Di postingan sebelumnya, saya cerita bagaimana rasanya jadi mahasiswa lagi dan kuliah S2 di kampus negeri di Norwegia. Faktanya, kuliah Master itu tidaklah sesantai yang para senior katakan! Kali ini, saya ingin menyambung cerita, bagaimana rasanya jadi au pair plus lanjut kuliah pula.
Dari banyaknya au pair yang saya kenal, saya belum pernah mendengar cerita au pair Indonesia di Eropa yang sekalian lanjut kuliah S2. Yang lanjut kuliah setelah masa au pairnya selesai memang banyak. Bahkan karena sudah nyaman dengan keluarga tersebut, tak jarang mantan au pair ini masih tinggal dan bekerja di rumah host family. Jadi prioritasnya adalah kuliah, sekalian cari uang tambahan dari student job yang maksimalnya 15-20 jam per minggu.
Bedanya, status saya sekarang adalah au pair yang masih terikat kontrak penuh, tapi di sisa akhir kontrak memutuskan untuk lanjut kuliah di Norwegia. Prioritas saya disini tentu saja tidak hanya sekolah, tapi juga bekerja. Karena tidak ada kenalan au pair yang sekalian kuliah ini, saya tidak punya referensi soal pengalaman au pair plus kuliah full time di Eropa.
The worst part
Kalau ada yang tanya, susahkah membagi waktu antara au pair dan kuliah, sebetulnya kembali lagi ke host family masing-masing. Untuk kasus saya yang sudah 3 bulanan kuliah ini, ternyata menjalani keduanya sangat berat! Mengapa, karena ekspektasi host family saya yang masih menginginkan saya bekerja full time selama 30 jam per minggu - meskipun student job di Norwegia hanya diperbolehkan bekerja maksimal 20 jam per minggu.
Saya dan keluarga Norwegia ini tentu saja sudah duduk satu meja dan membahas masalah ini jauh sebelum saya diterima kuliah. Intinya saat itu, host family akan berusaha fleksibel dengan jadwal kuliah saya, tapi di sisi lain, saya juga tetap harus bisa sefleksibel dulu - saat belum kuliah. You have to know what is 'flexible' means in au pair term! Kata lainnya, harus siap bekerja 24/7 meskipun di suasana darurat. Poin minusnya lagi, sejak Oktober lalu, host dad saya sudah pindah duluan ke Swiss untuk merenovasi rumah baru. Working with a single mother has a big plus and minus, for sure!
Again, saya masih terikat kontrak penuh, makanya sepintar mungkin mesti mampu mengatur waktu agar semuanya bisa berjalan tanpa mengorbankan salah satunya. Pagi harus bangun dan menyiapkan sarapan sekeluarga, lalu siap-siap berangkat kuliah. Siangnya tanpa bisa nongkrong lebih lama di kampus, saya harus segera pulang dan menyelesaikan sisa tugas au pair. Imbasnya, saya sering kali kehilangan waktu bersosial dan selalu absen datang ke event seru karena waktunya overlapping dengan jadwal kerja.
Di sisi lain, saya juga harus siap-siap absen kuliah kalau ternyata salah satu anak tiba-tiba sakit atau host mom harus meeting dari pagi sampai sore. Host family saya juga sudah mewanti-wanti dari awal agar saya ikhlas absen kuliah karena saat ini memang tidak ada keluarga satu pun dari pihak ayah atau ibu yang bisa diminta tolong untuk menjaga anak di rumah.
Meskipun sadar di kontrak kerja sudah sepakat tugas saya setiap hari itu apa, tapi tetap saja ada momen yang membuat saya kesal dan lelah. Pagi-pagi, tanpa bisa leha-leha dulu di kasur dan sarapan dengan santai, saya mesti menyiapkan sarapan dan beres-beres rumah orang terlebih dahulu. Kadang kalau orang tuanya tak di rumah dan saya ditinggal sendiri dengan dua bocah, saya juga mesti bertugas layaknya orang tua mereka. Pagi-pagi selain menyiapkan sarapan, saya juga harus mengganti baju, dan mengantar mereka ke sekolah.
Dari banyaknya au pair yang saya kenal, saya belum pernah mendengar cerita au pair Indonesia di Eropa yang sekalian lanjut kuliah S2. Yang lanjut kuliah setelah masa au pairnya selesai memang banyak. Bahkan karena sudah nyaman dengan keluarga tersebut, tak jarang mantan au pair ini masih tinggal dan bekerja di rumah host family. Jadi prioritasnya adalah kuliah, sekalian cari uang tambahan dari student job yang maksimalnya 15-20 jam per minggu.
