan uang pribadi.
Meskipun embel-embelnya kuliah di luar negeri dan memakai uang sendiri, namun jangan salah, banyak juga dari mereka yang bukanlah dari keluarga golongan kaya. Kemauan mereka yang gigih serta tekad yang kuat untuk tetap tinggal di Eropa, membuat mereka rela sekolah sekalian kerja banting tulang mencukupi kehidupan sehari-hari. Berat memang. Namun banyak juga yang beruntung mendapatkan dukungan moral dan finansial luar biasa dari keluarga di Indonesia.
Lalu saya sendiri, apa tidak niat meneruskan kuliah Master di Eropa?
Sejujurnya, sangat niat. Dulu, sebelum kenal au pair, tinggal dan menempuh pendidikan di luar negeri adalah impian saya sejak lama. Saat masih berumur 11 tahun, saya bahkan sudah bermimpi untuk SMA ataupun kuliah di Jepang.
Setelah lulus dari Universitas Sriwijaya, saya pun kembali mencari cara bagaimana bisa keluar negeri sekalian studi. Tapi karena IPK pas-pasan dan bahasa Inggris masih berantakan, akhirnya saya batalkan rencana tersebut. Niatnya saat itu memang mencari beasiswa. Tapi sudahlah, saya tahu diri karena saingannya lebih hebat-hebat.
Pindah ke Eropa dan tinggal selama beberapa tahun, membuat saya tahu bahwa kuliah di luar negeri sangat possible meskipun IPK dan bahasa Inggris pas-pasan. Banyak kampus di Eropa yang menawarkan uang kuliah yang murah hingga gratis. Syaratnya, kita mesti ikut kelas berbahasa lokal seperti yang ada di Belgia, Belanda, Prancis, Jerman, ataupun Finlandia.
Baca juga: Daftar Kuliah di Kampus Oslo
Banyak teman-teman au pair yang malas pulang ke Indonesia, akhirnya lanjut kuliah di Eropa karena memang kesempatannya sangat terbuka dan ada. Lalu, apakah saya tidak tergiur untuk kuliah juga dan stay di Eropa lebih lama?
Sayangnya, tidak. Ada beberapa alasan yang akhirnya membuat saya mengurungkan dulu niat melanjutkan Master meskipun kesempatannya terlihat ada.
1. Kuliah itu melelahkan
Saya tidak pernah bosan belajar, bahkan selalu terbuka dengan ilmu-ilmu baru. Tapi saya sempat mengalami naik turun saat S1 dulu karena salah jurusan. Kuliah itu full teori. Belum lagi S2, semakin mendalami teori. Kalau harus melanjutkan kuliah hanya karena ingin tinggal di Eropa lebih lama, saya rasa akan buang-buang waktu saja. Kecuali saya kuliah untuk mendalami bidang tertentu yang berhubungan dengan profesi, why not?
Lagipula, bukankah tujuan akhir dari kuliah itu juga ujung-ujungnya mencari pekerjaan? Enak, kalau dia kuliah memang ingin mendalami bidang tertentu yang menunjang profesi yang sudah dimiliki atau akan dimilikinya. Just go for it! Lha, kalau masih meraba-raba seperti saya?
Saat berkencan dengan Bunny, seorang cowok Denmark, saya ada di posisi ketika dia sedang sibuk mengerjakan tesis. Selesai tesis, doi pun harus berada lagi di masa-masa mencari pekerjaan, membuat cv dan cover letter yang berbeda, mencari lowongan, lalu mengirimkan surat lamaran. "That's the most boring process!" katanya.
Belum lagi persiapan wawancara, ditolak sana-sini, hingga akhirnya tetap terus berusaha mencari. Doi sudah dapat pekerjaan sekarang, meskipun bukan pekerjaan yang sesungguhnya dia harapkan.
Jadi intinya, kuliah itu capek. Belum lagi lulusnya, masih stres harus cepat dapat pekerjaan.
2. Saya sudah berniat independen
Ibu saya sebenarnya sudah berniat menyekolahkan saya lagi sampai S2 di Indonesia. Namun saya katakan tidak. Bagi saya, kewajiban beliau menyekolahkan cukuplah hanya sampai S1 saja. Terima kasih banyak. Terlalu banyak beban yang beliau sudah tanggung di rumah. Saya ini belum bisa menghasilkan apa-apa, masa iya ingin minta duit disekolahkan lagi.
Baca juga: Stop Susah, Ada Beasiswa!
Makanya saat wisuda S1, saya katakan ke ibu, kalaupun harus lanjut S2 lagi, saya tidak ingin pakai uang sendiri atau merepotkan orang lain. Setidaknya harus beasiswa, agar saya bisa fokus belajar tanpa stres mencari uang kesana kemari. Sudah tidak fokus, kecapekan, yang ada belajar tidak maksimal. Belajar itu tidak mudah dan fokusnya bukan main, lho.
