Bulan lalu Twitter Indonesia dihebohkan dengan isu seorang cewek belia yang mengaku kuliah di Jerman, tapi sebetulnya au pair. Dari kebohongan ini, si cewek banyak dihujat oleh netizen sampai dilontari kalimat, "halah, jadi pembantu aja sok-sokan ngaku kuliah di Jerman!". Meskipun katanya sudah banyak bukti-bukti menunjukkan bahwa si cewek ini memang au pair, namun dari pihak si ceweknya sendiri tetap kukuh kalau status dia di Jerman sekarang adalah pelajar.
Saya sebetulnya tidak akan membahas terlalu jauh isu yang mulai dilupakan tersebut. Saya juga tidak tahu apakah isu tersebut fakta atau hanyalah gosip belaka. Namun kalau memang fakta, saya hanya perlu menggarisbawahi bahwa si cewek ini bukanlah satu-satunya au pair yang mengaburkan statusnya di Eropa! Au pair yang mengaku ke orang lain kalau dirinya sedang bersekolah di Eropa itu sesungguhnya...BANYAK!
No judge! Saya paham mengapa banyak au pair yang tidak ingin jujur soal apa yang mereka lakukan di sini. Kalau mereka jujur ke semua orang, apakah orang-orang ini akan mengerti dan berpikiran terbuka? Kalau semua orang tahu, yakin si au pair ini tidak akan dihujat dan disamakan dengan TKW yang keluar negeri jadi pembantu? Lalu kalau si au pair betul-betul ingin jujur ke keluarga, yakin akan langsung diberi restu saat itu juga untuk menapakki Eropa? Nope!
I have been there! Dari awal ingin jadi au pair, saya tahu minta izin ke orang tua dan menjelaskan ke orang-orang terdekat adalah tantangan paling berat. Tapi daripada bohong, saya tetap utarakan niat dengan jujur. Dari sana, saya upayakan untuk menjelaskan ke mereka dengan cara lain; saya cari semua makna positif au pair di internet, dicetak beberapa rangkap, lalu saya sebarkan ke keluarga dan beberapa teman terdekat agar mereka paham au pair itu apa. Lalu, apakah saat itu juga mereka paham dan mengizinkan saya ke luar negeri? Tentu saja, TIDAK!
Status saya masih saja disamakan dengan pembantu, TKW, babysitter, atau entah segala macamnya yang dinilai sama sekali tidak worth-it dan membanggakan. Satu hal, orang Indonesia masih melihat bahwa anak-anak muda yang tinggal di Eropa itu hampir semua tujuannya adalah belajar. Pulang-pulang setidaknya membanggakan karena bawa gelar internasional yang bisa meningkatkan kualitas dan rasa kepercayaan diri di lingkungan sosial.
Tapi mengapa saya tetap jujur meskipun tahu akan mendapatkan respon negatif? Karena saya ingin langkah ke Eropa tetap direstui meskipun berat. Saya juga ingin membuktikan bahwa saya bisa bertanggungjawab terhadap diri sendiri tanpa harus minta uang jajan lagi! Hanya saja, kejujuran ini hanya saya utarakan ke keluarga dan satu dua teman yang betul-betul mendukung 100 persen. Sisanya, daripada capek-capek menjelaskan lagi tapi mereka sama sekali tak mengerti, saya katakan saja bahwa saya sedang mengikuti program pertukaran budaya dan bahasa. Sampai sini, aman!
Di Belgia, karena lingkup sosial saya au pair dan teman sekolah bahasa saja, maka tak ada alasan untuk mengaku-ngaku sebagai mahasiswa. Cowok-cowok Belgia yang saya kencani pun tak banyak komentar, karena kebanyakan dari mereka juga masih awam tentang au pair. Lagipula menurut pendapat saya, orang Belgia cenderung santai dan sangat terbuka. Jadi mengaku sebagai cleaning lady pun, mereka tak akan menganggap kita buruk.
