Langsung ke konten utama

Rasanya Jadi Mahasiswa Lagi

Seorang teman au pair yang saya kenal berpendapat bahwa saya cukup beruntung bisa lanjut kuliah lagi setelah au pair ini. Lebih tepatnya, beruntung urusan saya sekarang tak hanya soal pekerjaan rumah tangga setiap hari. Beruntung juga karena dinilai status saya sudah sama dengan para anak muda Indonesia yang sering datang ke luar negeri untuk sekolah. Tak perlu minder lagi kalau ditanya orang sedang di luar negeri, asumsinya.

Tapi, apakah jadi mahasiswa lagi memang seberuntung itu? Makanya kali ini saya akan cerita pengalaman rasanya bisa kuliah lagi di Norwegia setelah 5 tahun jadi au pair. Perlu dicatat juga bahwa pengalaman ini murni personal dan tidak sama bagi setiap orang. Karena sedang kuliah Master program studi Entrepreneurship di Universitas Oslo (UiO), maka isi konten tidak berlaku bagi semua jurusan dan kampus yang ada di Norwegia.

So, bagaimana rasanya jadi mahasiswa lagi?

1. Trust me, it's hard!


Bayangkan, sehabis lulus kuliah S-1 saya langsung hijrah ke Eropa jadi au pair sampai 5 tahun lamanya. Tak ada pengalaman profesional lainnya, karena kehidupan saya 65% hanya jaga anak dan bersih-bersih rumah, lalu sisanya jalan-jalan, belajar bahasa asing, dan buang-buang uang di kafe. Tak pernah menyangka juga akan selama itu karena tadinya hanya berharap maksimal 2-3 tahun saja jadi au pair di Eropa.

Lalu setelah 5 tahun bosan dengan rutinitas kaku seperti ini, saya akhirnya mencoba mendaftarkan diri ke kampus di Norwegia dengan harapan siapa tahu bisa lanjut kuliah. Now I am living my dream! Diterima di Universitas Oslo, lalu meneruskan hidup di Norwegia selama 2 tahun ke depan menjadi mahasiswa S-2. Bahagia memang, namun faktanya, tantangan baru dimulai di hidup saya. Dari yang tadinya banyak waktu luang dan sering leha-leha di kamar, lalu bertransisi jadi mahasiswa yang datang ke kampus setiap hari itu, ternyata bukan perkara yang mudah.

Apalagi program studi yang saya pilih ini, Entrepreneurship, tidak ada hubungannya sama sekali dengan passion dan pengalaman  kerja atau pendidikan saya dulu. Otak saya seperti diajak berpikir dua kali lebih cepat untuk menyerap informasi dari penjelasan profesor di kelas. Lalu di sinilah saya mengerti mengapa sertifikat bahasa Inggris di level minimal upper-intermediate itu sangat diperlukan jika ingin kuliah di luar negeri. Ada yang namanya scanning teks, listening untuk menyerap dan mengerti pesan yang disampaikan, presentasi dan juga paraphrase kalimat yang sering kali dibutuhkan saat ujian tertulis.

Kalau ingin berkaca dari pengalaman kerja dan kuliah terdahulu, saya selalu merasa bahwa tahun pertama itu akan menjadi tahun terberat. Mulai dari adaptasi yang tak mudah, mengenal sistem kampus yang tak sama dengan kampus di Indonesia, hingga kadang ingin menyerah saja karena mungkin salah tujuan. Saran dari saya, kalau memang kamu sudah ada niat dan proyeksi melanjutkan sekolah di luar negeri setelah selesai au pair, jangan ditunda terlalu lama. Setahun dua tahun selesai, lanjut saja jika memang tak ada masalah lagi dari sisi waktu dan finansial.