Bedanya, status saya sekarang adalah au pair yang masih terikat kontrak penuh, tapi di sisa akhir kontrak memutuskan untuk lanjut kuliah di Norwegia. Prioritas saya disini tentu saja tidak hanya sekolah, tapi juga bekerja. Karena tidak ada kenalan au pair yang sekalian kuliah ini, saya tidak punya referensi soal pengalaman au pair plus kuliah full time di Eropa.
The worst part
Kalau ada yang tanya, susahkah membagi waktu antara au pair dan kuliah, sebetulnya kembali lagi ke host family masing-masing. Untuk kasus saya yang sudah 3 bulanan kuliah ini, ternyata menjalani keduanya sangat berat! Mengapa, karena ekspektasi host family saya yang masih menginginkan saya bekerja full time selama 30 jam per minggu - meskipun student job di Norwegia hanya diperbolehkan bekerja maksimal 20 jam per minggu.
Saya dan keluarga Norwegia ini tentu saja sudah duduk satu meja dan membahas masalah ini jauh sebelum saya diterima kuliah. Intinya saat itu, host family akan berusaha fleksibel dengan jadwal kuliah saya, tapi di sisi lain, saya juga tetap harus bisa sefleksibel dulu - saat belum kuliah. You have to know what is 'flexible' means in au pair term! Kata lainnya, harus siap bekerja 24/7 meskipun di suasana darurat. Poin minusnya lagi, sejak Oktober lalu, host dad saya sudah pindah duluan ke Swiss untuk merenovasi rumah baru. Working with a single mother has a big plus and minus, for sure!
Again, saya masih terikat kontrak penuh, makanya sepintar mungkin mesti mampu mengatur waktu agar semuanya bisa berjalan tanpa mengorbankan salah satunya. Pagi harus bangun dan menyiapkan sarapan sekeluarga, lalu siap-siap berangkat kuliah. Siangnya tanpa bisa nongkrong lebih lama di kampus, saya harus segera pulang dan menyelesaikan sisa tugas au pair. Imbasnya, saya sering kali kehilangan waktu bersosial dan selalu absen datang ke event seru karena waktunya overlapping dengan jadwal kerja.
Di sisi lain, saya juga harus siap-siap absen kuliah kalau ternyata salah satu anak tiba-tiba sakit atau host mom harus meeting dari pagi sampai sore. Host family saya juga sudah mewanti-wanti dari awal agar saya ikhlas absen kuliah karena saat ini memang tidak ada keluarga satu pun dari pihak ayah atau ibu yang bisa diminta tolong untuk menjaga anak di rumah.
Meskipun sadar di kontrak kerja sudah sepakat tugas saya setiap hari itu apa, tapi tetap saja ada momen yang membuat saya kesal dan lelah. Pagi-pagi, tanpa bisa leha-leha dulu di kasur dan sarapan dengan santai, saya mesti menyiapkan sarapan dan beres-beres rumah orang terlebih dahulu. Kadang kalau orang tuanya tak di rumah dan saya ditinggal sendiri dengan dua bocah, saya juga mesti bertugas layaknya orang tua mereka. Pagi-pagi selain menyiapkan sarapan, saya juga harus mengganti baju, dan mengantar mereka ke sekolah.
Baca juga: Kerja Paruh Waktu Untuk Mahasiswa Asing di Norwegia
Bekerja dengan anak-anak tentu saja tidak mudah! Emosi dan energi saya terkuras luar biasanya, apalagi kalau anak-anak ini sulit sekali diajak kerja sama di pagi hari. Pernah suatu kali si adik popoknya mesti diganti karena poop, lalu gantian kakaknya yang ingin ditemani ke toilet untuk poop. Baru saja siap dan ingin keluar rumah, si adik poop lagi dan saya mau tidak mau harus kembali ke atas mengganti popoknya. Saat mengantar mereka ke TK, saya mengantur napas perlahan untuk menghilangkan rasa stres dan beban negatif ini. Rasanya ingin quit saat itu juga dan ganti pekerjaan lain yang tak harus dilakukan di pagi hari sebelum jadwal kuliah.
Oh well, saya juga tahu ada banyak pelajar asing yang rela bangun jam 3 fajar hanya untuk mengantarkan koran keliling rumah dengan kereta dorong. Tapi bekerja dengan benda mati tentu saja berbeda dengan bekerja dengan manusia. Working with kids has no negotiations! Mereka sakit, you have to leave an absence. They are slow, then you need to force them to move faster - yang mana buang-buang energi lebih banyak. God, I just want it to be over soon!