Namun, my life turned to be a lie sejak tinggal di Denmark! Kalian harus tahu bahwa imej au pair di Denmark itu sangatlah buruk. I mean, really really bad! Menurut cerita yang berkembang, imej buruk ini terbentuk lantaran banyaknya au pair Asia (terutama Filipina) yang mengingkari kontrak au pair sebelum selesai. Berkencan dengan cowok lokal, lalu tiba-tiba hamil. Selesai au pair, tak mau ingin pulang ke negara asal, bisa saja menikah sembarangan dengan lelaki tua sekali pun. Belum lagi banyaknya kasus au pair yang di-abuse host family sampai kabur dan hanya meninggalkan surat di kotak pos keesokkan harinya. Denmark is totally the worst country to be an au pair! Dari host family-nya yang kebanyakan tak mau rugi, sampai perspektif orang lokalnya yang menilai au pair itu pekerjaan rendahan.
I am not lying! Beberapa cowok Tinder yang saya kenal bisa tiba-tiba langsung mengakhiri chat kami kalau saya mengaku au pair di depan. Kalaupun harus ketemu dan berkencan dengan mereka sekali dua kali, saya katakan saja sedang menempuh studi di Denmark. Tak hanya sampai di situ. Suatu kali saya dan beberapa orang teman baru ketemu untuk nongkrong di kota. Baru terlibat beberapa menit diskusi, saya merasa mereka semua out of my league karena yang dibahas adalah soal kuliah dan isu-isu yang tak saya mengerti. Mengajak saya mengobrol? Mungkin hanya 5 persennya saja! Yang ditanyakan ke saya juga soal asumsi murahannya yang cuma mendengar Indonesia dari berita sampah, "I heard women in Indonesia are seen like meat. Jadi kalau si laki-laki ini melihat cewek, seperti mangsa begitu." Maksud ente??!!!
Denmark, what's wrong with people in your country?!
Oh wait, cerita buruk saya sebetulnya masih banyak. Tapi sesungguhnya cerita buruk ini tak hanya saya yang mengalami. Teman saya pun sering cerita kalau banyak orang di Denmark yang tanpa bertanya lagi, bisa saja menebak bahwa si teman ini asalnya dari Filipina dan bekerja sebagai au pair. Satu hal yang membuat teman saya ini cukup kecewa, seorang cowok yang dia kenal di Tinder pun seringkali menanyakan keseriusan teman saya ini ke depannya, "are you sure you date me because you really like me? Bukan karena kamu hanya ingin punya visa lanjutan sampai hamil kan? Yang aku temui faktanya begitu dari para au pair Filipina."
Jangan pernah salahkan saya punya pandangan negatif dengan para au pair Filipina yang tinggal di Eropa! Tidak semua dari mereka punya niat aneh-aneh memang, namun hanya segelintir oknum. Masih terikat kontrak kerja, tapi tiba-tiba hamil dan tak diakui oleh si pacar bulenya. Atau juga yang terlalu naif dan penurut, sampai tak sadar sedang diperbudak oleh si host family.
Karena tak ingin disamakan dengan para au pair Filipina, akhirnya saya niatkan saja dari awal sampai akhir untuk tak pernah mengaku sebagai au pair. Orang-orang Indonesia yang tak saya kenal dan ditemui sekali dua kali, malah lebih banyak menebak saya sedang berkuliah di Denmark. Saya iyakan saja dan diamini dalam hati. Saat ditanya kuliah dimana, saya jawab di KADK atau sekolah desain dan arsitekturnya Denmark. Jurusan apa, saya jawab Spatial Design. Aman!
Dari dulu saya memang sudah sangat tertarik masuk kuliah desain, makanya sudah lama mengintip kurikulum kuliah desain di KADK (The Royal Danish Academy of Fine Arts, School of Architecture, Design and Conservation). Makanya saat ditanya lebih detail tentang program studinya pun, saya bisa dengan lancar menjawab layaknya memang sedang kuliah di sana.
