Selain berstatus sebagai au pair di Norwegia, saya baru saja tercatat sebagai mahasiswi S-2 di Universitas Oslo untuk program studi Entrepreneurship. Bagi yang terpikir dengan program studi ini, pasti mengira saya kuliah bisnis, padahal S-1 saya kemarin dari Fisika.
Di Universitas Oslo, Entrepreneurship justru bukan masuk Departemen Ekonomi dan Bisnis, melainkan Departemen Informatika, di bawah naungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Program studi ini unik karena menjembatani ilmu pengetahuan alam dan bisnis yang diharapkan mahasiswanya bisa berinovasi memulai dan mengembangkan startup baru yang berhubungan dengan sains dan teknologi. Makanya tak heran kalau saingan masuk program ini cukup banyak karena pendaftar yang diterima mencakup semua lulusan sains, dari ilmu kedokteran sampai ilmu teknik.
Saya beruntung diterima di program studi ini karena memang sangat tertarik dengan kurikulum kuliahnya. Selain teori, mahasiswa juga diwajibkan untuk lebih banyak kerja kelompok sebagai nilai tambah dan mengikuti program magang di tahun kedua. Bagi saya yang suka kerja di dalam tim, berpikir ide baru, tertarik dengan teknologi, serta bosan dengan kuliah yang hanya bersifat teori, program ini seperti wadah yang memang saya cari. Apalagi sebetulnya saya memang sudah terpikir untuk membuka bisnis di Palembang, lama sebelum saya diterima masuk di kampus ini. Hanya saja, saya sadar bahwa bakat marketing saya sangatlah tidak bagus, mirip seperti ibu saya yang maju mundur kalau berdagang.
Melihat latar belakang keluarga saya, sebetulnya kami bukanlah keluarga pebisnis. Dari semua anggota keluarga, hanya saya yang sampai kuliah masuk ke jurusan IPA. Semua saudara saya mengambil jurusan Hukum dengan niat mengikuti jejak mendiang ayah sebagai praktisi hukum. Hingga akhirnya adik saya mendapatkan beasiswa ke Cina dan pindah ke jurusan Hotel Management.
Darah pedagang sebetulnya datang dari keluarga ibu. Sudah lama nenek dan kakek saya berurbanisasi ke Palembang, membeli tanah, membuka lahan untuk ditanami sayuran, lalu hasil panennya dititipkan ke warung-warung kecil. Karena ketertarikan dengan transaksi jual beli inilah, dari umur 11 tahun saya sudah “punya” warung sendiri yang dimodali orang tua. Barang dagangan pun hingga saat itu berubah-ubah dari jualan makanan, hiasan rambut kupu-kupu, stiker, isi kertas binder, kerajin tangan dari kain flanel yang saya buat sendiri, kosmetik, hingga baju bekas. Sayangnya, tak ada yang bertahan lama karena saya tak bisa promosi dan ogah-ogahan.
Baca juga: 10 Tips Daftar Kuliah S1 dan S2 di Norwegia
Kalau mau jujur, sebetulnya sampai sekarang saya masih bermimpi ingin masuk sekolah desain dan jadi desainer. Bakat seni ini lahirnya dari keluarga ayah saya. Sewaktu tinggal di Denmark, saya seperti menemukan tempat sempurna karena berada di surganya para desainer ternama. Tak banyak yang tahu kan kalau Denmark sangat terkenal dengan desain perabotnya yang berkarakteristik, minimalis, dan elegan serta arsitektur bangunannya yang keren? Coba google daftar karya Bjarke Ingels atau Finn Juhl! Dari sini, saya mulai sering datang ke Meetup para desainer, ikut kelas desain, dan terinspirasi belajar desain UX (User Experience) karena pekerjaan jadi desainer UX lagi hot di era digital ini. Banyak pengalaman dan motivasi yang saya dapatkan sampai terpikir untuk belajar UX secara otodidak. Sayangnya, saya bukan tipikal orang yang bisa belajar sendiri tanpa bantuan mentor dan teman sekelas. I'd lose the conservative atmosphere, makanya sampai sekarang belum berani bayar kursus online.