3. Tujuan S2 itu untuk apa?
Jujur, kalau saya S2 hanya untuk menambahkan gelar atau takut pengangguran, saya tidak usah capek-capek mengejar gelar tersebut. Bagi saya, kuliah S2 akan dirasa penting jika memang profesi impian membutuhkan ilmu yang tinggi, contohnya menjadi dosen ataupun hakim. Lagipula, kebanyakan tempat kerja sebenarnya lebih mempedulikan pengalaman kerja ketimbang titel yang sudah disahkan di selembar kertas.
Banyak juga teman-teman saya yang dapat posisi bagus di Google, Momondo, ataupun Bjarke Ingels Group (BIG) karena pengalaman kerja mereka yang oke. Kebanyakan dari mereka juga hanya sekolah hingga S1 saja.
Di Eropa, banyak juga lapangan pekerjaan yang mencari orang-orang dengan skill dan pengalaman kerja tinggi tanpa harus memenuhi kualifikasi Master dulu. Anak-anak muda di Denmark pun baru mulai kuliah S1 saat mereka berumur 25 atau 27 tahun, tapi hebatnya sudah pernah magang dan kerja dimana-mana selepas SMA.
Lagi-lagi, saya belum melihat apa guna tujuan melanjutkan S2 untuk saya ke depannya.
4. Pendidikan yang tinggi akan membuka banyak kesempatan pekerjaan
Tentu saja! Tapi tunggu dulu, di Indonesia itu ada banyak sekali lulusan S2, apalagi di luar negeri. Teman saya, Ieva, sudah hampir 9 tahun tinggal di Denmark lalu menyelesaikan kuliahnya hingga S2. Karena jurusannya terlalu mainstream, Internasional Business, jadi doski pun mesti saingan dengan para orang lokal ataupun orang asing pencari kerja lainnya. Padahal doski lancar bicara 3 bahasa asing, lho. Sempat stres tidak kunjung dapat pekerjaan yang oke, akhirnya Ieva memilih pulang ke negara asalnya di Latvia.
Semakin tinggi gelar, biasanya akan tinggi juga ekspektasi terhadap posisi dan gaji. Boleh memang. Tapi kalau cuma lulus saja sih gampang. Yang sulit itu, bagaimana menjadi lulusan S2 yang berkompeten, pandai dan cerdik menghadapi pasar, lalu bisa menyumbangkan ide dan kontribusinya ke tempat kerja.
5. Mending jadi pelajar ketimbang au pair
Oke, jadi pelajar di Eropa statusnya jelas, "pelajar". Bisa dapat diskon pelajar kemana-mana. Kalau ditanya sedang apa di Eropa, jawabnya enak dan dipandang keren, "sedang studi". Ruang lingkup pertemanan pun luas dan intelektual. Meskipun harus dikejar deadline tugas dan ujian, namun student life sebenarnya sangat "aman" dan seru. Menjadi pelajar di Eropa juga membuka kemungkinan jika setelahnya lulus, bisa bekerja disana atau negara maju lainnya. Meskipun sih, peluang ini juga tidak besar.
Tapi bagi saya, tidak ada yang salah juga dengan rencana orang untuk memutuskan jadi au pair. Au pair itu santai. Makan dan tempat tinggal gratis. Hari libur dan waktu senggang banyak. Dikejar deadline? No. Uang saku, tiap bulan dikasih. Sekolah, tetap. Au pair juga punya ujian, tugas, dan ruang lingkup pertemanan di sekolah dan komunitas—bagi yang berjiwa sosial. Au pair pun memiliki kesempatan saat free time untuk travelling, bersosial, ataupun sekedar leye-leye sehabis mengurus rumah. Tetap seru juga kan?
Saya sebenarnya sudah pernah mencoba mengirimkan berkas beasiswa ke salah satu kampus di Cina jurusan Media & Komunikasi—bukan Eropa malah. Kuliahnya hanya satu tahun, berbahasa Inggris, kampus internasional, dan lokasinya di Suzhou. Saya diterima bersyarat, karena nilai IELTS saya belum memenuhi kualifikasi jurusan. Mereka memberikan batas waktu apakah saya ingin tes IELTS lagi atau ikut kursus intensif disana.
Baca juga: Pengalaman Tes IELTS Kedua di IALF Palembang
Semakin dipikir, dipikir, dipikir lagi, ternyata saya menemukan jawaban bahwa tujuan saya selanjutnya bukan untuk studi. Ketimbang menghabiskan waktu di bangku kuliah, saya lebih prefer mencari lapangan pekerjaan atau dream job yang sesuai passion. Saya juga percaya diri kalau sebenarnya saya mampu menemukan pekerjaan di Indonesia tanpa memiliki gelar pendidikan yang selevel S2.
