Sebagai au pair yang tinggal di Benua Biru, salah satu privilege yang didapat adalah bisa jalan-jalan keliling Eropa dengan mudah. Hari ini bisa sarapan di Stockholm, siangnya lunch di Kopenhagen, lalu lanjut makan malam di Amsterdam. Besoknya, tiba-tiba sudah lunch di Paris, lalu dinner di Milan. Life is a luxury!
Tak heran mengapa sosial media au pair Eropa kebanyakan berisi foto jalan-jalan yang memamerkan gaya hidup anak muda zaman sekarang untuk tidak pernah absen travelling. Belum lagi karena kemudahan transportasi dan pendeknya jarak antar negara Eropa, membuat kesempatan travelling ke banyak tempat terasa lebih mudah dan cepat. Beda halnya kalau masih tinggal di Indonesia, Eropa seperti mimpi belaka.
Meskipun mudah, nyatanya keliling Eropa juga tidak murah. Apalagi uang saku au pair biasanya tetap harus dibagi untuk membayar pajak, ongkos transportasi dalam kota, beli baju, dan juga menabung. Inginnya terus jalan-jalan, tapi di sisi lain, harus menabung untuk simpanan masa depan. So, what should we choose between travelling and saving money? Atau, mana yang harus jadi prioritas?
I have been there, saat memilih lebih memprioritaskan jalan-jalan daripada tabungan! Di Denmark, jatah libur au pair 25-30 hari per tahun. Berbeda halnya dengan Belgia yang hanya dapat 14 hari per tahun. Lalu saya dapat libur full weekend ditambah public holidays yang membuat keinginan untuk keluar Denmark pun lebih sering. Kalau diingat-ingat, saya dulu bisa travelling hampir setiap bulan! Belum lagi padatnya acara hang out di kota membuat saya seringkali harus bertahan dengan sisa uang 10 krona sebelum habis bulan.
Saya tidak pernah menyesal rutin travelling sampai harus mengorbankan uang jajan. Apalagi travelling ke Benua Biru memang mimpi saya sejak di bangku kuliah. Alasan klasik lain saat itu; "Tak apalah, mumpung masih muda. Kapan lagi? Uang bisa dicari, tapi kesempatan jalan-jalan keliling Eropa belum tentu bisa didapat sekembalinya ke Indonesia." Cukup beralasan, karena dulunya saya memang sudah menargetkan Denmark sebagai negara terakhir jadi au pair, sebelum akhirnya settle down di Indonesia.
Tapi, haruskah gaya hidup seperti ini sampai mematikan semangat kita untuk menabung? Bukankah uang saku au pair di beberapa negara termasuk sangat lumayan? Setelah masuk tahun ke-5 jadi au pair di Norwegia, these are what I have learned about doing both; travelling AND saving money!
1. Saving money IS A MUST!
Sure, kita masih muda. Sure, kesempatan tidak akan datang dua kali. Sure, kapan lagi keliling Eropa. Tapi sebagai generasi muda yang mulai memikirkan masa depan; menikah, beli rumah, peduli kesehatan, atau melanjutkan pendidikan, jangan selalu tergoda untuk terus memuaskan gaya hidup. Saya cukup kaget ketika pertama kali au pair di Belgia, uang tabungan saya hanya tinggal 2,5 juta Rupiah saja. Sekembalinya dari Denmark, hanya bersisa 10 juta, itu pun langsung digunakan lagi untuk travelling. I earned money for travelling only? Really?!
Sampai di Norwegia, saya akhirnya mulai mengurangi kegiatan jalan-jalan dan hasrat untuk menabung pun lebih besar. Setelah menerima uang saku, uangnya langsung saya sisihkan untuk tabungan sekitar 20-35 persen. Saya bagi uang tabungan ke rekening Indonesia, rekening Denmark, rekening lokal, lalu untuk ikut arisan emas di Indonesia. Kalau masih ada sisa uang dari pengeluaran setiap bulan, saya tabung lagi sisanya ke rekening lokal.
Mengapa harus menabung ke Indonesia, karena saya tidak tahu nasib saya setelah jadi au pair akan kemana lagi. Kalau pun harus pulang dan menetap di Indonesia, artinya saya punya sedikit tabungan sebelum dapat kerja dan penghasilan tetap. Kalau ending-nya harus tinggal lebih lama di Eropa, artinya saya akan tetap menabung ke Indonesia yang uangnya bisa digunakan untuk dana darurat keluarga atau dana pensiun nanti. Sementara karena rekening di Denmark masih aktif, saya sisihkan saja sedikit uang untuk tabungan darurat lain disana.