Don't blame me! Saya malas menghadapi pertanyaan dan juga ekspresi orang-orang kolot yang masih merasa au pair itu pekerjaan rendahan, sampai menganggap kami ini babu atau lebih buruknya, bule hunter yang hanya ingin green card saja!
Pindah ke Norwegia, saya lepaskan semua atribut palsu itu. Capek rasanya berbohong sebagai mahasiswa demi meningkatkan kepercayaan diri agar tak merasa malu. Populasi au pair Filipina di Norwegia juga sebetulnya sebanyak di Denmark dan kebanyakan orang-orang lokal juga tahu au pair itu apa. Tapi ternyata, imej pendatang dari Eropa Timur lebih jelek dari au pair Asia! Au pair di Norwegia dianggap bersifat politik yang masih ada hubungannya dengan kepentingan orang banyak; alias membantu keluarga kaya raya yang butuh pengasuh anak di rumah. Sementara para pendatang Eropa Timur, seringkali maling, kerja ilegal, datang ke Norwegia hanya cari uang, lalu tak pernah serius belajar bahasa lokal.
Jadi, bagi kalian para au pair yang masih mengaku sebagai pelajar di Eropa, I won't judge. Semoga saja status pelajar tersebut memang betul-betul akan diraih selepas au pair ini! Yang dari awal jujur ke keluarga dan kerabat kalau akan jadi au pair di Eropa, saya salut! Saya tahu perjuangan untuk menjelaskan ke orang Indonesia itu begitu sulit. Apalagi dalam bahasa Inggris, au pair langsung diterjemahkan dengan mentah sebagai 'pembantu'.
Lalu bagi kalian, para orang Indonesia yang mungkin bertanya, "kenapa sih jadi au pair saja malu? Kenapa tidak jujur saja?". Kalian harus tahu bagaimana rasanya terhalang restu orang tua hanya karena dianggap sebagai TKW di Eropa. Kalian juga harus mengerti susahnya menjelaskan program au pair ini ke banyak orang Indonesia tanpa dihujat. Yang terakhir, kalian juga harus tahu bagaimana kami para au pair ini seringkali dibandingkan dengan para mahasiswa Indonesia yang betul-betul belajar dengan gelar di Eropa. Mereka, muda dan berprestasi. Kami, muda dan nekad!
But, anyway... I am (seriously) proud to be an au pair. Meskipun hidup pindah-pindah negara dengan status au pair dulu selama 5 tahun ke belakang ini, finally I made my dream came true; lanjut kuliah di Eropa! Meski tak sekolah desain, tapi setidaknya diterima di salah satu kampus terbaik di Norwegia. See, saya buktikan kan kebohongan tersebut menjadi kenyataan?! ;)
Saya sebetulnya tidak akan membahas terlalu jauh isu yang mulai dilupakan tersebut. Saya juga tidak tahu apakah isu tersebut fakta atau hanyalah gosip belaka. Namun kalau memang fakta, saya hanya perlu menggarisbawahi bahwa si cewek ini bukanlah satu-satunya au pair yang mengaburkan statusnya di Eropa! Au pair yang mengaku ke orang lain kalau dirinya sedang bersekolah di Eropa itu sesungguhnya...BANYAK!
No judge! Saya paham mengapa banyak au pair yang tidak ingin jujur soal apa yang mereka lakukan di sini. Kalau mereka jujur ke semua orang, apakah orang-orang ini akan mengerti dan berpikiran terbuka? Kalau semua orang tahu, yakin si au pair ini tidak akan dihujat dan disamakan dengan TKW yang keluar negeri jadi pembantu? Lalu kalau si au pair betul-betul ingin jujur ke keluarga, yakin akan langsung diberi restu saat itu juga untuk menapakki Eropa? Nope!