Impian saya pun tidak neko-neko lagi. Tuhan sudah mengabulkan mimpi saya untuk tinggal dan belajar di luar negeri. Jadi, kalau memang tidak ada kesempatan tinggal lebih lama, saya tidak takut untuk pulang ke Indonesia.
Kalaupun ingin stay di Eropa lebih lama, saya tidak ingin kuliah tapi bekerja. Kalaupun harus kuliah lagi, saya sudah berniat untuk mengambil fakultas desain hanya untuk menambah ilmu saja. Eh tapi, ilmu desain juga tidak harus dipelajari lewat bangku formal. Banyak sekali desainer yang belajar otodidak lewat komputer mereka. So, memang tidak ada alasan kuat kan mengapa saya harus lanjut S2? (;
Hingga akhirnya, dua tahun kemudian... baca 4 alasan saya lanjut kuliah Master di Norwegia!
Banyak teman-teman au pair yang malas pulang ke Indonesia, akhirnya lanjut kuliah di Eropa karena memang kesempatannya sangat terbuka dan ada. Lalu, apakah saya tidak tergiur untuk kuliah juga dan stay di Eropa lebih lama?
Sayangnya, tidak. Ada beberapa alasan yang akhirnya membuat saya mengurungkan dulu niat melanjutkan Master meskipun kesempatannya terlihat ada.
1. Kuliah itu melelahkan
Saya tidak pernah bosan belajar, bahkan selalu terbuka dengan ilmu-ilmu baru. Tapi saya sempat mengalami naik turun saat S1 dulu karena salah jurusan. Kuliah itu full teori. Belum lagi S2, semakin mendalami teori. Kalau harus melanjutkan kuliah hanya karena ingin tinggal di Eropa lebih lama, saya rasa akan buang-buang waktu saja. Kecuali saya kuliah untuk mendalami bidang tertentu yang berhubungan dengan profesi, why not?
Lagipula, bukankah tujuan akhir dari kuliah itu juga ujung-ujungnya mencari pekerjaan? Enak, kalau dia kuliah memang ingin mendalami bidang tertentu yang menunjang profesi yang sudah dimiliki atau akan dimilikinya. Just go for it! Lha, kalau masih meraba-raba seperti saya?
Saat berkencan dengan Bunny, seorang cowok Denmark, saya ada di posisi ketika dia sedang sibuk mengerjakan tesis. Selesai tesis, doi pun harus berada lagi di masa-masa mencari pekerjaan, membuat cv dan cover letter yang berbeda, mencari lowongan, lalu mengirimkan surat lamaran. "That's the most boring process!" katanya.
Belum lagi persiapan wawancara, ditolak sana-sini, hingga akhirnya tetap terus berusaha mencari. Doi sudah dapat pekerjaan sekarang, meskipun bukan pekerjaan yang sesungguhnya dia harapkan.
Jadi intinya, kuliah itu capek. Belum lagi lulusnya, masih stres harus cepat dapat pekerjaan.
2. Saya sudah berniat independen
Ibu saya sebenarnya sudah berniat menyekolahkan saya lagi sampai S2 di Indonesia. Namun saya katakan tidak. Bagi saya, kewajiban beliau menyekolahkan cukuplah hanya sampai S1 saja. Terima kasih banyak. Terlalu banyak beban yang beliau sudah tanggung di rumah. Saya ini belum bisa menghasilkan apa-apa, masa iya ingin minta duit disekolahkan lagi.
Baca juga: Stop Susah, Ada Beasiswa!
Makanya saat wisuda S1, saya katakan ke ibu, kalaupun harus lanjut S2 lagi, saya tidak ingin pakai uang sendiri atau merepotkan orang lain. Setidaknya harus beasiswa, agar saya bisa fokus belajar tanpa stres mencari uang kesana kemari. Sudah tidak fokus, kecapekan, yang ada belajar tidak maksimal. Belajar itu tidak mudah dan fokusnya bukan main, lho.
3. Tujuan S2 itu untuk apa?
Jujur, kalau saya S2 hanya untuk menambahkan gelar atau takut pengangguran, saya tidak usah capek-capek mengejar gelar tersebut. Bagi saya, kuliah S2 akan dirasa penting jika memang profesi impian membutuhkan ilmu yang tinggi, contohnya menjadi dosen ataupun hakim. Lagipula, kebanyakan tempat kerja sebenarnya lebih mempedulikan pengalaman kerja ketimbang titel yang sudah disahkan di selembar kertas.