Tapi kalau setelah masa au pair kita berencana lanjut kuliah, ikut Working Holiday Visa (WHV) di Australia, atau menyicil rumah di Indonesia, tentu saja dana yang dibutuhkan lebih besar lagi. Harusnya kita bisa menabung 50-60 persen dari uang saku setiap bulannya dan menjadikan tabungan sebagai prioritas utama ketimbang jalan-jalan.
Sejujurnya, saya juga tidak ingin munafik bahwa menabung itu sulitnya bukan main. Sudah susah-susah menyimpan uang dan berusaha konsisten, ada saja pengeluaran darurat. Belum lagi karena ingin hidup hemat, kita harus rela selalu absen acara hang out agar tidak tergoda jajan atau belanja di luar. Kalau sudah begini, cara lainnya adalah menabung di rekening teman atau buka rekening deposito yang uangnya tidak bisa kita tarik semaunya. I knoooow, it's insanely tough! Tapi ingat lagi, tabungan itu sebetulnya uang kita yang manfaatnya akan kembali ke kita juga.
2. Travelling is also A NEED!
Saya mengenal banyak au pair yang tidak terlalu tertarik travelling dan hanging out karena memang prioritas utamanya adalah menabung. Saya salut, but at the same time, kasihan. Salut, karena mereka bisa menabung sampai 70 persen uang sakunya ditambah cari kerja tambahan lagi di luar. Kerja keras yang mereka lakukan akhirnya terbayar karena bisa mengumpulkan banyak uang untuk modal kuliah atau mencicil rumah.
Tapi, saya juga kasihan karena mereka melihat program au pair sebagai ladang uang semata. Jadinya seperti money-oriented karena hanya berusaha earning money sebanyak mungkin, tanpa perlu earning experience yang juga berharga untuk mengenali potensi diri, memperluas networking, dan memperkaya cerita hidup. Padahal tiap orang pasti jenuh dengan rutinitas hariannya dan jalan-jalan ke tempat baru bisa jadi cara menghilangkan penat sekalian bersenang-senang. A full-time job shouldn't stop you from satisfying your wanderlust!
Tidak usah juga harus seperti saya dulu yang gila travelling setiap bulan sampai menguras uang tabungan. Kalau memang harus menghemat, bisa pergi ke negara-negara murah di Eropa Timur atau Eropa Tengah. Sekarang tidak perlu pusing bagaimana caranya bisa travelling on budget, karena informasi sudah bertebaran dimana-mana. Jika harus berhemat, pergilah ke 2-3 negara saja selama 12 bulan kita au pair. Pilihlah negara-negara yang berbeda dari negara yang kita tinggali agar pengalaman travelling-nya tidak hanya sebagai city break dan lebih berkesan.
Kota-kota di Eropa itu sebetulnya hampir mirip sesuai letak geografisnya dan tidak perlu semua negara harus didatangi. Contohnya, kalau kamu merasa Paris terlalu mahal, pergilah ke Praha yang lebih kalem dan murah. Belum mampu ke Portugal, pilihlah Kroasia. Kalau memang Islandia masih kejauhan, datanglah ke Norwegia untuk melihat keindahan alamnya yang luar biasa.
Jangan sampai ingin hidup hemat dan mengumpulkan uang banyak, kita jadi lupa caranya bersenang-senang. Belum mampu terbang jauh, mampirlah ke negara tertangganya saja. Tidak cukup uang untuk liburan panjang seperti teman-teman lainnya, maka cukup liburan saat weekend. Pick your own cities and schedule!
Kesimpulannya, travelling boleh jadi prioritas asal sudah menabung minimal 15-20 persen. Kalau memang punya planning lain selepas au pair yang membutuhkan dana lebih banyak, maka konsistenlah menabung 50-60 persen setiap bulan. Travelling harus tetap direncanakan, tapi cukup ke 2-3 negara favorit saja. Being a tourist in our host country sebetulnya tetap seru dan adventurous, kok!
We are young. We need experience, yet we also need money for the future!
