Langsung ke konten utama

7 Kebiasaan Makan Keluarga Eropa

Tiga tahun tinggal di Eropa dengan keluarga angkat, saya jadi paham bagaimana elegan dan intimnya cara makan mereka. Bagi para keluarga ini, meja makan tidak hanya tempat untuk menyantap makanan, tapi juga ajang bertukar informasi para anggota keluarga dan pembelajaran bagi anak-anak mereka.

Selain table manner, orang Eropa juga sangat perhatian terhadap nilai gizi yang terkandung di suatu makanan hingga hanya makan makanan berkualitas tinggi. Berbeda dengan orang Indonesia yang menjadikan meja makan hanya sebagai tempat menaruh makanan, membuka tudung saji saat akan disantap, lalu pergi ke ruang nonton sambil makan.

Selama tinggal dengan banyak macam keluarga angkat, tidak hanya nilai gizi yang saya pelajari dari mereka, tapi juga kebiasaan makan orang Eropa yang sebenarnya sangat sederhana dan tidak berlebihan. Dari kebiasaan makan mereka ini juga, saya bisa menyimpulkan mengapa orang-orang di benua ini awet tua alias tetap sehat menginjak usia di atas 70-an. Kuncinya, pola makan yang seimbang.

1. Mulailah dengan yang manis

Tipikal sarapan orang Eropa dimulai dengan porsi mini tapi manis

Jangan bayangkan bubur ayam, nasi goreng, nasi uduk plus oseng tempe, ataupun mie kuah, ada di meja makan orang Eropa saat sarapan. Karena nyatanya, mereka tidak ada waktu membuat semua makanan itu di pagi hari.

Sarapan di Eropa termasuk mudah dan paling lama hanya 15 menit. Selain roti, sereal, ataupun yoghurt, banyak juga keluarga angkat saya yang menambahkan telur, sosis, atau salami di menu sarapan mereka. Di negara Nordik, para anak dan orang dewasa juga suka sekali menyantap oatmeal (atau mereka menyebutnya bubur) saat sarapan. Lucunya, sarapan di Eropa selalu dimulai dengan sesuatu yang manis-manis, seperti susu, kopi, teh, jus, cokelat, buah-buahan segar, ataupun selai buah.

Sewaktu jalan-jalan ke Italia, saya dan seorang teman mampir ke kedai kopi yang sudah buka jam 6 pagi. Betul saja, dibandingkan menemukan sandwich yang mengenyangkan, kami hanya melihat orang kanan kiri menyantap brioche atau roti manis ditemani secangkir espresso.


2. You can only be king once

Meski tak ada yang melarang makan berat dua kali sehari, tapi normalnya orang Eropa menyiapkan menu hangat hanya di malam hari

Ada sebuah pepatah diet mengatakan, "breakfast like a king, lunch like a prince, and dine like a pauper." Di Eropa, prinsip ini justru malah kebalikannya. Orang Eropa cenderung makan sangat sedikit di pagi hari dan menyantap makanan berat saat malam.

Tidak seperti di Indonesia yang selalu menyajikan nasi panas dari pagi ke malam hari plus lauk berminyak nan mengenyangkan, orang Eropa 'hanya boleh' menyantap masakan hangat sekali dalam sehari. Bisa saat makan siang ataupun makan malam.

Kalau sarapan selalu dimulai dengan yang manis, siang hari menu diganti dengan makanan yang asin seperti sandwich ataupun salad. Malam hari, salah satu anggota keluarga biasanya masak dan menyiapkan sesuatu yang lebih berat seperti steak, nasi, pasta, burger, ataupun pizza.

Bagi orang Eropa, dinner menjadi sangat penting bagi tubuh mereka setelah lelah beraktifitas di luar. Makanya demi memanjakan si tubuh, makan malam biasanya dibuat lebih komplit dan berat ketimbang dua waktu lainnya. Hebatnya lagi, orang Eropa sudah terbiasa menyantap makanan fresh from the oven setiap hari meskipun harus repot memasak dulu. Ide tentang menyimpan makanan lalu besoknya dimakan kembali biasanya hanya bertahan selama satu hari, lalu sisanya dibuang.