I have been there! Dari awal ingin jadi au pair, saya tahu minta izin ke orang tua dan menjelaskan ke orang-orang terdekat adalah tantangan paling berat. Tapi daripada bohong, saya tetap utarakan niat dengan jujur. Dari sana, saya upayakan untuk menjelaskan ke mereka dengan cara lain; saya cari semua makna positif au pair di internet, dicetak beberapa rangkap, lalu saya sebarkan ke keluarga dan beberapa teman terdekat agar mereka paham au pair itu apa. Lalu, apakah saat itu juga mereka paham dan mengizinkan saya ke luar negeri? Tentu saja, TIDAK!
Status saya masih saja disamakan dengan pembantu, TKW, babysitter, atau entah segala macamnya yang dinilai sama sekali tidak worth-it dan membanggakan. Satu hal, orang Indonesia masih melihat bahwa anak-anak muda yang tinggal di Eropa itu hampir semua tujuannya adalah belajar. Pulang-pulang setidaknya membanggakan karena bawa gelar internasional yang bisa meningkatkan kualitas dan rasa kepercayaan diri di lingkungan sosial.
Tapi mengapa saya tetap jujur meskipun tahu akan mendapatkan respon negatif? Karena saya ingin langkah ke Eropa tetap direstui meskipun berat. Saya juga ingin membuktikan bahwa saya bisa bertanggungjawab terhadap diri sendiri tanpa harus minta uang jajan lagi! Hanya saja, kejujuran ini hanya saya utarakan ke keluarga dan satu dua teman yang betul-betul mendukung 100 persen. Sisanya, daripada capek-capek menjelaskan lagi tapi mereka sama sekali tak mengerti, saya katakan saja bahwa saya sedang mengikuti program pertukaran budaya dan bahasa. Sampai sini, aman!
Di Belgia, karena lingkup sosial saya au pair dan teman sekolah bahasa saja, maka tak ada alasan untuk mengaku-ngaku sebagai mahasiswa. Cowok-cowok Belgia yang saya kencani pun tak banyak komentar, karena kebanyakan dari mereka juga masih awam tentang au pair. Lagipula menurut pendapat saya, orang Belgia cenderung santai dan sangat terbuka. Jadi mengaku sebagai cleaning lady pun, mereka tak akan menganggap kita buruk.
Nørrebro, Kopenhagen, Denmark |
Namun, my life turned to be a lie sejak tinggal di Denmark! Kalian harus tahu bahwa imej au pair di Denmark itu sangatlah buruk. I mean, really really bad! Menurut cerita yang berkembang, imej buruk ini terbentuk lantaran banyaknya au pair Asia (terutama Filipina) yang mengingkari kontrak au pair sebelum selesai. Berkencan dengan cowok lokal, lalu tiba-tiba hamil. Selesai au pair, tak mau ingin pulang ke negara asal, bisa saja menikah sembarangan dengan lelaki tua sekali pun. Belum lagi banyaknya kasus au pair yang di-abuse host family sampai kabur dan hanya meninggalkan surat di kotak pos keesokkan harinya. Denmark is totally the worst country to be an au pair! Dari host family-nya yang kebanyakan tak mau rugi, sampai perspektif orang lokalnya yang menilai au pair itu pekerjaan rendahan.
I am not lying! Beberapa cowok Tinder yang saya kenal bisa tiba-tiba langsung mengakhiri chat kami kalau saya mengaku au pair di depan. Kalaupun harus ketemu dan berkencan dengan mereka sekali dua kali, saya katakan saja sedang menempuh studi di Denmark. Tak hanya sampai di situ. Suatu kali saya dan beberapa orang teman baru ketemu untuk nongkrong di kota. Baru terlibat beberapa menit diskusi, saya merasa mereka semua out of my league karena yang dibahas adalah soal kuliah dan isu-isu yang tak saya mengerti. Mengajak saya mengobrol? Mungkin hanya 5 persennya saja! Yang ditanyakan ke saya juga soal asumsi murahannya yang cuma mendengar Indonesia dari berita sampah, "I heard women in Indonesia are seen like meat. Jadi kalau si laki-laki ini melihat cewek, seperti mangsa begitu." Maksud ente??!!!