Pindah ke Norwegia, saya sadar betul bahwa tempat ini bukanlah lapak yang bagus bagi para desainer. Napas industri Norwegia masih dikendalikan secara penuh oleh minyak, gas bumi, dan perikanan. Tapi sejak tahun 2015, Norwegia perlahan ingin menumbuhkan citra baru sebagai negara maju yang melek teknologi dan inovasi dalam bisnis. Tak heran mengapa negara ini sangat optimis untuk menjadi pasar fintech terbesar sedunia beberapa tahun ke depan. Meskipun belum banyak perusahaan startup yang menjamur, tapi para investor semakin loyal mengucurkan dana bagi para perusahaan startup ternama untuk mengembangkan bisnisnya. Menariknya lagi, Norwegia juga terus menumbuhkan awareness terhadap kesehatan bumi untuk selalu berinovasi menelurkan produk yang ramah lingkungan.
Dari situlah makanya saya berpikir untuk mengambil program studi yang berkorelasi dengan perkembangan industri di sini. Dulu saya sempat disarankan oleh seorang cewek Moldova untuk jauh-jauh dari program studi ini karena lulusannya sudah membludak. "Too many people took Entrepeneurship program sampai tidak ada lapak pekerjaannya," katanya. I was just like, "seriously?!" Ngomong-ngomong, cewek Moldova ini juga yang dulunya sedikit skeptis dengan peluang saya diterima di kampus Norwegia.
Padahal untuk diterima kuliah Master di program ini pendaftar harus menyertakan CV dan surat motivasi sebagai syarat tambahan. Saya yang 5 tahun absen dari Indonesia dan hanya "bekerja" sebagai au pair di Eropa, dibuat bingung apa yang harus ditulis. What have I done?! Belum lagi surat motivasi ini harus memaparkan prestasi dan pengalaman saya saat bekerja di dalam tim. Komisi penerimaan mahasiswa baru ingin melihat prestasi kita saat harus bekerja dengan banyak orang yang berbeda sudut pandang karena memang nantinya kita lebih banyak kerja kelompok di luar kelas.
Untungnya waktu kuliah saya aktif terlibat organisasi mahasiswa yang dilimpahkan tugas sebagai kepala divisi dan ketua penyelenggara acara. Selain itu, saya juga menjelaskan bahwa program au pair yang sedang saya jalani ini berguna sekali membuka peluang masuk ke dunia internasional—yang mana sangat dibutuhkan dalam industri bisnis. Karena kesempatan ini juga, saya bisa sekalian ikut kegiatan sukarelawan di beragam festival internasional yang diharuskan bekerja dalam tim untuk menyukseskan acara.
Dari segi akademik dan nilai, saya memang mahasiswi pas-pasan karena dulunya merasa salah jurusan. Tapi karena banyaknya kegiatan non-akademik yang saya ikuti, hal ini bisa jadi poin plus yang berguna untuk mendukung isi CV dan surat motivasi. Untuk kalian yang sekarang masih terpaku jadi mahasiswa atau au pair “biasa”, sebaiknya perbanyak pengalaman dan ilmu di luar rutinitas untuk menambah poin pengembangan diri. Karena buktinya, kampus di Eropa pun menyukai pelajar yang well-rounded tak cukup hanya dari nilai akademik.
Kalau mau jujur, sebetulnya sampai sekarang saya masih bermimpi ingin masuk sekolah desain dan jadi desainer. Bakat seni ini lahirnya dari keluarga ayah saya. Sewaktu tinggal di Denmark, saya seperti menemukan tempat sempurna karena berada di surganya para desainer ternama. Tak banyak yang tahu kan kalau Denmark sangat terkenal dengan desain perabotnya yang berkarakteristik, minimalis, dan elegan serta arsitektur bangunannya yang keren? Coba google daftar karya Bjarke Ingels atau Finn Juhl! Dari sini, saya mulai sering datang ke Meetup para desainer, ikut kelas desain, dan terinspirasi belajar desain UX (User Experience) karena pekerjaan jadi desainer UX lagi hot di era digital ini. Banyak pengalaman dan motivasi yang saya dapatkan sampai terpikir untuk belajar UX secara otodidak. Sayangnya, saya bukan tipikal orang yang bisa belajar sendiri tanpa bantuan mentor dan teman sekelas. I'd lose the conservative atmosphere, makanya sampai sekarang belum berani bayar kursus online.