3. Snacking is not so chic

Resep langsing badan orang Eropa adalah jarang snacking; terutama mengemil gorengan 

Sejujurnya, saya jarang sekali menemukan orang yang suka ngemil di Eropa. Apalagi ngemil kue-kue manis ataupun chiki sambil nonton tv. But, of course, they do eat chips! Konsep ngemil ini pun biasanya hanya dijadikan disiplin saat hari kerja. Di akhir pekan, orang Eropa biasanya lebih relaxed memanjakan lidah dengan sesuatu yang manis seperti cokelat ataupun permen.

Ngemil pun sebenarnya dipandang tidak elegan oleh orang Prancis. Selain mengandung lemak dan kolesterol tinggi, tentu saja mereka sangat membatasi asupan snack yang dimakan untuk menjaga tubuh agar selalu tetap ramping dan sehat.

Orang tua Eropa juga sangat membatasi anaknya untuk tidak sembarangan makan snack di luar jam makan besar. Kuantitas ngemil harus dihitung agar anak tidak ketagihan. Kebiasaan mendisiplinkan anak seperti ini awalnya saya rasa terlalu "jahat" sampai harus membatasi apa yang anak ingin makan. Tapi lama-kelamaan, saya mengerti, kalau anak terus-terusan diberi makanan manis tanpa dikontrol, mereka akan sangat mudah obesitas dan manja ingin minta lagi dan lagi.

Dibandingkan ngemil keripik kentang, orang Eropa lebih suka mengunyah biskuit buah-buahan, muesli bar, ataupun kue beras. Kalau pun belum kenyang, mereka juga biasanya menyajikan dessert yang wajib ada setelah makan malam. Jenis dessert pun kebanyakan sehat, seperti yoghurt plus berries, sepotong kecil fruit cake, atau berbagai jenis keju berkualitas tinggi.

Lalu bayangkan di Indonesia, betapa gurih dan nikmatnya ngemil bakso saat hujan, pempek dengan cuko pedas-pedas, ataupun martabak manis penggugah selera. Uuups, belum kenyang, lanjut Nasi Padang!


4. Makanlah pada tempatnya

Meja makan bukan hanya tempat menaruh makanan, namun juga bertukar cerita

Saya akui, kedisplinan orang Eropa di meja makan harus diacungi jempol. Lapar tidak lapar, kalau waktunya memang sedang makan bersama, semua anggota keluarga wajib berkumpul di meja. Tradisi seperti ini hebatnya bisa saya rasakan setiap hari sewaktu tinggal di Belgia.

Di Indonesia, momen makan bersama keluarga sangat sulit saya dapatkan kecuali di bulan Ramadhan. Saat buka puasa pun, kadang beberapa anggota keluarga ada yang sengaja memisahkan diri agar bisa nonton tv. Padahal makan bersama seperti ini adalah waktu yang paling tepat bertukar cerita dengan anggota keluarga hingga menguatkan rasa kebersamaan.

Satu lagi yang menarik soal betapa hebatnya fungsi meja makan. Para anak-anak balita di Eropa dibiasakan sudah mandiri di meja makan mereka sendiri tanpa harus dipangku orang tua. Saat usia mulai satu bulan, para host kids saya sudah 'ikut makan' bersama keluarga di meja. Menginjak satu tahun, kursi khusus pun dipersiapkan di samping kursi orang tuanya. Lalu di usia 2 tahun, saya sudah bebas tugas membantu menyuapi anak-anak ini, karena nyatanya mereka sudah bisa makan sendiri.


5. No phones allowed

Terlihat sangat tak sopan ketika sedang makan tapi seseorang sibuk main hape

Jujur saja, saya sangat benci melihat ada ponsel di meja makan. Meskipun sedang makan sendiri di restoran, saya berusaha terlihat cuek dengan keberadaan ponsel tanpa takut mati gaya.

Orang Eropa sangat menikmati waktu kebersamaan di meja makan hingga bisa saja mengobrol begitu lamanya. Keberadaan ponsel memang tidak jauh dari mereka tapi selalu absen saat makan malam. Sangat tidak sopan sibuk dengan ponsel masing-masing ketika semua anggota keluarga sedang menyantap hidangan.

Kembali ke Indonesia, entah kenapa, saya selalu melihat meja makan orang di restoran dipenuhi dengan ponsel. Belum lagi ide mencuri WiFi gratisan yang alih-alihnya dipakai untuk upload foto sebelum atau setelah makan. Puncak asiknya adalah saat selesai makan, lalu semua orang seperti terburu-buru mengeluarkan ponsel dan sibuk melihat apa yang terjadi di sosial media.