The best part
Meskipun dirasa sangat sulit jadi au pair plus kuliah full time, tapi saya juga bersyukur sudah sampai di titik ini. Mengapa, karena jadi au pair duluan sebelum mulai kuliah di negara yang sama itu banyak juga hal positifnya.
Yang pertama, tentu saja karena kita sudah familiar dengan sistem. Lini masa Facebook saya di salah satu grup mahasiswa internasional selalu memuat status soal kebingungan mahasiswa asing yang baru saja tiba di Norwegia. Bingung soal mengurus residence permit, bingung bagaimana cara buka akun bank, bingung caranya beli tiket transportasi umum, bingung juga mengurus pajak, bahkan ada yang masih bingung menyalakan penghangat ruangan atau kompor listrik!
Sementara kita yang sudah duluan sampai ini, semua kebingungan tersebut sudah teratasi sejak awal. Ingin belanja, tinggal tap karena sudah punya kartu ATM. Ingin naik bus, tinggal pesan lewat aplikasi ponsel. Soal kompor listrik, I think all au pairs know it.
Yang kedua, tentu saja saya sudah familiar dengan kultur masyarakat setempat. Tak perlu lagi menyesuaikan diri dengan dinginnya musim dingin di Eropa Utara ataupun kaget dengan alam Norwegia yang tak ada jelek-jeleknya. Being an au pair lets us to be in the ecosystem immediately. Adaptasi jadi lebih mudah karena yang perlu saya pikirkan bukan lagi winter boots atau tempat beli sayuran murah, tapi jadwal kumpul tugas kuliah.
Yang ketiga, tentu saja soal bahasa. Bagi kalian au pair yang punya rencana lanjut kuliah di negara yang sama, saya sarankan belajar bahasa lokal semaksimal mungkin dari hari pertama kalian tiba di negara tersebut. Pick up some words and keep practicing! Hal ini tentu saja jadi nilai tambah di kehidupan sosial dan membuka lebih banyak kesempatan mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah. Karena menurut saya, belajar bahasa ini bisa jadi competitive advantage kita ketimbang pelajar asing lain yang baru tiba di Norwegia hanya untuk lanjut kuliah. Sebagai au pair yang diberikan kesempatan kursus bahasa - bahkan banyak yang dibayari host family, jangan sampai malas-malasan hanya karena excuse 'bahasa Inggris saja sudah cukup'.
In the end, saya sebetulnya tetap merasa bersyukur karena au pair ini bisa jadi penopang hidup saya di masa awal-awal kuliah. Saya tidak perlu lagi repot ingin tinggal dimana atau makan apa, karena sudah disediakan kamar dan makanan gratis di rumah host family. Selain itu, dari kerja jaga anak dan ini, saya juga mendapat uang saku sekitar NOK 6000 per bulan untuk membayar uang semester dan membeli tiket transportasi bulanan. Perjuangannya begitu terasa karena harus kerja demi mencukupi kehidupan hidup saat kuliah di negara orang!
Tapi sebetulnya, jadi au pair sekalian kuliah itu menyenangkan dan bisa membunuh waktu juga. Waktu saya terasa lebih cepat berlalu karena setiap hari tidak hanya memikirkan pekerjaan, tapi juga tugas kuliah yang tak ada habisnya. Waktu terasa semakin cepat berlalu, apalagi kalau sudah masuk hari Rabu. It's weekend soon, meskipun buntutnya masih ada tugas yang mesti dikumpul Seninnya.
Sekali lagi, cerita saya mungkin tak sama untuk setiap orang. Host family serta jam kerja saya juga pastinya tak berlaku bagi au pair yang lain. Yang pasti, jadi au pair plus lanjut kuliah di sisa akhir kontrak sangat doable, hanya saja mungkin lebih berat kalau kebetulan dapat host family yang tak mau rugi! Kuncinya adalah selalu komunikasi dengan host family tentang jadwal kuliah serta pandai mengatur waktu agar sebisa mungkin imbang keduanya.
Bekerja dengan anak-anak tentu saja tidak mudah! Emosi dan energi saya terkuras luar biasanya, apalagi kalau anak-anak ini sulit sekali diajak kerja sama di pagi hari. Pernah suatu kali si adik popoknya mesti diganti karena poop, lalu gantian kakaknya yang ingin ditemani ke toilet untuk poop. Baru saja siap dan ingin keluar rumah, si adik poop lagi dan saya mau tidak mau harus kembali ke atas mengganti popoknya. Saat mengantar mereka ke TK, saya mengantur napas perlahan untuk menghilangkan rasa stres dan beban negatif ini. Rasanya ingin quit saat itu juga dan ganti pekerjaan lain yang tak harus dilakukan di pagi hari sebelum jadwal kuliah.