Tak heran mengapa sosial media au pair Eropa kebanyakan berisi foto jalan-jalan yang memamerkan gaya hidup anak muda zaman sekarang untuk tidak pernah absen travelling. Belum lagi karena kemudahan transportasi dan pendeknya jarak antar negara Eropa, membuat kesempatan travelling ke banyak tempat terasa lebih mudah dan cepat. Beda halnya kalau masih tinggal di Indonesia, Eropa seperti mimpi belaka.
Meskipun mudah, nyatanya keliling Eropa juga tidak murah. Apalagi uang saku au pair biasanya tetap harus dibagi untuk membayar pajak, ongkos transportasi dalam kota, beli baju, dan juga menabung. Inginnya terus jalan-jalan, tapi di sisi lain, harus menabung untuk simpanan masa depan. So, what should we choose between travelling and saving money? Atau, mana yang harus jadi prioritas?
I have been there, saat memilih lebih memprioritaskan jalan-jalan daripada tabungan! Di Denmark, jatah libur au pair 25-30 hari per tahun. Berbeda halnya dengan Belgia yang hanya dapat 14 hari per tahun. Lalu saya dapat libur full weekend ditambah public holidays yang membuat keinginan untuk keluar Denmark pun lebih sering. Kalau diingat-ingat, saya dulu bisa travelling hampir setiap bulan! Belum lagi padatnya acara hang out di kota membuat saya seringkali harus bertahan dengan sisa uang 10 krona sebelum habis bulan.
Saya tidak pernah menyesal rutin travelling sampai harus mengorbankan uang jajan. Apalagi travelling ke Benua Biru memang mimpi saya sejak di bangku kuliah. Alasan klasik lain saat itu; "Tak apalah, mumpung masih muda. Kapan lagi? Uang bisa dicari, tapi kesempatan jalan-jalan keliling Eropa belum tentu bisa didapat sekembalinya ke Indonesia." Cukup beralasan, karena dulunya saya memang sudah menargetkan Denmark sebagai negara terakhir jadi au pair, sebelum akhirnya settle down di Indonesia.
Tapi, haruskah gaya hidup seperti ini sampai mematikan semangat kita untuk menabung? Bukankah uang saku au pair di beberapa negara termasuk sangat lumayan? Setelah masuk tahun ke-5 jadi au pair di Norwegia, these are what I have learned about doing both; travelling AND saving money!
1. Saving money IS A MUST!
Sure, kita masih muda. Sure, kesempatan tidak akan datang dua kali. Sure, kapan lagi keliling Eropa. Tapi sebagai generasi muda yang mulai memikirkan masa depan; menikah, beli rumah, peduli kesehatan, atau melanjutkan pendidikan, jangan selalu tergoda untuk terus memuaskan gaya hidup. Saya cukup kaget ketika pertama kali au pair di Belgia, uang tabungan saya hanya tinggal 2,5 juta Rupiah saja. Sekembalinya dari Denmark, hanya bersisa 10 juta, itu pun langsung digunakan lagi untuk travelling. I earned money for travelling only? Really?!
Sampai di Norwegia, saya akhirnya mulai mengurangi kegiatan jalan-jalan dan hasrat untuk menabung pun lebih besar. Setelah menerima uang saku, uangnya langsung saya sisihkan untuk tabungan sekitar 20-35 persen. Saya bagi uang tabungan ke rekening Indonesia, rekening Denmark, rekening lokal, lalu untuk ikut arisan emas di Indonesia. Kalau masih ada sisa uang dari pengeluaran setiap bulan, saya tabung lagi sisanya ke rekening lokal.
Mengapa harus menabung ke Indonesia, karena saya tidak tahu nasib saya setelah jadi au pair akan kemana lagi. Kalau pun harus pulang dan menetap di Indonesia, artinya saya punya sedikit tabungan sebelum dapat kerja dan penghasilan tetap. Kalau ending-nya harus tinggal lebih lama di Eropa, artinya saya akan tetap menabung ke Indonesia yang uangnya bisa digunakan untuk dana darurat keluarga atau dana pensiun nanti. Sementara karena rekening di Denmark masih aktif, saya sisihkan saja sedikit uang untuk tabungan darurat lain disana.
