Berkesempatan tinggal di luar negeri adalah salah satu pengalaman transformatif dan tak terlupakan seumur hidup. Bisa karena melanjutkan sekolah, mendapatkan pekerjaan di perusahaan asing, ikut suami migrasi, atau pun jadi au pair. Namun apapun alasannya, semua orang mengakui bahwa hijrah ke luar negeri itu tidak mudah. Kamu harus berlatih untuk adaptasi dengan budaya baru, memaksa diri untuk belajar bahasa lokal, berpikiran lebih terbuka dengan perbedaan, sampai memaklumi rasa kesepian.
Saya sendiri merasa beruntung selama hampir 4 tahun ini jadi au pair dan bisa tinggal di 3 negara berbeda di Eropa. Tapi jadi au pair di Eropa tentu saja tidak selamanya bahagia. Di Eropa Utara, kebanyakan orang lokalnya terkenal tertutup dan tidak terlalu membuka kesempatan untuk berteman dengan orang baru. Jadi pelajar atau ikut suami masih lebih baik, meskipun sama-sama homesick, namun setidaknya setiap hari bertemu teman di kelas ataupun ada yang bisa diajak mengobrol di rumah.
Jadi au pair, kamu harus tinggal dan bekerja di rumah saja selama 5-6 hari per minggu. Yang bisa diajak main hanya host kids atau hewan peliharaan. Yang bisa diajak bicara hanya host parents yang belum tentu juga nyaman dijadikan teman. It's so frustrating!
Tahun keempat saya di Norwegia adalah yang terberat. Bayangkan saat kamu harus pindah-pindah negara dalam waktu 4 tahun, bukannya menyenangkan malah melelahkan. Sudah nyaman dengan satu negara dan punya teman dekat, harus pindah lagi ke negara lain. Apalagi kesempatan bertemu orang baru di Oslo tidaklah selebar saat saya di Kopenhagen atau Brussels. Proses pencarian teman harus mulai dari awal lagi dan belum tentu juga langsung cocok.
Saya tak pernah menyesal dengan pengalaman yang pernah saya dapatkan di tiap negara selama menjadi au pair. Namun ada beberapa hal yang merasa hilang dan selalu dirindukan.
1. Berpikir kritis
Saya lulus kuliah S1 tahun 2014, lalu sebulan kemudian langsung berangkat ke Belgia dan jadi au pair untuk pertama kalinya. Saat itu saya betul-betul penat selepas wisuda dan bersumpah untuk tidak akan melanjutkan kuliah master. Hari-hari sebagai au pair saya lalui dengan ringan karena the first world problem hanyalah memikirkan kemana nongkrong weekend ini atau negara mana yang harus saya singgahi saat liburan.
Nyaris empat tahun kemudian, saya jenuh terus-terusan hidup manja dibawah naungan fasilitas mewah dari host family yang seringkali berdampingan juga dengan rasa hampa. Saya rindu teman kuliah yang dulunya obrolan kami tidak terbatas dari hal kecil seperti dosen rese hingga politik luar negeri. Sampai sini, topik terpanas hanyalah seputar host family, urusan anak, ataupun cowok Tinder.
Terlalu lama jadi au pair juga membuat banyak kosakata bahasa Inggris saya ikut hilang karena setiap hari hanya membahas dapur dan anak. Pernah suatu kali diajak diskusi masalah imigran di Eropa, saya gagu karena bingung melemparkan kata-kata yang pas dalam bahasa Inggris. Setelah masa vakum lebih dari 4 tahun ini, otak saya sepertinya perlu diajak berpikir lebih mendalam agar tetap kritis dan bijak melihat masalah dari banyak sisi.
2. Teman dekat
Lingkup pertemanan au pair itu super sempit. Dari Senin sampai Jumat, bahkan Sabtu, kerjanya hanya di rumah mengurus anak dan rumah orang. Beruntung kalau host parents kita termasuk orang yang asik diajak cerita. Seringkali, host parents tak lebih dari sekedar 'bos' yang membuat kita segan dan menjaga jarak.
Kalau hanya cari teman hangout setiap minggu, mungkin bisa ikut salah satu event di Meetup atau Couchsurfing. Tapi menemukan teman sehati yang bisa diajak cerita dan mengerti dengan kondisi kita, itu yang susah. Apalagi saya sedikit picky memilih teman. Kenal boleh, tapi belum tentu besoknya orang tersebut saya ajak jalan. Saya juga bukan seperti para au pair Filipina yang terlalu nyaman dengan geng Filipinanya saja. Bagi saya, kebanyakan teman Indonesia di luar negeri itu bisa jadi bumerang. Belum lagi kalau cekcok dan kebanyakan drama, duh, no way!
Makanya hidup au pair itu sebetulnya lebih banyak kesepiannya. Datang ke tempat kursus, belum tentu pulang-pulang membawa teman. Pun berniat having fun dengan orang baru kesana kemari, belum tentu juga meninggalkan kesan setelahnya. Ujung-ujungnya hanya berteman dengan sesama profesi au pair saja. Bahkan cari pacar yang pengertian kadang lebih gampang ketimbang cari teman.