Denmark, what's wrong with people in your country?!
Oh wait, cerita buruk saya sebetulnya masih banyak. Tapi sesungguhnya cerita buruk ini tak hanya saya yang mengalami. Teman saya pun sering cerita kalau banyak orang di Denmark yang tanpa bertanya lagi, bisa saja menebak bahwa si teman ini asalnya dari Filipina dan bekerja sebagai au pair. Satu hal yang membuat teman saya ini cukup kecewa, seorang cowok yang dia kenal di Tinder pun seringkali menanyakan keseriusan teman saya ini ke depannya, "are you sure you date me because you really like me? Bukan karena kamu hanya ingin punya visa lanjutan sampai hamil kan? Yang aku temui faktanya begitu dari para au pair Filipina."
Jangan pernah salahkan saya punya pandangan negatif dengan para au pair Filipina yang tinggal di Eropa! Tidak semua dari mereka punya niat aneh-aneh memang, namun hanya segelintir oknum. Masih terikat kontrak kerja, tapi tiba-tiba hamil dan tak diakui oleh si pacar bulenya. Atau juga yang terlalu naif dan penurut, sampai tak sadar sedang diperbudak oleh si host family.
Karena tak ingin disamakan dengan para au pair Filipina, akhirnya saya niatkan saja dari awal sampai akhir untuk tak pernah mengaku sebagai au pair. Orang-orang Indonesia yang tak saya kenal dan ditemui sekali dua kali, malah lebih banyak menebak saya sedang berkuliah di Denmark. Saya iyakan saja dan diamini dalam hati. Saat ditanya kuliah dimana, saya jawab di KADK atau sekolah desain dan arsitekturnya Denmark. Jurusan apa, saya jawab Spatial Design. Aman!
Dari dulu saya memang sudah sangat tertarik masuk kuliah desain, makanya sudah lama mengintip kurikulum kuliah desain di KADK (The Royal Danish Academy of Fine Arts, School of Architecture, Design and Conservation). Makanya saat ditanya lebih detail tentang program studinya pun, saya bisa dengan lancar menjawab layaknya memang sedang kuliah di sana.
Don't blame me! Saya malas menghadapi pertanyaan dan juga ekspresi orang-orang kolot yang masih merasa au pair itu pekerjaan rendahan, sampai menganggap kami ini babu atau lebih buruknya, bule hunter yang hanya ingin green card saja!
Mosjøen, Norwegia |
Pindah ke Norwegia, saya lepaskan semua atribut palsu itu. Capek rasanya berbohong sebagai mahasiswa demi meningkatkan kepercayaan diri agar tak merasa malu. Populasi au pair Filipina di Norwegia juga sebetulnya sebanyak di Denmark dan kebanyakan orang-orang lokal juga tahu au pair itu apa. Tapi ternyata, imej pendatang dari Eropa Timur lebih jelek dari au pair Asia! Au pair di Norwegia dianggap bersifat politik yang masih ada hubungannya dengan kepentingan orang banyak; alias membantu keluarga kaya raya yang butuh pengasuh anak di rumah. Sementara para pendatang Eropa Timur, seringkali maling, kerja ilegal, datang ke Norwegia hanya cari uang, lalu tak pernah serius belajar bahasa lokal.
Jadi, bagi kalian para au pair yang masih mengaku sebagai pelajar di Eropa, I won't judge. Semoga saja status pelajar tersebut memang betul-betul akan diraih selepas au pair ini! Yang dari awal jujur ke keluarga dan kerabat kalau akan jadi au pair di Eropa, saya salut! Saya tahu perjuangan untuk menjelaskan ke orang Indonesia itu begitu sulit. Apalagi dalam bahasa Inggris, au pair langsung diterjemahkan dengan mentah sebagai 'pembantu'.