2. Lebih produktif


Mungkin lebih tepatnya, less bored. Jadwal kuliah saya semester ini sebetulnya lebih mirip datang ke sekolah bahasa karena durasinya tidak lama, tapi nyaris setiap hari! Mulai dari jam 9.15 pagi sampai 12 siang, kecuali satu mata kuliah tambahan selesai sampai jam 4 sore. Sehabis kuliah di kelas, saya kadang harus stay dulu di kampus sekitar 2-3 jaman untuk mengerjakan tugas kelompok yang setiap minggu selalu menunggu deadline. Pulangnya, harus kembali kerja jadi au pair seperti biasa sampai host kids tertidur. Lalu, tetap harus kembali ke laptop demi menyelesaikan tugas kelompok ataupun belajar bahasa Norwegia otodidak lewat internet.

Untuk program studi saya ini, syarat lulus mata kuliah harus memenuhi absensi 80%. Yang artinya, satu mata kuliah hanya bisa bolos 2-3 kali saja. Kalau memang sakit, harus menyertakan surat pengantar dari dokter untuk dilaporkan ke pihak administrasi. Karena mata kuliahnya juga saling berkaitan, bolos satu mata kuliah bisa berakibat pada komitmen group work. Anggota lainnya harus mengerjakan tugas tambahan yang tak dimengerti satu orang yang absen tersebut. Stressed-detected, karena saya pikir kuliah Master itu banyak longgarnya dan sebebasnya datang-absen ke kelas!

Yang pasti, jadi mahasiswa lagi itu penuh tantangan karena tugas dan kewajibannya lebih banyak! Kuliah S-2 saya ini juga tak terlalu banyak teori karena memang kuliahnya sangat hands-on. Tugas per tugas langsung diarahkan untuk menganalisasi pasar bisnis lokal yang sering dilakukan investor atau para konsultan di dunia nyata. Tapi karena kasus bisnisnya lebih berfokus ke pasar Norwegia, mempunyai kemampuan bahasa Norwegia di level dasar akan menjadi poin plus.


3. Pindah jurusan?


Kelas saya hanya berisi 14 orang yang 70% mahasiswanya berasal dari Asia. Dilihat dari latar belakang mereka, teman-teman sekelas saya ini kebanyakan sudah pernah S-2 sebelumnya di Norwegia, punya pengalaman kerja profesional bertahun-tahun, hingga ada yang sedang menyelesaikan post-doctoral di kampus yang sama. Artinya, mereka adalah orang-orang yang memang highly educated dengan latar belakang ilmu sains.

Belajar dikelilingi oleh orang-orang berpendidikan tinggi dengan setting luar negeri seperti ini, tentu saja menumbuhkan motivasi saya. Apalagi dari mereka juga saya banyak mendapatkan insights bagaimana berkuliah di Norwegia dan memenangkan job market di sini. Tapi lagi-lagi, tahun pertama itu adalah tahun paling berat yang selalu saya alami, baik di pekerjaan atau pendidikan. Saya selalu memikirkan proyeksi karir ke depannya akan seperti apa. Yakinkah akan belajar program studi ini sampai akhir, mengingat di awal-awal semester juga saya banyak lost-nya. Belum lagi job market di Norwegia ini sepertinya lebih terbuka lebar bagi para tech savvy.

Saat tugas kelompok pun, saya lebih tertarik mengerjakan slides untuk presentasi dan membuat prototype Business Model. Mengapa, karena bisa bermain dengan warna, desain, dan bentuk. Teman-teman sekelompok juga mengamini bahwa saya sepertinya salah masuk jurusan, karena lebih punya kemampuan sebagai desainer grafis. Saya memang harusnya lebih banyak belajar soal Finance atau Business Evaluation, tapi karena bidang ini sangat baru, cara saya belajar pun sedikit lambat. Belakangan, sempat juga terpikir untuk mencoba daftar kuliah lagi tahun depan di bidang desain. Tapi entahlah, belajar ilmu baru seperti Entrepreneurship ini juga menarik untuk didalami sebetulnya. Let’s see, because I can’t pressure myself in the future.