Oh well, saya juga tahu ada banyak pelajar asing yang rela bangun jam 3 fajar hanya untuk mengantarkan koran keliling rumah dengan kereta dorong. Tapi bekerja dengan benda mati tentu saja berbeda dengan bekerja dengan manusia. Working with kids has no negotiations! Mereka sakit, you have to leave an absence. They are slow, then you need to force them to move faster - yang mana buang-buang energi lebih banyak. God, I just want it to be over soon!
The best part
Meskipun dirasa sangat sulit jadi au pair plus kuliah full time, tapi saya juga bersyukur sudah sampai di titik ini. Mengapa, karena jadi au pair duluan sebelum mulai kuliah di negara yang sama itu banyak juga hal positifnya.
Yang pertama, tentu saja karena kita sudah familiar dengan sistem. Lini masa Facebook saya di salah satu grup mahasiswa internasional selalu memuat status soal kebingungan mahasiswa asing yang baru saja tiba di Norwegia. Bingung soal mengurus residence permit, bingung bagaimana cara buka akun bank, bingung caranya beli tiket transportasi umum, bingung juga mengurus pajak, bahkan ada yang masih bingung menyalakan penghangat ruangan atau kompor listrik!
Sementara kita yang sudah duluan sampai ini, semua kebingungan tersebut sudah teratasi sejak awal. Ingin belanja, tinggal tap karena sudah punya kartu ATM. Ingin naik bus, tinggal pesan lewat aplikasi ponsel. Soal kompor listrik, I think all au pairs know it.
Yang kedua, tentu saja saya sudah familiar dengan kultur masyarakat setempat. Tak perlu lagi menyesuaikan diri dengan dinginnya musim dingin di Eropa Utara ataupun kaget dengan alam Norwegia yang tak ada jelek-jeleknya. Being an au pair lets us to be in the ecosystem immediately. Adaptasi jadi lebih mudah karena yang perlu saya pikirkan bukan lagi winter boots atau tempat beli sayuran murah, tapi jadwal kumpul tugas kuliah.
Yang ketiga, tentu saja soal bahasa. Bagi kalian au pair yang punya rencana lanjut kuliah di negara yang sama, saya sarankan belajar bahasa lokal semaksimal mungkin dari hari pertama kalian tiba di negara tersebut. Pick up some words and keep practicing! Hal ini tentu saja jadi nilai tambah di kehidupan sosial dan membuka lebih banyak kesempatan mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah. Karena menurut saya, belajar bahasa ini bisa jadi competitive advantage kita ketimbang pelajar asing lain yang baru tiba di Norwegia hanya untuk lanjut kuliah. Sebagai au pair yang diberikan kesempatan kursus bahasa - bahkan banyak yang dibayari host family, jangan sampai malas-malasan hanya karena excuse 'bahasa Inggris saja sudah cukup'.
In the end, saya sebetulnya tetap merasa bersyukur karena au pair ini bisa jadi penopang hidup saya di masa awal-awal kuliah. Saya tidak perlu lagi repot ingin tinggal dimana atau makan apa, karena sudah disediakan kamar dan makanan gratis di rumah host family. Selain itu, dari kerja jaga anak dan ini, saya juga mendapat uang saku sekitar NOK 6000 per bulan untuk membayar uang semester dan membeli tiket transportasi bulanan. Perjuangannya begitu terasa karena harus kerja demi mencukupi kehidupan hidup saat kuliah di negara orang!
Tapi sebetulnya, jadi au pair sekalian kuliah itu menyenangkan dan bisa membunuh waktu juga. Waktu saya terasa lebih cepat berlalu karena setiap hari tidak hanya memikirkan pekerjaan, tapi juga tugas kuliah yang tak ada habisnya. Waktu terasa semakin cepat berlalu, apalagi kalau sudah masuk hari Rabu. It's weekend soon, meskipun buntutnya masih ada tugas yang mesti dikumpul Seninnya.
Sekali lagi, cerita saya mungkin tak sama untuk setiap orang. Host family serta jam kerja saya juga pastinya tak berlaku bagi au pair yang lain. Yang pasti, jadi au pair plus lanjut kuliah di sisa akhir kontrak sangat doable, hanya saja mungkin lebih berat kalau kebetulan dapat host family yang tak mau rugi! Kuncinya adalah selalu komunikasi dengan host family tentang jadwal kuliah serta pandai mengatur waktu agar sebisa mungkin imbang keduanya.
Komentar
Posting Komentar