Tapi kalau setelah masa au pair kita berencana lanjut kuliah, ikut Working Holiday Visa (WHV) di Australia, atau menyicil rumah di Indonesia, tentu saja dana yang dibutuhkan lebih besar lagi. Harusnya kita bisa menabung 50-60 persen dari uang saku setiap bulannya dan menjadikan tabungan sebagai prioritas utama ketimbang jalan-jalan.
Sejujurnya, saya juga tidak ingin munafik bahwa menabung itu sulitnya bukan main. Sudah susah-susah menyimpan uang dan berusaha konsisten, ada saja pengeluaran darurat. Belum lagi karena ingin hidup hemat, kita harus rela selalu absen acara hang out agar tidak tergoda jajan atau belanja di luar. Kalau sudah begini, cara lainnya adalah menabung di rekening teman atau buka rekening deposito yang uangnya tidak bisa kita tarik semaunya. I knoooow, it's insanely tough! Tapi ingat lagi, tabungan itu sebetulnya uang kita yang manfaatnya akan kembali ke kita juga.
2. Travelling is also A NEED!
Saya mengenal banyak au pair yang tidak terlalu tertarik travelling dan hanging out karena memang prioritas utamanya adalah menabung. Saya salut, but at the same time, kasihan. Salut, karena mereka bisa menabung sampai 70 persen uang sakunya ditambah cari kerja tambahan lagi di luar. Kerja keras yang mereka lakukan akhirnya terbayar karena bisa mengumpulkan banyak uang untuk modal kuliah atau mencicil rumah.
Tapi, saya juga kasihan karena mereka melihat program au pair sebagai ladang uang semata. Jadinya seperti money-oriented karena hanya berusaha earning money sebanyak mungkin, tanpa perlu earning experience yang juga berharga untuk mengenali potensi diri, memperluas networking, dan memperkaya cerita hidup. Padahal tiap orang pasti jenuh dengan rutinitas hariannya dan jalan-jalan ke tempat baru bisa jadi cara menghilangkan penat sekalian bersenang-senang. A full-time job shouldn't stop you from satisfying your wanderlust!
Tidak usah juga harus seperti saya dulu yang gila travelling setiap bulan sampai menguras uang tabungan. Kalau memang harus menghemat, bisa pergi ke negara-negara murah di Eropa Timur atau Eropa Tengah. Sekarang tidak perlu pusing bagaimana caranya bisa travelling on budget, karena informasi sudah bertebaran dimana-mana. Jika harus berhemat, pergilah ke 2-3 negara saja selama 12 bulan kita au pair. Pilihlah negara-negara yang berbeda dari negara yang kita tinggali agar pengalaman travelling-nya tidak hanya sebagai city break dan lebih berkesan.
Kota-kota di Eropa itu sebetulnya hampir mirip sesuai letak geografisnya dan tidak perlu semua negara harus didatangi. Contohnya, kalau kamu merasa Paris terlalu mahal, pergilah ke Praha yang lebih kalem dan murah. Belum mampu ke Portugal, pilihlah Kroasia. Kalau memang Islandia masih kejauhan, datanglah ke Norwegia untuk melihat keindahan alamnya yang luar biasa.
Jangan sampai ingin hidup hemat dan mengumpulkan uang banyak, kita jadi lupa caranya bersenang-senang. Belum mampu terbang jauh, mampirlah ke negara tertangganya saja. Tidak cukup uang untuk liburan panjang seperti teman-teman lainnya, maka cukup liburan saat weekend. Pick your own cities and schedule!
Kesimpulannya, travelling boleh jadi prioritas asal sudah menabung minimal 15-20 persen. Kalau memang punya planning lain selepas au pair yang membutuhkan dana lebih banyak, maka konsistenlah menabung 50-60 persen setiap bulan. Travelling harus tetap direncanakan, tapi cukup ke 2-3 negara favorit saja. Being a tourist in our host country sebetulnya tetap seru dan adventurous, kok!
We are young. We need experience, yet we also need money for the future!
Halo, apakah menurut penulis sendiri, ada batas umur dimana "sayang sekali" untuk melakukan au pair? Karena kan au pair kan bukan bekerja secara profesional ya.. Setahu saya rata2 anak muda yg melakukan ini, disaat mereka mau gap year dr SMA ke kuliah atau kuliah S1 dan ingin Master misalnya. Terimakasih sebelumnya.
BalasHapus