Jumat malam, ceritanya saya sedang ngidam makan Kebab. Entah apa alasannya, saya terbayang-bayang daging domba empuk dan enak dibungkus dengan roti dan salad. Tahu Bunny hampir selalu available, saya menghubungi doi yang unsurprisingly memang sedang free. Friday night, jauh-jauh ke Kopenhagen cuma cari Kebab.
Karena rumahnya Bunny tak jauh dari Nørrebro, kami sepakat mencari kedai Kebab yang masih buka hingga tengah malam di sekitar situ. Banyak sebetulnya. Apalagi distrik ini termasuk daerah ghetto yang paling banyak imigran Muslim. Kedai Kebab dan supermarket halal dimana-mana. Tapi sekali ini saya minta tolong Bunny menemukan tempat terenak, bukan kedai 'abal-abal'.
Entah kalian ya, tapi menurut saya Kebab di Denmark paling enak. Apalagi kedai yang ada di Lyngby, legendaris sekali! Kenapa saya katakan enak, karena saya pernah mencoba yang 'asli' di Turki tapi hambar. Di Jerman, hanya menang besar tapi biasa aja. Di Oslo, apalagi! Mahal tapi mengecewakan.
Kebab di Denmark rasanya berbeda. Kalau kalian bisa memilih kedai terbaik, dagingnya lebih empuk dan berasa. Rotinya juga homemade dan saladnya selalu segar. Plus, tambahan yang tidak saya temukan dimana pun—bahkan di negara asalnya, sambal mangkok yang selalu tersedia di meja makan! Kalau tidak ada, tanyakan ke kasir karena biasanya disimpan di kulkas. Sambalnya merah dan berminyak, tapi lumayan pedas dan bisa menambah cita rasa si Kebab.
Pulang dari makan Kebab, saya mampir ke rumahnya Bunny menumpang tidur. Sengaja memang ingin menginap, karena besoknya juga libur.
Saat itu doi masih menyewa tempat di Bispebjerg. Hanya berupa studio mini yang super sederhana. Tapi namanya juga lelaki ya, studionya berantakan minta ampun! Saat saya datang kesana, piring kotor masih di wastafel, baju kotor dan baju bersih tidak ada bedanya, lantainya berdebu, plus kasurnya acak-acakan.
Ini cowok gengsinya dimana?? Bersihkan dulu kek ini kamar sebelum saya mampir. Vakum dulu kek lantainya.
Meskipun terlihat berantakan, tapi Bunny sebetulnya tipe cowok yang rapih dalam berpakaian. Pertama kali ketemu saat kencan pertama pun, doi tetap memakai kemeja hitam panjang saat musim panas. Di beberapa kencan berikutnya, doi juga tidak pernah pakai pakaian jenis lain selain kemeja. Lalu saya baru tahu kalau hampir 90% isi lemarinya memang kemeja.
Tidak seperti para cowok lainnya yang punya banyak jenis pakaian dari kaos oblong sampai jas, Bunny hanya punya kemeja. Titik. Sepuluh persen isi lemarinya juga hanya baju-baju musim dingin berwarna hitam. Those are what he likes. Tapi jangan salah, meskipun rumah si Bunny hanya studio sederhana, tapi doi kalau belanja memang beli kualitas. Isi lemarinya pun meskipun diskonan, harganya masih di atas 1000 DKK.
Jam 2 pagi, saya pamit tidur. Meskipun Bunny hanya punya satu ranjang ukuran dobel, tapi doi cukup respek tetap pakai kaos dan kolor saat saya disana.
"I am used to sleeping naked," katanya.
"Please not tonight. Ngomong-ngomong, kamu punya bantal lain tidak ya? Kenapa cuma satu?" tanya saya sambil celingak-celinguk mengecek tiap sudut ranjangnya.
"I only have one."
. . .
"So how could your ex sleep before, if you only have one pillow?!"
"Hmmm.. dulu mantan saya tidur di coat tebal itu sih," katanya sambil menunjuk mantel tebal tergantung di dekat pintu. "You can have that if you want. It's thick and useful as a pillow. I will take it for you."
What an initiative! Saya dikasih lipatan mantel. What a host and date! Bunny terlihat santai dan pede sekali hanya memberi si teman kencan mantel untuk dijadikan bantal. Bunny kok sengsara sekali ya? Itu mantan pacarnya cuma dikasih bantal saat tinggal bareng, kok ya betah-betah saja?
"Well, you can have mine," katanya setengah tidak ikhlas melihat saya yang tiba-tiba manyun.
To be honest, saya tidak tertarik tidur di bantal Bunny. Saya hargai sikap gentleman-nya yang mau meminjami saya si bantal kesayangan. Tapi bantalnya seperti tidak berbentuk lagi. Lembut-lembut minta dibuang yang kapuknya sudah mulai menyatu ke bagian kanan dan kiri saja.
Kesal dan tidak tahu harus bagaimana, akhirnya saya menyerah tidak tidur pakai bantal malam itu. Mantel tebal si Bunny tidak nyaman dijadikan bantal karena wol-nya bikin gatal.
Esok-esoknya, saya sampai harus beli bantal murahan sendiri di Netto kalau ingin menginap di tempat Bunny. Itu cowok ya, hidupnya apa adanya sekali. Why don't try to impress me once in his lifetime?!
Anyway, sekarang si Bunny sudah pindah ke tempat yang sedikiiiit lebih besar dari studio lamanya. Sedihnya, baru 5 bulan tinggal disitu doi seperti tidak bahagia karena si apartemen dekat sekali dengan jalan raya. Katanya dia sampai harus pasang earplugs dan masker mata sebelum tidur agar terhindar dari polusi suara setiap malam. Bunny is not a spoiled guy as long as it's quite cheap and close to his workplace. Karena dia tahu, cari apartemen di Kopenhagen susahnya bukan main apalagi di tengah kota.
Would you like to date this kind of Scandinavian guy, girls?
Loh. Cuman nginep doang? Ahahahaha
BalasHapusKonon Kebab di Nørrebro yang enak itu si Kosk, tapi ga tau lah saya, jarang makan. Yang Lyngby Shawarma itu emang legendaris abis, satu kota kayaknya tau....
Btw, soal kerapian rumah ini poin penting buat gw pas dating, dulu pas pertama kali ke apartemennya ScandiGuy langsung tarik napas lega krn rumahnya rapi, ya ga tau sih dia mati2an bersih2in sebelumnya apa enggak, yang penting nggak slordeh
Aku harus berharap apa, Ce? ;p
HapusLagian ini juga sebetulnya cerita lama. Sewaktu masih suka berseliweran di Kopenhagen dulu.
Aku pertama kali masuk ke studio-nya ini cowok, langsung ngucap, "ASTAGANAGA!"
Berantakan bangeeeet!! Gak ada sisi yang rapih. Pusing sendiri.