Seorang kenalan menyapa via WhatsApp. Saya melirik ponsel sebentar, lalu tahu kalau si kenalan ini ternyata ingin minta bantuan. Katanya dia sudah bertanya ke teman yang lain, tapi tidak ada yang bisa membantu.
Saya tidak pernah bertemu dengan orang ini sebelumnya. Yang saya tahu hanya namanya. Baru kenalan pun sehari yang lalu karena doi ini mengaku temannya teman saya. Foto di WhatsApp juga tidak jelas sehingga sulit mengenali si empunya wajah.
Katanya dia betul-betul urgent ingin minta tolong. Saya tidak bisa membantu kala itu namun hanya coba memberikan banyak informasi yang mungkin bisa menjadi solusi. Seharian si kenalan mencoba bertanya ulang ke saya lagi dan lagi. Meskipun lagi sibuk babysitting, saya jadi tak tega dan ikut mencari informasi lain yang sekiranya bisa membantu.
Selesai mendapatkan bantuan, si kenalan ini hanya mengucapkan, "I love you."
Heh?
By the way, doi cewek. Tapi mungkin karena terlalu girang sudah mendapatkan jawaban yang relevan, dia hanya bisa mengungkapkan ekspresi bahagianya dengan kalimat tersebut, instead of....thank you.
Was it hard to say those two magic words in a second?
Lalu saya paham, kalau orang Indonesia memang tidak terbiasa dengan ucapan "terima kasih". Dua kata ini biasanya dinilai 'sakral' hanya saat kita diberikan barang semisal hadiah atau angpao.
Pertama kali datang ke Belgia, saya sebetulnya sering sekali dibanjiri ucapan terima kasih dari host family untuk usaha sekecil apapun. Jujur saja, saya sedikit risih di awal dan merasa mereka terlalu berlebihan. I just did what I could.
Diambilkan jaket, terima kasih.
Dimasakkan makanan, terima kasih.
Diantar anaknya ke sekolah, terima kasih.
Dibukakan pintu, terima kasih.
Kelamaan sedikit jam mengasuh anaknya, diucapkan beribu terima kasih.
Saya heran, padahal menjaga anaknya memang tugas harian saya. Tapi tetap saja, si host family tak segan berterima kasih atas apa yang sudah saya lakukan untuk mereka.
Datang ke Skandinavia, saya semakin heran dengan kebiasaan orang-orang lokal yang juga suka sekali berterima kasih untuk hal apapun.
"Mau pakai gula?"
"Iya, terima kasih."
"Selamat berakhir pekan!"
"Terima kasih. Kamu juga ya!"
"Ini kembaliannya."
"Terima kasih banyak!"
"Rok kamu lucu sekali!"
"Terima kasih."
"Semoga kalian menyukai makanannya."
"Terima kasih."
"Semoga perjalanannya menyenangkan!"
"Terima kasih!"
See? Setiap kepedulian orang lain yang menyenangkan kita, tak henti-hentinya dibalas dengan ucapan terima kasih. Kalian kira, orang yang memberikan informasi tak patut diberikan "perhargaan"? Kalian pikir informasi itu gratis? Kalian pikir, tidak ada waktu yang terbuang hanya untuk memberikan informasi yang sebetulnya sangat berguna untuk hidup mu?
Kita memang harusnya tidak boleh mengharapkan apapun atas apa yang sudah diberikan ke orang lain, pun ucapan terima kasih. Tapi kelamaan tinggal di Skandinavia, membuat saya terbiasa mengucapkan kata-kata sakti ini. Kadang sekembalinya ke Indonesia, kuping saya jadi jengah kalau ada usaha kecil seseorang yang dirasa tak bernilai harganya.
Baru-baru ini saya membantu sepupu mengganti jadwal tiket pesawat internasional yang sedang ada masalah di jadwal transitnya. Dari awal sampai akhir, saya yang membantunya bicara ke orang maskapai hingga membuat keputusan. Lalu setelah beres dan mendapat kode reservasi baru, sepupu saya ini hanya mengetik kalimat pendek, "OK", di akhir pembicaraan kami.
Ada lagi satu teman lama saya yang minta tolong dibuatkan surat pengunduran diri berbahasa Inggris yang sebetulnya bisa doi contek di Google, tapi malah lebih senang menyerahkan semuanya ke saya. Setelah selesai, doi hanya membalas pesan saya pendek, "mantap!"
