Tahun ini masuk tahun kelima saya jadi au pair di Eropa. Tidak menyangka akan selama ini. Bagi saya, kali pertama au pair itu merupakan 'pengalaman'. Kali kedua karena 'keasikkan'. Lalu kalau sudah masuk kali ketiga, itu namanya 'kebingungan'! Kebingungan apakah Indonesia betul-betul tanah yang kita harapkan untuk pulang ataukah justru sudah terjebak rasa nyaman yang jauh di tanah yang lain.
Au pair adalah program pertukaran budaya yang menawarkan kesempatan kepada anak-anak muda seperti kita merasakan pengalaman menakjubkan di tanah asing. Bisa dikatakan, program au pair ini sesungguhnya adalah jalan mewujudkan mimpi yang tertunda. Tidak hanya sekali, tapi kita bisa jadi au pair berkali-kali sampai batas usia 30 tahun. Namun terus-terusan memproyeksikan au pair sebagai job replacement akan menimbulkan ketergantungan yang bisa menjadi drawback dalam proses pengembangan diri dan karir di masa depan. This lifestyle is not going to last forever.
"When things are easy, you stop growing." - Anonymous
Tidak hanya au pair, setiap orang yang hijrah dari Indonesia ke luar negeri pasti memiliki cerita dan pengalaman yang berbeda meskipun tantangannya terberatnya adalah beradaptasi. Tapi apakah kita hanya melihat au pair sebagai program yang dikemas lewat tugas-tugas rumahan dan travelling saja? Karena pelajar dan ibu-ibu kawin campur di Eropa pun mungkin melakukan aktifitas yang sama. Justru menurut saya, yang berharga itu bukan au pairnya, tapi WHAT have we done/gotten while being an au pair?!
Saya masih terus belajar mengasah dan memaksimalkan potensi diri yang ada agar lebih percaya diri dalam berkarier. Namun beberapa hal di bawah, saya yakini memiliki impact luar biasa dalam proses pengembangan diri saya selama disini.
1. Ikut kegiatan sukarelawan
Untuk menjadi au pair yang luar biasa, kita tidak bisa hanya kerja di rumah sampai menunggu akhir pekan saja. Sebagai au pair yang harus berkomitmen pada 1 keluarga, kita juga tidak bisa menambah skill baru dengan mencoba kerja tambahan di tempat lain. Cara terbaik satu-satunya adalah mencari pengalaman kerja sebagai relawan di waktu senggang. Ada banyak keuntungan yang bisa didapat dengan menjadi relawan di negara kita tinggal, salah satunya untuk mempercantik resume kerja. Kegiatan sukarelawan ini juga bermanfaat untuk mengembangkan rasa empati, kecakapan kerja dalam tim, komunikasi lintas bahasa, serta jiwa kepimpinan ketika berhasil membantu menyukseskan satu acara.
Sejak tinggal di Denmark, kegiatan akhir pekan saya banyak diisi dengan ikut kegiatan sukarelawan di banyak festival; mulai dari festival musik hingga acara berbau teknologi. Seru, karena bisa masuk festival gratis dan sempat juga dapat goodie bag berisi suvenir lucu! Bayangkan kalau saya tidak pernah ikut kegiatan ini, lalu hanya mengandalkan pengalaman au pair selama 5 tahun?! Is it even "a job" to be proud of??
Jadi daripada menyertakan job desk au pair yang hanya berkutat di masalah cleaning dan ganti popok bayi, lebih baik fokus pada kegiatan volunteering yang pernah kita lakukan. Studi yang dilakukan Center for Economic and Policy Research di tahun 2013 mengemukakan bahwa orang-orang yang pernah menjadi sukarelawan selama 20-99 jam per tahun, setidaknya 7% kemungkinan lebih mudah mendapatkan pekerjaan ketimbang yang belum pernah berpartisipasi.
2. Memiliki jaringan pertemanan yang luas
Kebanyakan au pair biasanya memiliki kehidupan sosial yang sangat sempit. Kalau tidak dari sesama au pair, biasanya satu negara. Isn't it boring to hear the same stories again and again? Lagi-lagi soal gosip si ini dan si itu, lagi-lagi soal gebetan bule, atau lagi-lagi masalah keluarga angkat di rumah. Nyaman memang bertemu dengan teman-teman senasib, namun lingkar pertemanan seperti ini justru membuat kita tidak berkembang. Saya sampai pernah menuliskan hal-hal yang harus dihindari antar au pair, kalau memang akhirnya kita harus banyak mengobrol dengan golongan ini saja.
Memang tidak semua orang memiliki jiwa sosial dan kepercayaan diri bertemu dengan orang baru. Namun kalau ingin berkembang, harus memaksa diri bergaul dengan orang-orang yang berbeda latar belakang, umur, profesi, serta sudut pandang. Dimana menemukan mereka? Bisa dengan rajin ikut kegiatan Meetup, volunteering, konferensi, atau seminar. Siapa tahu mereka bisa membawa lapangan pekerjaan, ilmu, bahkan jodoh untuk kita! Di luar ekspektasi itu, yakinlah bahwa orang-orang baru yang kita temui selalu membawa cerita yang berguna untuk membuka wawasan.