Satu kali, host mom saya di Denmark, pernah mengangkat telpon dari seseorang di jam makan malam. Mungkin karena keasikkan, si ibu sampai tidak terlalu memperhatikan anak kembarnya yang memang sedang sakit lalu muntah-muntah. Bukannya langsung sigap dengan si kembar, si ibu masih asik saja mengobrol dengan orang di seberang telpon.

Host dad saya akhirnya langsung sigap mengangkat si kembar dari kursi dan marah-marah ke si istri karena bisa-bisanya masih sibuk dengan hal lain. Sehabis dari kejadian itu, saya tidak pernah lagi melihat si ibu memegang ponsel ketika jam makan malam.


6. Rumput tetangga memang lebih hijau

Bagi orang Eropa salad tak hanya sebagai pelengkap tapi juga menu utama

Pertama kali ke Denmark dan ikut masak dengan host dad, saya sebenarnya heran sekaligus bosan selalu kebagian tugas memotong sayuran segar untuk dibuat salad. Tidak hanya sekali dua kali, tapi setiap hari! Sampai-sampai saya pernah menyindir mereka, "you always eat salad."

Si bapak yang memang lebih cerewet, bertanya kepada saya jenis sayuran apa saja yang biasa orang makan di Indonesia. "We never eat raw veggies, only the overcooked ones," kata saya.

Semakin lama tinggal dengan mereka dan ikut komunitas vegan, akhirnya saya paham bahwa orang Eropa memang tidak pernah lepas dari sayuran segar sebagai pelengkap makan. Dibandingkan dengan sayuran layu yang ada pada menu makanan orang Indonesia, orang Eropa lebih banyak mendapatkan vitamin dari sayuran mentah sebagai salad. Ibarat sambal bagi orang Indonesia, kehadiran sayuran di tiap menu makanan menjadi hal wajib bagi orang Eropa.

Di Belgia, host kids saya termasuk yang sangat pilih-pilih makanan dan sayuran. Jenis sayuran pun hanya terbatas ke kembang kol, wortel, ataupun brokoli yang di-steam. Sementara di Denmark, host mom saya sudah membiasakan anak-anaknya diberi wortel, kacang polong rebus, ataupun jagung sejak usia 2 tahun. Meskipun tak semua anak mau makan sayuran, tapi semua orang tua mereka percaya bahwa menghadirkan sayuran di piring sejak dini bisa perlahan menumbuhkan awareness mereka saat beranjak besar.


7. Always obey the rules!

Table manner tak hanya perkara jenis sendok ataupun garpu, namun juga tata cara berbicara dan duduk saat makan

Selain kebiasaan makan di atas, saya juga sangat menyukai pelajaran table manner sederhana yang saya lihat dari keluarga Eropa. Contohnya dengan mengajarkan anak memegang pisau di sebelah kiri dan garpu di sebelah kanan. Saya kesulitan makan dengan tangan kiri, akhirnya jadi terbiasa memegang garpu di sebelah kanan.

Para anggota keluarga pun dilarang meninggalkan meja makan duluan jika anggota keluarga lainnya masih ada yang makan, kecuali sedang ada hal penting yang harus segera dilakukan. Anak-anak yang rewel dan tidak ingin makan di meja, selalu didisiplinkan terlebih dahulu untuk bersikap well-mannered di meja makan.

Saat ada pesta besar pun, makanan yang sudah disajikan di atas meja sepatutnya dihabiskan agar tidak mubazir. Jadi bagi yang masih lapar, sungguh dipersilakan kembali mengisi piring mereka dengan makanan yang masih ada. Tenang saja, tidak akan ada yang menyindir berapa kalori yang sudah dimakan. Jadi, tidak perlu malu jika ingin menambah.

Karena begitu tegasnya pelajaran tentang kedisplinan dan kebersamaan ini lah, makanya kebiasaan makan ini tetap kuat di segala generasi. Seorang teman saya, Michi, wajib sekali makan tiga kalitapi tidak lebihsehari karena memang seperti itulah normalnya bagi dia. Bunny, cowok Denmark yang saya kenal, meskipun bangun tidur jam 5 sore, dia tetap memulai hari dengan makan oatmeal layaknya di pagi hari.