Entah kenapa di Indonesia ucapan terima kasih terdengar sangat mahal bila diucapkan ke keluarga, sohib karib, atau orang yang lebih muda. Padahal di Eropa, anak-anak kecil dari umur 2 tahun sudah dibudayakan dan diwajibkan mengucapkan "terima kasih" tanpa melihat status dan umur.
Host kid di keluarga Norwegia saya, tak henti-hentinya selalu diingatkan untuk berterima kasih kepada siapa pun. Kalau dia lupa, orang tuanya tak jarang menegur dan kembali memberikan pengarahan bahwa pertolongan orang lain itu patut dihargai.
Bahkan di Denmark dan Norwegia, selalu ada ucapan "Tak for mad/matten!" (Terima kasih makanannya!) setiap selesai makan. Ucapan ini diberikan kepada si pembuat makanan yang sudah bersusah payah masak untuk menyenangkan perut kita.
Di Indonesia, ucapan ini nyaris nihil diucapkan oleh anak-anak. Bahkan saya pernah membaca satu artikel yang mengatakan bahwa anak-anak tidak seharusnya berterima kasih setiap diberikan hadiah. Alasannya, karena ditakutkan si anak ini merasa bahwa apa yang sudah diberikan wajib mendapatkan pamrih. Padahal, thanking someone won't hurt you anyway.
Iseng-iseng, saya menonton lagi sinetron lawas Indonesia via Youtube, Si Doel Anak Sekolahan, yang sangat populer di era 90-an. Saya tidak ingin mengupas kejelekan sinetron ini karena ceritanya mengingatkan saya dengan masa kecil yang sangat natural. Tapi lewat sinetron ini, bisa kita lihat bahwa anak-anak Indonesia memang tidak dibiasakan mengatakan "terima kasih" sejak dini.
Si Enyak yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga, tak henti-hentinya bekerja di rumah melayani keluarga. Mulai dari masak, membuatkan kopi untuk si Babe, jaga warung, juga melayani si Doel yang kadang kelelahan sepulang kerja. Lalu, apa yang didapat Enyak? Tidak ada. Jangankan ucapkan terima kasih, kadang si Enyak ini juga mendapat hinaan dari hasil jerih payahnya membuatkan kopi.
Pernah lagi ada adegan si Doel yang membantu anak-anak membetulkan rantai sepeda di tengah jalan, lalu setelah beres, ditinggalkan begitu saya oleh si anak ini. It's SO rude to do so here! Berani-beraninya kamu langsung meninggalkan seseorang yang sudah membetulkan sepeda mu tanpa ucapan terima kasih sedikit pun. Ingin dimaklumi karena dia anak-anak? Ya, begitulah. Karena sering mendapatkan kemakluman, anak-anak Indonesia jadi tidak tahu bagaimana seharusnya menghargai pertolongan orang lain.
Saya juga bukan anak Indonesia yang sempurna dulunya. Saya nyaris absen mengatakan terima kasih ke orang-orang yang seharusnya deserve it. Datang ke Eropa membuka pikiran saya, bahwa kebiasaan baik masyarakat sini memang sudah terbentuk sejak kecil lalu mendarah daging. Tenaga dan usaha manusia itu tidak murah harganya, tapi mengucapkan "terima kasih" pun tidak mengurangi isi kantong mu.
Makasih ya, Mba udah posting :)) Seneng :)
BalasHapusAaaahhh... so sweet. Iya, aku pas dapet email kamu itu, langsung buka draft dan edit tulisan yang udah lama pengen diposting. Salah satunya ya ini.
HapusMakasih banyak ya buat atensinya bacain postingan aku 🙏🏽 bener2 mengapresiasi ♥️
Hehehe ga tau kenapa tulisannya bikin candu. Bahasanya beda aja dari yang lain. Ringan dan bahasannya menarik! Hehehe
HapusIya, Mba. Sama-sama. I do happy juga kok 😄😄😄
Aku mah paling gak bisa nulis pake bahasa berat2. Lagian juga ini kan topiknya hanya soal lifestyle, bukan akademis ;)
HapusKlo budaya ini sih saya pertama kali beneran "melek" setelah ngobrol sama supir angkot pas pulang sekolah jauh sebelum ikut student exchange. Justru pas di luar negri, di rumah host mom budaya ini setiap hari ada, pas di tempat umum/school bus yg ada mereka cuek" ajah.
BalasHapusSaying thank you juga ada tempatnya juga dong ;D Gak harus setiap orang dikasih ucapan makasih kalo emang gak perlu. Nanti jadinya malah okwerd.
HapusTerima kasih mbak atas postingannya, benar2 membuka cakrawala berpikir. ..
BalasHapus