4. Hidup penuh diskon


Inilah the real perk of being a student di Eropa; dapat diskon dimana-mana! Apalagi hidup di Norwegia yang mahal ini, punya student card yang sakti bisa mengurangi ongkos di banyak hal. Contoh yang paling utama tentu saja soal diskon tiket transportasi sampai 40% dan harga makanan di kantin yang lebih murah dari harga restoran di luar. Kantin-kantin kampus ini juga memberikan diskon setengah harga saat pembelian 1 jam sebelum closing, serta gratis sepiring makanan di pembelian ke-10.

Namun meskipun menurut saya cukup murah untuk ukuran pelajar, tapi banyak orang tetap menganggap harga makanan di kantin pelajar mahal. Untuk sekilo porsi menu buffet dipatok NOK 149. Saya biasanya tidak makan sampai 1 kilo, seperempat atau setengahnya saja. Cara lainnya kalau tidak ingin keluar uang demi makan siang, bisa bawa bekal sendiri dari rumah. Tapi karena saya cukup sibuk di pagi hari, beli makanan di kantin tetap jadi opsi paling tidak seminggu sekali.

Diskon lainnya tentu saja adalah tiket masuk festival ataupun museum. Saya sebetulnya sangat suka memasukkan jadwal ke museum sebagai salah satu alternatif mengisi akhir pekan. Namun tinggal di Oslo dua tahun ke belakang membuat saya menahan diri masuk museum karena tiket masuknya mahal. Sekarang, karena punya student card, saya tidak perlu membayar harga penuh. Jadi untuk masalah diskon ini, saya menganggap status pelajar memang lebih beruntung ketimbang au pair. Tapi kadang beberapa event atau sistem transportasi masih menambahkan syarat lain, contohnya 'pelajar dengan usia di bawah 30 tahun'.

Selain diskon makan dan transportasi, mahasiswa di Norwegia juga punya akses kuliah bahasa Norwegia intensif gratis yang diselenggarakan dari kampus. Mahasiswa asing yang terdaftar di universitas Norwegia bisa memasukkan Bahasa Norwegia sebagai mata kuliah tambahan setiap semester. Belajarnya memang bisa menguras waktu, tapi karena gratis, kesempatan ini harusnya tak boleh disia-siakan. Di luar, kursus bahasa Norwegia intensif harganya sangat mahal, sekitar NOK 12.000.

Selain itu, tiap kampus juga menyediakan program Microsoft Office gratis yang bisa diunduh lewat akun pelajar kita. Jadi kalau baru beli laptop dan belum punya Office, unduh saja gratis lewat akun kampus ketimbang repot-repot membajak. Karena ada juga iuran fotokopi di awal semester, kita bisa mengkopi dan scanning dokumen dari mesin-mesin di tiap departemen secara gratis. Tapi kalo printing lain lagi, tetap berbayar dengan harga 8 øre per lembar.

Satu lagi yang penting, kita bisa membuka akun bank bebas biaya administrasi tahunan! Hampir semua bank di Norwegia ini punya sistem yang sama; prosesnya lama dan berbiaya tahunan sekitar NOK 270-300. Lumayan juga apalagi bagi yang berpenghasilan tak seberapa seperti para pelajar. Tapi bagi yang sedang menempuh pendidikan di sini, kita bisa membuka akun khusus pelajar yang punya keuntungan bebas biaya administrasi.

Oh ya, kalau ada yang penasaran apakah kuliah Master itu perlu punya buku? Tentu saja, PERLU! Tahu sendiri kan harga buku-buku kuliah itu betapa mahalnya?! Sebagai bocoran, satu buku kuliah Finance saya dipatok dengan harga lebih dari 1,8 juta rupiah! Tak hanya bagi mahasiswa asing, bagi mahasiswa lokal pun harganya terbilang sangat mahal. Di awal semester, toko buku kampus saya penuuuh oleh banyaknya mahasiswa baru yang mengantri membeli buku pelajaran baru. Saya melihat dua orang mahasiswa yang borong buku sampai sekeranjang penuh. Tanyalah harganya, meskipun sudah pakai student discount tetap saja bisa lebih dari belasan juta jika dikonversi.