⚘ ⚘ ⚘

Jadi, kalau kita mengatakan bahwa orang Eropa cenderung individualis dan tidak terlalu family minded, sebenarnya salah juga. Orang Eropa justru sangat relaxed hingga betah berlama-lama mengobrol sekalian menikmati momen kebersamaan. Tidak hanya diajarkan untuk menikmati makanan, ada juga ungkapan-ungkapan dalam bahasa lain, contohnya Denmark, seperti "Tak for mad (terima kasih atas makanan yang sudah dibuat)" yang diucapkan setelah makan untuk menghargai jasa si pembuat makanan.



Komentar

  1. Salam kenal ya... stumbled upon your blog by chance... :)

    BalasHapus
  2. ka, aku waktu itu sempet nemu calon hostfam dari UK dan ternyata Kan gabisa yaa. tapi aku bersikeras, karena saking penasaran. Kita kontak lewat email dan udah saling kirim foto, Dan pas bagian aku minta vidcall dia gamau. katanya privasi, mereka tertutup. lanjut ke pembuatan kontrak, di salah2 persyaratan Saya harus deposit 530 £ ke moneygram untuk nama Saya sendiri, Dan nanti buktinya di kasih ke pengacara si hostfam. akupun ketakutan, Dan akhirnya aku memberanikan diri email ke kbri London, ternyata email si pengacara yg ngurusin kontrak aku itu, kata KBRI nya palsu Dan mencurigakan. ya disitu aku mundur. tapi yg mau aku Tanya, Kaka Kan udah sangat berpengalaman banget yaa, emang Kita harus ngeluarin uang buat deposit gitu ya? setau aku Kan Kita paling ngeluarin uang untuk buat visa gitu Kan? aku masih bingung ka. tolong dijawab ya. makasii :)

    BalasHapus
  3. Aku lagi kepo blog kamu nih Nin, boleh yaaaa :p

    Duh kalo soal kebiasaan makan, sejak beberapa bulan lalu (tepatnya sejak mulai calorie restriction diet) aku baru menyadari bahwa orang kota besar di Indonesia tuh pola makannya ga sehat banget ya. Apalagi banyak sekali cemilan2 yang ngehits dan ternyata isinya karbohidrat, processed sugar, pewarna semua. Sejak beberapa bulan lalu, kalau lihat foto2 makanan ngetop itu di media sosial, aku bukannya ngiler tapi malah serem sendiri.

    Sekarang aku juga menerapkan gaya makan ala orang Belanda. Makan pagi cukup buah, makan siang roti keju, baru agak 'mewah' pas makan malam, aku bisa bebas makan ramen kek, nasi kek, daging kek... dan kadang aku mengganti daging sebagai protein jadi makan tahu/tempe. Makan karbohidrat pun sudah gak sebanyak dulu lagi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silakan aja kepoin, Crys 😀😀
      Thanks for dropping by ya.

      Iya. Aku jadi kayak ngebandingin pola makan Indonesia & Eropa jadinya. Wajar aja orang Indonesia udah sakit2an pas usia muda, karena pola makan juga gak terjaga.

      Sampe Eropa akhirnya aku nurutin gaya hidup disini; makan besar cuma sekali doang/hari & tiap menu wajib ada sayurannya.

      Hapus
  4. Wkwk sama ni kyk Crystal, lagi suka baca2 lagi post yg lama2. Jadi salad itu enak ga ;p seriusan nanya krn kan itu sayuran mentah, dressing jg itu2 aja kan ya? Boleh juga juga nih kak kalo share resep makanan2 host fam selama jadi au pair :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi.. Makasih ya sampe digging postingan lama juga :>

      Kalo salad, biasanya dimakan dengan protein lain kok. Kayak steak atau salmon gitu. Pokoknya emang salad tuh wajib banget buat penyeimbang lemak-lemak dari protein tersebut.

      Kamu mau coba bikin gak nih kalo aku share? ;p

      Hapus
  5. Share dong dressing saladnya. Love salad.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kebanyakan gak pake. Karena saladnya bener2 jadi temen makan doang. Kan ntar kecampur sendiri sama minyak daging/saus 😀

      Hapus
  6. Makasih kak dah mau berbagi pengalamanya, pertanyaan aku cuman satu,selain keturunan apa orang bule dengan pola makan seperti ini bisa membuat badannya tinggi besar?