3. Being creative
Saya rindu menggambar, menjahit, atau membuat pernak-pernik lucu sebagai hobi untuk membunuh kejenuhan. Di Belgia dulu masih enak, bahan membuat kerajinan tangan masih mudah didapat dengan harga yang cukup terjangkau. Di Skandinavia, saya kadang takut merogoh kocek lebih dalam hanya untuk segulung benang jahit.
Anyway, sebetulnya jiwa kreatif saya mati bukan juga karena takut membuang uang. Tapi entah kenapa saya merasa kehilangan inspirasi dan motivasi. Terakhir kali merasa menjadi kreatif adalah tahun lalu, saat saya membuat mahkota kertas berbentuk kupu-kupu sebagai pelengkap saat Bachelorette Party seorang teman di Kopenhagen. Lantai kamar jadi berantakan dan penuh dengan guntingan kertas, but at the same time I found my soul.
Meskipun au pair katanya dianggap sebagai keluarga, faktanya kita tetaplah the outsider. Saya pernah mengundang seorang teman ke rumah host family. Kamar saya letaknya di lantai dasar, sementara dapur dan ruang tamu di lantai dua. Karena saat itu sudah lewat jam makan malam, saya berinisiatif ke atas mengambil minum dan masak makanan untuk si teman ini. Tak disangka, ternyata si teman ikut menyusul ke atas karena katanya ingin ikut membantu.
Sadar ekspresi host parents saya tiba-tiba berubah masam saat si teman ada di dapur, saya suruh saja si teman ini turun dan menunggu di bawah. Benar saja, 10 detik kemudian host dad menghampiri saya dan mengatakan kalau hanya saya yang boleh menginjak ruangan inti. Jlebb! Padahal tidak ada aba-aba dari mereka sebelumnya apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama tamu saya datang.
Yang saya lihat, host family ini memang bukan tipe keluarga yang nyaman dengan orang asing. Tamu saya ya tamu saya, bukan tamu mereka. Selagi tamu saya bukan mereka yang mengundang, tamu saya tidak diperkenankan naik ke atas dan melihat-lihat isi rumah. Bahkan saat itu host mom menyuruh kami makan di kamar saja. Bahh! Padahal siapa juga yang ingin makan di meja makan mereka.
Di satu sisi saya memahami kalau host family ini memang butuh privasi dan tidak ingin ada orang lain berkeliaran di rumah mereka. Tapi di sisi lain, saya rindu kenyamanan dan privasi diri sendiri yang tiada seorang pun berani melarang saya melakukan apapun. Kadang saya berpikir, daripada jadi live-in au pair, lebih baik memilih live-out. Meskipun hanya memiliki kamar sewaan sepetak murah, namun bebas mengundang siapa pun tanpa harus izin dulu. Tapi ya, impossible!
5. Karir
I wonder, what's my professional skill apart from being highly trained in changing the diapers or carrying the babies in 101 styles?
What should I put in my CV whereas my previous (and current) working experience is just being an au pair?
Tahu kan, au pair itu sebetulnya tidak dianggap sebagai pekerjaan meskipun kita memiliki working permit. Di Skandinavia, meskipun kasusnya au pair dapat tunjangan dan mesti bayar pajak, tapi pekerjaan ini hanya diasumsikan sebagai pertukaran budaya saja. Selain itu, banyak orang tidak tahu au pair itu apa. Makanya menggambarkan au pair sebagai suatu pengalaman kerja profesional sebetulnya belum pantas. Apalagi kalau kita melamar pekerjaan di jabatan yang sama sekali tidak berhubungan dengan childcare.
Saat ini saya hanya menaruh posisi au pair pada "additional experience" di bawah "working experience". Daripada menuliskan detail pekerjaan sebagai tukang masak, jaga anak, dan cleaning lady, sebaiknya tulis di deskripsi kalau kita memiliki pengalaman di dunia internasional dalam menghadapi cross-cultural communication serta memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan atau budaya baru.
Au pair is a good experience. But I couldn't get a job I want by just picturing myself as a high skilled au pair.
6. Rumah
Saya dan adik saya kebetulan memang sedang jauh dari rumah. Saya di Norwegia, sedangkan si adik sedang menyelesaikan studinya di Cina. Meskipun jenuh dan kesal juga dengan kelakuan orang Indonesia zaman sekarang, tapi kami tidak pernah membenci rumah dan selalu menanti pulang ke Indonesia.
No matter what, we call Palembang home. Kami selalu rindu kesederhanaan rumah, rindu makanan Palembang, rindu gerobak model di depan masjid, rindu Go-Jek, rindu menyetir, rindu joke ala wong kito galo, dan rindu juga teman atau keluarga yang rasa sayangnya tidak berubah meskipun ditinggalkan.
Ini fakta, lho! Saya pikir, setelah meninggalkan Indonesia selama 4 tahun, saya akan kehilangan banyak teman. Apalagi banyak sekali teman dekat saya dari SD hingga kuliah sudah menikah dan memiliki anak. Salutnya, meskipun tahu saya tidak akan pernah bisa datang di hari H, mereka tetap mau mengirimkan undangan nikah bahkan mencetak nama saya langsung di undangan tesebut. Terharu!
What would you miss the most when leaving Indonesia?
Komentar
Posting Komentar