Tapi untungnya, senior kampus saya berbaik hati memberikan soft copy buku dalam bentuk .pdf file. Cara ini sebetulnya termasuk 'ilegal' karena profesor saya di kampus betul-betul memaksa kami membeli buku fisik. Tapi apalah daya kantong kami tak ada yang mampu membeli semua buku yang direkomendasikan. Kalau memang terpaksa membeli buku fisik, saran lainnya bisa coba cari buku bekas di finn.no ataupun meminjam di perpustakaan yang antrian pinjamannya juga panjang.


5. No (hard) party because we are too old


Saya ingin menepis asumsi yang mengatakan bahwa pelajar di luar negeri doyan party dan hura-hura. Rata-rata yang suka party seperti ini adalah para mahasiswa yang baru memulai S-1 mereka dengan usia belasan atau awal 20-an. Untuk yang lanjut S-2, jangan harap semuanya memiliki gaya hidup yang sama. Karena jangankan party, diajak nongkrong saja banyak yang tak berminat.

Contohnya di kelas saya, semuanya sudah di atas 24 tahun, menikah dan punya anak, serta sangat serius belajar. Ketimbang party ala anak muda di diskotek, kami lebih suka datang ke pesta edukasi yang diselenggarakan oleh perusahaan, atau datang ke seminar yang selaras dengan program studi. Jadi asumsi bahwa semua pelajar luar negeri itu suka party, jelas saja salah!

Selain tak suka party, para mahasiswa S-2 ini juga bisa dibilang tak 'seasik' S-1 dulu. Saya ingat zaman kuliah S-1, saat saya betul-betul merasa menjadi bagian keluarga dengan teman sekelas. Bebas berekspresi dan saling terbuka satu sama lain. Di luar negeri, jangan harap bisa seterbuka itu meskipun dengan teman sekelas. Di kelas saya contohnya, orang-orang terlihat serius dan sangat jarang bercerita tentang masalah pribadi mereka. Bahkan untuk pertanyaan, "are you married or single?" pun dinilai terlalu personal. Makanya obrolan juga terkesan kaku dan hanya berkutat di masalah tugas dan ujian. Belum lagi beberapa kelompok orang merasa paling berkompeten dan menjadikan proses pembelajaran sebagai kompetisi mencapai nilai terbaik, bisa membuat suasana di dalam kelas layaknya olimpiade setiap hari.

Jadi kalau merasa kekurangan networking dan teman jalan, teman sekelas tak akan selalu bisa jadi prioritas di dalam daftar. Tak jarang para mahasiswa internasional lebih sering nongkrong dengan teman satu negara, cari networking lewat acara di MeetUp, ataupun sekedar cari teman kencan lewat online apps.


6. Less travelling


Ada untungnya juga jadi mahasiswa selepas kontrak au pair. Jalan-jalan yang dulunya jadi prioritas, sekarang bisa dikurangi untuk lebih fokus ke sekolah dan pekerjaan. Lima tahunan di Eropa, saya beruntung sudah menapakki lebih dari 20 negara (dengan gaji au pair!). Dulu masih enak karena hari libur bisa bernegosiasi dengan host family dan uang saku pun tiap bulan selalu muncul di rekening.

Sekarang, selain mesti berhemat, jadwal kuliah juga sangat tidak fleksibel. Di Norwegia, mahasiswa hanya mendapatkan jatah libur Natal &Tahun Baru serta Paskah, di luar hari libur publik lainnya. Tanggal-tanggal ini juga termasuk peak season yang harga tiketnya lebih mahal dari hari biasa. Satu-satunya kesempatan untuk libur lebih panjang memang harus menunggu summer lebih dahulu, dari pertengahan Juni sampai pertengahan Agustus. Kadang tak banyak juga mahasiswa yang aktif jalan-jalan karena sibuk cari summer job.