    Tks🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menurut ku sih iya. Soalnya di Norwegia, orang2 di abad ke-18 teryata lebih pendek dari abad ke-19. Porsi badannya naik 11 cm karena diyakini sumber makanan yang dikonsumsi lebih sehat dan lingkungan pun mendukung. Sekarang, orang2 di Norwegia tinggi badannya 180-190cm tuh udah seragaman.

      Hapus
    2. Sebenarnya indonesia dulu punya budaya seperti itu, makan di meja makan sopan santun, berpicara dan menghormati orang tua, sayangnya semenjak era globalisasi tahun 2000 akulturasi kebudayaan mulai masuk ke indonesia, sehingga merubah budaya indonesia, contohnya sekarang makan di depan tv, makan pengawet, tidak sopan dengan orang tua, semua itu adalah adopsi dari budaya USA yang dianut indonesia mulai tahun 2000 sampai sekarang

      Hapus
    3. Kalo aku sih kayaknya gak mau nyalahin budaya siapa2 sih ya. Abisnya orang Amerikanya sendiri sampe sekarang pun makan di meja kalo dinner 😁

      Cuma kayaknya orang Indonesia sekarang emang udah pada sibuk sama kegiatannya masing2. Dulu dinner masih bisa semeja karena emang gak banyak mol & tempat makan buka, terus acara di TV paling cuma berita, terus mana ada Youtube & TikTok segala macem. Jadi emang orang Indonesia makin sibuk & bodo amat makan gak makan 😅

      Kalo make pengawet mah, dari dulu juga kita udah generasi micin 😆

      Hapus
  7. Ehhh kalau kekuarga kami sampai saya menikah yang namanya makan itu baik pagi siang dan.malam wajib harus bersama. Di meja makan atau juga digelar tikar. Dan makan malam selalu dengan menu yang lengkap. bedanya kalau pagi orang tua saya selalu wajibkan makan nasi dan sayur biar tidak lesu saat kerja. Roti kadang2 ditambahkan sesekali.
    Rata rata sih di suku saya (batak) makan bersama keluarga itu prioritas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Asik banget dengernya 😢😢 Happy to know kalo keluarganya (apalagi untuk orang2 Batak) makan bareng itu masih jadi prioritas.

      Seinget aku, dulu waktu masih kecil & lom banyak hiburan kayak gadget/TV, keluarga masih adem ayem & setidaknya makan malam di satu meja/tikar. Zaman makin tergerus teknologi, jadinya udah punya kegiatan sendiri2 😅

      Hapus
  8. Budaya Indonesia gak seburuk itu kok kak 😊 masih banyak kok yg kekeluargaan, makan sayur(lalap), bahkan makan fastfood cuman sekali², bahkan saling berbagi dan peduli sama sekitar, bukan hanya ke anggota keluarganya sendiri. Mungkin yg kyk kaka sebutin itu yg hanya beberapa dan mungkin tinggal di kota besar di indo aja kak hehe. Budaya di tiap negara pasti ada baik dan buruknya, jd alangkah baiknya kalo kita bisa melihat kebaikan di masing² aspek budaya tersebut tanpa menjatuhkan salah satu budaya tsb.😊 tanpa menyalahkan pihak manapun, saya mohon maaf apabila ada perkataan saya ada yg kurang berkenan, Tq juga info nya kak^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lho, saya kan fokusnya emang lagi bahas budaya makan orang sana. Kalo kita cuma terkotak di Indonesia doang dan mudah pengertian sama yang indah2nya aja, gimana kita bisa tau budaya orang lain? ;D

      Anak2 orang Indonesia kalo makan lari2an, anak bule kalo makan selalu di meja makan & disiplin, ya memang benar adanya. Bahkan ada yg namanya “studi banding” hanya untuk ngambil sisi2 baik dari negara luar & siapa tau bisa diaplikasikan di Indonesia.