Banyak juga teman-teman saya yang dapat posisi bagus di Google, Momondo, ataupun Bjarke Ingels Group (BIG) karena pengalaman kerja mereka yang oke. Kebanyakan dari mereka juga hanya sekolah hingga S1 saja.
Di Eropa, banyak juga lapangan pekerjaan yang mencari orang-orang dengan skill dan pengalaman kerja tinggi tanpa harus memenuhi kualifikasi Master dulu. Anak-anak muda di Denmark pun baru mulai kuliah S1 saat mereka berumur 25 atau 27 tahun, tapi hebatnya sudah pernah magang dan kerja dimana-mana selepas SMA.
Lagi-lagi, saya belum melihat apa guna tujuan melanjutkan S2 untuk saya ke depannya.
4. Pendidikan yang tinggi akan membuka banyak kesempatan pekerjaan
Tentu saja! Tapi tunggu dulu, di Indonesia itu ada banyak sekali lulusan S2, apalagi di luar negeri. Teman saya, Ieva, sudah hampir 9 tahun tinggal di Denmark lalu menyelesaikan kuliahnya hingga S2. Karena jurusannya terlalu mainstream, Internasional Business, jadi doski pun mesti saingan dengan para orang lokal ataupun orang asing pencari kerja lainnya. Padahal doski lancar bicara 3 bahasa asing, lho. Sempat stres tidak kunjung dapat pekerjaan yang oke, akhirnya Ieva memilih pulang ke negara asalnya di Latvia.
Semakin tinggi gelar, biasanya akan tinggi juga ekspektasi terhadap posisi dan gaji. Boleh memang. Tapi kalau cuma lulus saja sih gampang. Yang sulit itu, bagaimana menjadi lulusan S2 yang berkompeten, pandai dan cerdik menghadapi pasar, lalu bisa menyumbangkan ide dan kontribusinya ke tempat kerja.
5. Mending jadi pelajar ketimbang au pair
Oke, jadi pelajar di Eropa statusnya jelas, "pelajar". Bisa dapat diskon pelajar kemana-mana. Kalau ditanya sedang apa di Eropa, jawabnya enak dan dipandang keren, "sedang studi". Ruang lingkup pertemanan pun luas dan intelektual. Meskipun harus dikejar deadline tugas dan ujian, namun student life sebenarnya sangat "aman" dan seru. Menjadi pelajar di Eropa juga membuka kemungkinan jika setelahnya lulus, bisa bekerja disana atau negara maju lainnya. Meskipun sih, peluang ini juga tidak besar.
Tapi bagi saya, tidak ada yang salah juga dengan rencana orang untuk memutuskan jadi au pair. Au pair itu santai. Makan dan tempat tinggal gratis. Hari libur dan waktu senggang banyak. Dikejar deadline? No. Uang saku, tiap bulan dikasih. Sekolah, tetap. Au pair juga punya ujian, tugas, dan ruang lingkup pertemanan di sekolah dan komunitas—bagi yang berjiwa sosial. Au pair pun memiliki kesempatan saat free time untuk travelling, bersosial, ataupun sekedar leye-leye sehabis mengurus rumah. Tetap seru juga kan?
Saya sebenarnya sudah pernah mencoba mengirimkan berkas beasiswa ke salah satu kampus di Cina jurusan Media & Komunikasi—bukan Eropa malah. Kuliahnya hanya satu tahun, berbahasa Inggris, kampus internasional, dan lokasinya di Suzhou. Saya diterima bersyarat, karena nilai IELTS saya belum memenuhi kualifikasi jurusan. Mereka memberikan batas waktu apakah saya ingin tes IELTS lagi atau ikut kursus intensif disana.
Baca juga: Pengalaman Tes IELTS Kedua di IALF Palembang
Semakin dipikir, dipikir, dipikir lagi, ternyata saya menemukan jawaban bahwa tujuan saya selanjutnya bukan untuk studi. Ketimbang menghabiskan waktu di bangku kuliah, saya lebih prefer mencari lapangan pekerjaan atau dream job yang sesuai passion. Saya juga percaya diri kalau sebenarnya saya mampu menemukan pekerjaan di Indonesia tanpa memiliki gelar pendidikan yang selevel S2.
Impian saya pun tidak neko-neko lagi. Tuhan sudah mengabulkan mimpi saya untuk tinggal dan belajar di luar negeri. Jadi, kalau memang tidak ada kesempatan tinggal lebih lama, saya tidak takut untuk pulang ke Indonesia.
Hingga akhirnya, dua tahun kemudian... baca 4 alasan saya lanjut kuliah Master di Norwegia!
Lah skrg malah ambil S2
BalasHapusPeople change...
HapusIni tulisan tahun 2017 :)
Salah kah kalo aku akhirnya ambil S2?