But anyway, menjauh sebentar dari kota tempat kita tinggal juga sangat perlu perlu sekurang-kurangnya setahun sekali. Yang namanya jadi pelajar, pasti ada masa pusingnya karena menumpuknya tugas kuliah dan ujian. Tapi saya selalu ingat kata-kata ibu di rumah, "Nak, sudah cukup ya jalan-jalan. Sekarang waktunya menabung dan fokus belajar, jangan keasikan jalan-jalan terus."

Paham, Mak!

⚘ ⚘ ⚘

Final verdict-nya, jadi mahasiswa lagi itu tidak mudah! Apalagi pengalaman profesional saya tidak banyak karena sudah terlalu lama jadi au pair. Semuanya sangat menantang karena selain program studinya sangat baru, lingkungan kampus dan teman sekelas yang sangat individual jangan sampai jadi keterbatasan dalam bergaul.

Well, that's a wrap and I really hope you enjoy this post!



Komentar

  1. Hi mba lama ikuti blognya baru kali ini comment. Congrats kuliah barunya semoga sukses ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih banyak udah ninggalin jejak ya ;)
      Makasih juga semangatnya.

      Hapus
  2. Hi mba seru dhe baca blog nya, kebetulan saya mau ambil S2 dengan jurusan yang sama ni mba. kalau mau nanya2 bisa contact mba lewat email or wa kah ? thanks. sukses selalu mba

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bule Ketemu Online, Bisakah Serius?

( PERHATIAN!!! SAYA BANYAK SEKALI MENERIMA TESTIMONIALS SOAL COWOK-COWOK DARI INGGRIS YANG MEMINTA ALAMAT SI CEWEK YANG DIKENAL VIA ONLINE. FYI , HAMPIR SEMUA MODUS PENIPUAN SEPERTI INI BERASAL DARI INGGRIS DAN AMERIKA! JANGAN PERNAH TERTIPU KEMASAN KULIT PUTIHNYA, KARENA BISA JADI YANG KALIAN AJAK CHATTING -AN ATAU VIDEO CALL -AN ITU ADALAH PENIPU !! JANGAN PERNAH BERI DATA DIRI SEPERTI NAMA LENGKAP, ALAMAT, SERTA NOMOR IDENTITAS ATAU KARTU KREDIT KE ORANG-ORANG ASING LEWAT DUNIA DIGITAL! BE SMART, BE AWARE, AND PLEASE JANGAN DULU BAPERAN KALO ADA YANG MENGAJAK NIKAH PADAHAL BARU SEMINGGU KENAL!!!) Selain berniat jadi au pair, ternyata blog saya banyak dikunjungi oleh cewek-cewek Indonesia yang ingin pacaran atau sedang dekat dengan bule. Gara-gara tulisan tentang cowok Eropa dan cowok Skandinavia , banyak pembaca blog yang mengirim surel ke saya dan curhat masalah cintanya dengan si bule. Aduh, padahal saya jauh dari kata "ahli" masalah cinta-cintaan. Saya sebetu...

Mempelajari Karakter Para Cowok di Tiap Bagian Eropa

*I talk a lot about European boys in this blog, but seriously, this is always the hottest topic for girls! ;) Oke, salahkan pengalaman saya yang jadi serial dater  selama tinggal di Eropa. Tapi gara-gara pengalaman ini, saya juga bisa bertemu banyak orang baru sekalian mempelajari karakter mereka. Cowok-cowok yang saya temui ini juga tidak semuanya saya kencani. Beberapa dari mereka saya kenal saat workshop, festival, ataupun dari teman. Beruntung sekali, banyak juga teman-teman cewek yang mau menceritakan pengalamannya saat berkencan dari cowok ini, cowok itu, and all of them have wrapped up neatly in my head! Secara umum, tulisan yang saya ceritakan disini murni hasil pengalaman pribadi, pengalaman teman, ataupun si cowok yang menilai bangsanya secara langsung. Letak geografis Eropanya mungkin sedikit rancu, tapi saya mengelompokkan mereka berdasarkan jarak negara dan karakter yang saling berdekatan. Kita semua benci stereotipe, tapi walau bagaimana pun kita teta...