      Hapus
  9. Salam. Artikel anda sangat bagus, menyajikan banyak informasi bermanfaat yg limited. Tapi sejujurnya ada beberapa hal yg bagi saya, orang Indonesia dari timur, penjelasan anda tentang Indonesia yg sangat tidak tepat, mungkin memang seperti itu di Jakarta atau di keluarga anda, tapi itu tidak terjadi di keluarga dan Kampung saya di Sulawesi. 1. Meja makan (seringkali sih kami makan di lantai samping meja makan di dapur luas kami) adalah tempat kami berkumpul, bercerita satu keluarga, kakek, ayah, ibu, om, tante dan saudara ku. Tempat kami para wanita memasak bersama-sama, yg terkadang di bantu para lelaki atau mereka sekedar duduk-duduk sambil bercerita menunggu makanan matang.
    2. Walaupun memang kadang kami membawa hp ke dapur, tapi kami sangat asyik bercengkrama yg bahkan topik kami adalah apa yg menjadi viral di dalam hp tersebut, hp dan isinya hanya bahan cerita bagi kami.
    3. Anak balita kami juga ikut duduk di lantai makan bersama kami, mereka makan sendiri, walaupun sangat belepotan, tapi kami tidak risih dan marah. Anak saya umur 3 tahun sangat suka makan ikan, dan dia makan sendiri, walaupun saya harus ekstra memperhatikan agar dia tidak tersedak tulang ikan.
    4. Kami punya pacco ikan, ikan mentah yg hanya di beri jeruk garam dan cabai tanpa di masak. Kami sering mengkonsumsi itu terutama jika ada yg ke pasar hari itu dan membeli ikan segar.
    5. Kami juga punya lawak sayur, sayuran hijau yg hanya di uapin sebentar (maaf kami tidak makan sayur mentah karna takut cacingan).

    Saya cuma ingin menyampaikan ke anda, bahwa Indonesia itu sangat luas dan sangat beragam budayanya. Sangat tidak bijak jika sebuah kebiasaan buruk di kota dan lingkungan anda, anda jadikan representasi budaya Indonesia yg beragam ini.
    Kami di pelosok, masih memegang erat tradisi dan budaya beradap dari nenek moyang.

    Anda sangat keren, sudah menjelajahi Eropa dan belajar budaya beradap dari mereka.

    Saya berharap, anda juga menyempatkan diri menjelajahi Indonesia kita yg luas ini. Jalan-jalan lah ke pelosok Indonesia. Di Sumatera, Kalimantan, Bali, Maluku, NTT, Papua. Banyak hal keren, berbudaya, beradab dan pengalaman luar biasa yg akan anda temui.

    Sekali lagi saya senang membaca artikel anda. Terimakasih atas informasinya yg sangat berharga.

    Salam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih banyak sudah menyempatkan ninggalin jejak di komen 😇 komenan kamu sebetulnya hampir sama dengan komenan2 di atas yg bilang kalo aku terlalu menggeneralisasi Indonesia. Sama aja kayak orang2 yg selalu nilai Eropa itu luar biasa, padahal sisi jeleknya Eropa juga banyak. Banyak juga yg merasa aku terlalu menilai hal2 buruk ttg Indonesia & show off banget membanggakan Eropa.

      Betul. Kebiasaan acuh seperti ini memang lebih banyak dialami oleh orang2 perkotaan (gak hanya Jakarta & kota saya ya), tapi keluarga kota2 besar yg sudah termakan zaman. Anggota keluarga sudah sibuk sendiri2, sampe di meja makan pun masih maen hape. Beda sama keluarga yang tinggal jauh dari kota besar; nilai kekeluargaan masih terjaga, makan sama2, masak sama2, ngerumpi sama2, gak sibuk sama urusannya masing2. So true.

      Tapi karena ini emang poinnya lagi ngomongin budaya makan Eropa, jadi saya nyinggung “jelek”-nya Indonesia. Di Indonesia, kebiasaan makan begini masih dijunjung tinggi oleh orang pelosok (seperti yang kamu bilang). Tapi di Eropa, kebiasaan makan kayak gini merata hingga keluarga yang tinggal di kota2 besar juga :) Alangkah bagusnya kalo orang2 yg tinggal di kota besar Indonesia juga berhenti sejenak dengan urusan masing2 & kembali bercengkrama dengan semua anggota keluarga sebentar saja. Jangan mau kalah sama orang yg tinggal di pelosok.