Ketika memiliki lingkar pertemanan yang begitu sempit di Belgia, saya berjanji pada diri sendiri untuk keluar dari zona nyaman saat pindah ke Denmark. Banyak sekali orang-orang baru yang akhirnya saya temui lewat acara Meetup ataupun sukarelawan. Sering kali saya datang sendirian malah. Tentu saja saya tidak berharap mereka semua akan menjadi teman — karena mencari teman di Skandinavia itu lebih sulit ketimbang cari pacar, tapi proses membuka diri dengan orang-orang baru ini menumbuhkan rasa percaya diri saya untuk semakin terbuka dan ekspresif dalam mengemukakan pendapat.
3. Serius belajar bahasa lokal
Saya mengerti bahwa tidak semua orang suka belajar bahasa. Kebanyakan au pair juga malas datang ke tempat kursus karena tempat yang jauh atau selalu berpikir, "buat apa repot-repot belajar bahasa lokal, toh tidak berguna ke depannya/banyak juga yang mengerti bahasa Inggris".
Sebagai au pair yang katanya ingin bertukar budaya di Eropa, harusnya kita menggunakan kesempatan belajar bahasa gratis ini secara maksimal. Keluarga angkat banyak yang mendukung, bersedia membayari kita kursus bahasa, sampai ada yang tidak keberatan membiayai ongkos transportasi dan meminjamkan mobilnya sekalian. Bagi saya, belajar bahasa apapun itu tidak akan pernah sia-sia. Namanya juga proses belajar, tentu saja tidak ada yang mudah.
Kecakapan bahasa Denmark dan Norwegia saya tidak begitu bagus, tapi sudah punya dasarnya. Saya juga cukup nyaman berbicara dalam "level anak-anak" meskipun masih sering tulalit dan tata bahasanya lari-lari. Tapi dengan bangga, saya menyertakan kemampuan bahasa ini di resume kerja karena tidak semua orang Indonesia memiliki kemampuan bahasa Skandinavia. Percayalah, di era digital dan globalisasi ini, kemampuan bahasa Inggris saja tidak akan cukup.
4. Fokus memulai hobi baru
Saya salut dengan para au pair yang datang ke Eropa lalu menemukan aktifitas baru yang bisa dijadikan hobi. Dari yang tadinya tidak suka masak, jadi sering masak. Bukan yang abal-abal, tapi bisa dikomersialkan malah. Ada juga yang jadi suka hiking, dandan, fotografi, menjahit, membaca banyak buku, olahraga, dan ikut kelas dansa. Banyak juga yang jadi vlogger karena ingin sharing tentang pengalaman di luar negeri, lalu membeli kamera bagus dan belajar mengedit video sendiri. Trust me, we could improve ourselves by doing what we enjoy the most! Selain sebagai relaksasi, hobi baru membuat kita belajar banyak hal baru yang membantu perkembangan otak.
Menurut ahli neuropsikologi Belanda, Margriet Sitskoorn, otak kita sebetulnya dinamis karena terus-menerus menciptakan sel-sel baru yang terkoneksi satu sama lain ketika kita belajar hal baru. Korteks serebral prefrontal mengatur emosi, pikiran, dan tindakan, yang tidak hanya bisa diperkuat melalui tidur dan olahraga, tapi bisa juga terjadi ketika mempelajari sesuatu yang baru. Ketika sel tumbuh dan koneksi antar sel membaik, alhasil, kita akan lebih mudah fokus pada sesuatu. Sitskoorn juga menambahkan bahwa sangat penting bagi kita untuk mempelajari sesuatu yang betul-betul baru dan bukan hanya merupakan pengulangan atau variasi yang sering kita lakukan.
Daniel Gilbert, profesor psikologi di Harvard di Amerika Serikat, juga menggarisbawahi pentingnya bersikap terbuka terhadap hal-hal baru. Dalam bukunya Stumbling on Happiness, Gilbert menulis bukan kepastian atau hal-hal yang familiar membuat kita bahagia, melainkan kejutan, pengalaman baru, tantangan, penemuan, dan momen pembelajaran yang tidak terduga. Gilbert juga percaya bahwa rasa ingin tahu itu sangat diperlukan sebagai proses mencapai kebahagiaan hidup. If you are curious, you learn more.
Lalu bagaimana dengan jalan-jalan?
Sure, you would learn about yourself through the differences and fast adaptation on road! Tapi setelah tinggal di Eropa, saya sejujurnya tidak terlalu tertarik dengan kegiatan travelling para teman au pair di luar sana. Travelling di Eropa itu bukan hal yang luar biasa karena sudah mirip piknik antar negara. Untuk lompat-lompat negara pun mudah saja karena bisa dapat tiket promo yang kadang lebih murah dari tiket antarkota di Indonesia. Ya, bisa dibilang ini privilege-nya penghuni Benua Biru.
Sekarang travelling sudah menjadi gaya hidup banyak orang yang tidak hanya sebagai bagian liburan dan rileksasi, namun juga memperkaya konten sosial media. There is nothing wrong about splurging and enjoying yourself in a Eurotrip, tapi gunakan juga kesempatan tinggal di luar negeri sebagai momentum terbaik untuk mengembangkan diri lewat cerita lain. 😉
Referensi lain: Flowmagazine
Komentar
Posting Komentar