7 Kebiasaan Makan Keluarga Eropa

Tiga tahun tinggal di Eropa dengan keluarga angkat, saya jadi paham bagaimana elegan dan intimnya cara makan mereka. Bagi para keluarga ini, meja makan tidak hanya tempat untuk menyantap makanan, tapi juga ajang bertukar informasi para anggota keluarga dan pembelajaran bagi anak-anak mereka. Selain table manner , orang Eropa juga sangat perhatian terhadap nilai gizi yang terkandung di suatu makanan hingga hanya makan makanan berkualitas tinggi. Berbeda dengan orang Indonesia yang menjadikan meja makan hanya sebagai tempat menaruh makanan, membuka tudung saji saat akan disantap, lalu pergi ke ruang nonton sambil makan. Selama tinggal dengan banyak macam keluarga angkat, tidak hanya nilai gizi yang saya pelajari dari mereka, tapi juga kebiasaan makan orang Eropa yang sebenarnya sangat sederhana dan tidak berlebihan. Dari kebiasaan makan mereka ini juga, saya bisa menyimpulkan mengapa orang-orang di benua ini awet tua alias tetap sehat menginjak usia di atas 70-an. Kuncinya, pola ...

First Time Au Pair, Ke Negara Mana?

Saya ingat betul ketika pertama kali membuat profil di Aupair World, saya begitu excited memilih banyak negara yang dituju tanpa pikir panjang. Tujuan utama saya saat itu adalah Selandia Baru, salah satu negara impian untuk bisa tinggal. Beberapa pesan pun saya kirimkan ke host family di Selandia Baru karena siapa tahu mimpi saya untuk bisa tinggal disana sebentar lagi terwujud. Sangat sedikit  host family dari sana saat itu, jadi saya kirimkan saja aplikasi ke semua profil keluarga yang ada. Sayangnya, semua menolak tanpa alasan. Hingga suatu hari, saya menerima penolakan dari salah satu keluarga yang mengatakan kalau orang Indonesia tidak bisa jadi au pair ke Selandia Baru. Duhh! Dari sana akhirnya saya lebih teliti lagi membaca satu per satu regulasi negara yang memungkinkan bagi pemegang paspor Indonesia. Sebelum memutuskan memilih negara tujuan, berikut adalah daftar negara yang menerima au pair dari Indonesia; Australia (lewat Working Holiday Visa ) Austria Ame...

Berniat Pacaran dengan Cowok Skandinavia? Baca Ini Dulu!

"Semua cowok itu sama!" No! Tunggu sampai kalian kenalan dan bertemu dengan cowok-cowok tampan namun dingin di Eropa Utara. Tanpa bermaksud menggeneralisasi para cowok ini, ataupun mengatakan saya paling ekspert, tapi cowok Skandinavia memang berbeda dari kebanyakan cowok lain di Eropa. Meskipun negara Skandinavia hanya Norwegia, Denmark, dan Swedia, namun Finlandia dan Islandia adalah bagian negara Nordik, yang memiliki karakter yang sama dengan ketiga negara lainnya. Tinggal di bagian utara Eropa dengan suhu yang bisa mencapai -30 derajat saat musim dingin, memang mempengaruhi karakter dan tingkah laku masyarakatnya. Orang-orang Eropa Utara cenderung lebih dingin terhadap orang asing, ketimbang orang-orang yang tinggal di kawasan yang hangat seperti Italia atau Portugal. Karena hanya mendapatkan hangatnya matahari tak lebih dari 3-5 minggu pertahun, masyarakat Eropa Utara lebih banyak menutup diri, diam, dan sedikit acuh. Tapi jangan salah, walaupun dingin dan hampa...