      Eniwei, aku MAU banget jalan2 ke Indonesia. Tapi apa daya, duitnya belom ada 😅😅 karena jalan2 keliling Indonesia lebih mahal dari naik kereta murahan Jerman-Prancis, contohnya.

      Sekali lagi.. makasih sudah komen & mampir ke blog :)

      Hapus
  10. Saya perhatikan, penggunaan kata "acuh" di tulisan ini kurang tepat. Acuh artinya peduli bukan cuek. Kalau cuek itu, penulisannya "tidak acuh" atau "acuh tak acuh". Maaf kalau penyampaian saya kurang berkenan....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih banyak koreksinya!! ;D
      Seneng banget ada yang ngingetin kalo ada salah. Karena meskipun aku orang Indonesia, bahasa Indonesia ku menurut KBBI juga masih berantakan. Hihi.. Jangan sungkan2 ngoreksi lagi ya :)

      Hapus
  11. Saya sering mikir gimana cara nyuci sayuran untuk salad? Karena sayurannya dimakan mentah2. Kadang ingin makan salad tapi khawatir karena waswas. Ngga ngerti nyuci sayurannya gimana?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo di Eropa, sayurannya kadang udah ada yang dicuci sebelom dipeking, jadinya bisa tinggal makan. Lagian gak jelas juga, orang sini emang jarang nyuci sayuran sih ya :p Yah, faktor kebersihan juga.

      Tapi kalo masih di Indonesia, aku saranin 100% ya mesti dicuci bersih dulu karena bakterinya beda. Kalo masih was2 makan salad sayur, bisa ganti sama salad buah aja kok. Gado2/pecel tuh udah paling bener buat jadi saladnya orang Indonesia :D

      Hapus
  12. kak cara ke sana kek manaaaa?

    BalasHapus
  13. Kenapa pola makan orang Eropa teratur ??? Karena pada dasarnya taraf hidup orang Eropa sudah mampu semua atau di atas rata rata jadinya orang yang cenderung berkemampuan secara finansial akan mulai memperhatikan hal hal lain, ini menurut psikologi Lo ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa jadi salah satu faktor.

      Tapi kalo mau dibandingkan dengan Amrik Utara yang sama2 berpopulasi orang mampu, orang Eropa memang cenderung lamban dalam menikmati hidup. Di Amrik makan bisa terburu2 banget. Mereka juga lebih sering makan malam di luar bareng rekan kantor atau temen segeng ketimbang nyempetin bareng keluarga.

      Kalo mau dibandingkan orang Eropa dan keluarga kaya raya di Indonesia pun kayaknya sama aja. Gak semua keluarga mampu di Indonesia meluangkan waktu tiap hari utk sarapan dan makan malam bereng seluruh anggota keluarga di rumah :)

      Hapus
  14. Tulisan tangan yang bagus, Sampai terbawa suasana saya :)

    BalasHapus
  15. Karna lidah telah dibiasakan sejak kecil, maka ya terasa eneg di saya kayak snack2, manis2.

    Tp kalo hal wajib buat saya yaitu Daun Kemangi + Sambal.
    Tanpa itu sy ga bisa hidup bang 😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lidah saya juga dari kecil terbiasa makanan asin dan pedas :D

      Tapi pas tinggal di Eropa Barat, akhirnya kebiasaan juga pas sarapan jadinya menyantap yang manis2 karena emang adanya itu doang. Haha. Yang penting kenyang aja sih intinya.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bule Ketemu Online, Bisakah Serius?

( PERHATIAN!!! SAYA BANYAK SEKALI MENERIMA TESTIMONIALS SOAL COWOK-COWOK DARI INGGRIS YANG MEMINTA ALAMAT SI CEWEK YANG DIKENAL VIA ONLINE. FYI , HAMPIR SEMUA MODUS PENIPUAN SEPERTI INI BERASAL DARI INGGRIS DAN AMERIKA! JANGAN PERNAH TERTIPU KEMASAN KULIT PUTIHNYA, KARENA BISA JADI YANG KALIAN AJAK CHATTING -AN ATAU VIDEO CALL -AN ITU ADALAH PENIPU !! JANGAN PERNAH BERI DATA DIRI SEPERTI NAMA LENGKAP, ALAMAT, SERTA NOMOR IDENTITAS ATAU KARTU KREDIT KE ORANG-ORANG ASING LEWAT DUNIA DIGITAL! BE SMART, BE AWARE, AND PLEASE JANGAN DULU BAPERAN KALO ADA YANG MENGAJAK NIKAH PADAHAL BARU SEMINGGU KENAL!!!) Selain berniat jadi au pair, ternyata blog saya banyak dikunjungi oleh cewek-cewek Indonesia yang ingin pacaran atau sedang dekat dengan bule. Gara-gara tulisan tentang cowok Eropa dan cowok Skandinavia , banyak pembaca blog yang mengirim surel ke saya dan curhat masalah cintanya dengan si bule. Aduh, padahal saya jauh dari kata "ahli" masalah cinta-cintaan. Saya sebetu...