Pindah ke Norwegia, saya sadar betul bahwa tempat ini bukanlah lapak yang bagus bagi para desainer. Napas industri Norwegia masih dikendalikan secara penuh oleh minyak, gas bumi, dan perikanan. Tapi sejak tahun 2015, Norwegia perlahan ingin menumbuhkan citra baru sebagai negara maju yang melek teknologi dan inovasi dalam bisnis. Tak heran mengapa negara ini sangat optimis untuk menjadi pasar fintech terbesar sedunia beberapa tahun ke depan. Meskipun belum banyak perusahaan startup yang menjamur, tapi para investor semakin loyal mengucurkan dana bagi para perusahaan startup ternama untuk mengembangkan bisnisnya. Menariknya lagi, Norwegia juga terus menumbuhkan awareness terhadap kesehatan bumi untuk selalu berinovasi menelurkan produk yang ramah lingkungan.
Dari situlah makanya saya berpikir untuk mengambil program studi yang berkorelasi dengan perkembangan industri di sini. Dulu saya sempat disarankan oleh seorang cewek Moldova untuk jauh-jauh dari program studi ini karena lulusannya sudah membludak. "Too many people took Entrepeneurship program sampai tidak ada lapak pekerjaannya," katanya. I was just like, "seriously?!" Ngomong-ngomong, cewek Moldova ini juga yang dulunya sedikit skeptis dengan peluang saya diterima di kampus Norwegia.
Padahal untuk diterima kuliah Master di program ini pendaftar harus menyertakan CV dan surat motivasi sebagai syarat tambahan. Saya yang 5 tahun absen dari Indonesia dan hanya "bekerja" sebagai au pair di Eropa, dibuat bingung apa yang harus ditulis. What have I done?! Belum lagi surat motivasi ini harus memaparkan prestasi dan pengalaman saya saat bekerja di dalam tim. Komisi penerimaan mahasiswa baru ingin melihat prestasi kita saat harus bekerja dengan banyak orang yang berbeda sudut pandang karena memang nantinya kita lebih banyak kerja kelompok di luar kelas.
Untungnya waktu kuliah saya aktif terlibat organisasi mahasiswa yang dilimpahkan tugas sebagai kepala divisi dan ketua penyelenggara acara. Selain itu, saya juga menjelaskan bahwa program au pair yang sedang saya jalani ini berguna sekali membuka peluang masuk ke dunia internasional—yang mana sangat dibutuhkan dalam industri bisnis. Karena kesempatan ini juga, saya bisa sekalian ikut kegiatan sukarelawan di beragam festival internasional yang diharuskan bekerja dalam tim untuk menyukseskan acara.
Dari segi akademik dan nilai, saya memang mahasiswi pas-pasan karena dulunya merasa salah jurusan. Tapi karena banyaknya kegiatan non-akademik yang saya ikuti, hal ini bisa jadi poin plus yang berguna untuk mendukung isi CV dan surat motivasi. Untuk kalian yang sekarang masih terpaku jadi mahasiswa atau au pair “biasa”, sebaiknya perbanyak pengalaman dan ilmu di luar rutinitas untuk menambah poin pengembangan diri. Karena buktinya, kampus di Eropa pun menyukai pelajar yang well-rounded tak cukup hanya dari nilai akademik.
Selamat, Nin!!! Selamat jadi mahasiswa lagi, enjoy the whole process!
BalasHapusMakasih banyak, Crys! I will! ;)
Hapus