Mempelajari Karakter Para Cowok di Tiap Bagian Eropa

*I talk a lot about European boys in this blog, but seriously, this is always the hottest topic for girls! ;) Oke, salahkan pengalaman saya yang jadi serial dater  selama tinggal di Eropa. Tapi gara-gara pengalaman ini, saya juga bisa bertemu banyak orang baru sekalian mempelajari karakter mereka. Cowok-cowok yang saya temui ini juga tidak semuanya saya kencani. Beberapa dari mereka saya kenal saat workshop, festival, ataupun dari teman. Beruntung sekali, banyak juga teman-teman cewek yang mau menceritakan pengalamannya saat berkencan dari cowok ini, cowok itu, and all of them have wrapped up neatly in my head! Secara umum, tulisan yang saya ceritakan disini murni hasil pengalaman pribadi, pengalaman teman, ataupun si cowok yang menilai bangsanya secara langsung. Letak geografis Eropanya mungkin sedikit rancu, tapi saya mengelompokkan mereka berdasarkan jarak negara dan karakter yang saling berdekatan. Kita semua benci stereotipe, tapi walau bagaimana pun kita teta...

First Time Au Pair, Ke Negara Mana?

Saya ingat betul ketika pertama kali membuat profil di Aupair World, saya begitu excited memilih banyak negara yang dituju tanpa pikir panjang. Tujuan utama saya saat itu adalah Selandia Baru, salah satu negara impian untuk bisa tinggal. Beberapa pesan pun saya kirimkan ke host family di Selandia Baru karena siapa tahu mimpi saya untuk bisa tinggal disana sebentar lagi terwujud. Sangat sedikit  host family dari sana saat itu, jadi saya kirimkan saja aplikasi ke semua profil keluarga yang ada. Sayangnya, semua menolak tanpa alasan. Hingga suatu hari, saya menerima penolakan dari salah satu keluarga yang mengatakan kalau orang Indonesia tidak bisa jadi au pair ke Selandia Baru. Duhh! Dari sana akhirnya saya lebih teliti lagi membaca satu per satu regulasi negara yang memungkinkan bagi pemegang paspor Indonesia. Sebelum memutuskan memilih negara tujuan, berikut adalah daftar negara yang menerima au pair dari Indonesia; Australia (lewat Working Holiday Visa ) Austria Ame...

Berniat Pacaran dengan Cowok Skandinavia? Baca Ini Dulu!

"Semua cowok itu sama!" No! Tunggu sampai kalian kenalan dan bertemu dengan cowok-cowok tampan namun dingin di Eropa Utara. Tanpa bermaksud menggeneralisasi para cowok ini, ataupun mengatakan saya paling ekspert, tapi cowok Skandinavia memang berbeda dari kebanyakan cowok lain di Eropa. Meskipun negara Skandinavia hanya Norwegia, Denmark, dan Swedia, namun Finlandia dan Islandia adalah bagian negara Nordik, yang memiliki karakter yang sama dengan ketiga negara lainnya. Tinggal di bagian utara Eropa dengan suhu yang bisa mencapai -30 derajat saat musim dingin, memang mempengaruhi karakter dan tingkah laku masyarakatnya. Orang-orang Eropa Utara cenderung lebih dingin terhadap orang asing, ketimbang orang-orang yang tinggal di kawasan yang hangat seperti Italia atau Portugal. Karena hanya mendapatkan hangatnya matahari tak lebih dari 3-5 minggu pertahun, masyarakat Eropa Utara lebih banyak menutup diri, diam, dan sedikit acuh. Tapi jangan salah, walaupun dingin dan hampa...