Lalu bagi kalian, para orang Indonesia yang mungkin bertanya, "kenapa sih jadi au pair saja malu? Kenapa tidak jujur saja?". Kalian harus tahu bagaimana rasanya terhalang restu orang tua hanya karena dianggap sebagai TKW di Eropa. Kalian juga harus mengerti susahnya menjelaskan program au pair ini ke banyak orang Indonesia tanpa dihujat. Yang terakhir, kalian juga harus tahu bagaimana kami para au pair ini seringkali dibandingkan dengan para mahasiswa Indonesia yang betul-betul belajar dengan gelar di Eropa. Mereka, muda dan berprestasi. Kami, muda dan nekad!
But, anyway... I am (seriously) proud to be an au pair. Meskipun hidup pindah-pindah negara dengan status au pair dulu selama 5 tahun ke belakang ini, finally I made my dream came true; lanjut kuliah di Eropa! Meski tak sekolah desain, tapi setidaknya diterima di salah satu kampus terbaik di Norwegia. See, saya buktikan kan kebohongan tersebut menjadi kenyataan?! ;)
aku ngerti, kak...susah jelasin ke teman. lah aku malah di kira TKW -_-. ku bilang bedaaa....mereka ngotot sama aja (mereka ngomong sambil ketawaan)...kalo orang tua alhamdulillah ka,ngerti...ya cuma untuk ijin ke eropannya masih takut (masih batas wajar).yang nganggap positif tuh memang beberapa sahabat yang kenal kenekatan aku memang wkwkkw mereka ngerti dan dukung.(kalo kalian tiba-tiba tertarik, n mau jadi sapa tau ketemu blok ini dan kalian baca ini,...@ramla, @anik,@asmi...terima kasih udah dukung )kwkwkwk...
BalasHapusmakasii ka...ternyata aku ga sendiri menghadapi teman-teman yang ngeremehin...
Sejauh ini sih ya.. aku liat orang2 yg cuma bisa merendahkan au pair ini emang pada dasarnya iri sama kita. Kita bisa ke Eropa, even “cuma jadi pengasuh anak” sekali pun, mereka tidak. But as I said long time ago, au pair memang tidak untuk semua orang 😀😀
HapusTenang aja ~
Yang males ngaku ke orang2 karena status au pairnya tuh banyak bangeeeet.
wah, saya pernah baca tulisan kakak yang bilang ada rencana lanjut S2 di Norwey (kalau nggak salah) sekarang kakak lanjut disana kah? kalau boleh tahu seakrang kakak ambil jurusan apa???? pingin ikuti jejak kakak :)
HapusYaahh.. kamu ketinggalan nih :b
HapusKuliah semester ini udah kelar malahan. Ayokk baca postingan aku yang baru2 biar gak ketinggalan ;)
Iya. Aku beneran lanjut kuliah.
so inspired..
BalasHapusJust found your blog, and it is seriously interesting. Baca baca lagi aah~
BalasHapusThank you for sharing Nin, salam kenal.
Saya yang minta izin ke orang tua dan kakak jadi aupair aja. Harus jelasin panjang lebar dan nangis-nangis dulu baru bisa paham merekamnya. Memang kebanyakan orang Indonesia close minded dan selalu melihat di sisi negatif dulu. Yah gak semua sih aku hanya mencontohkan orang dilingkunganku
BalasHapusMaklumin aja.. kebanyakan orang Indonesia kan, taunya yang bisa ke LN cuma karena kerja/ikut suami/beasiswa. Selain itu, mereka belom familiar.
HapusMungkin kamu bisa baca postingan aku tentang “minta izin orang tua ke luar negeri”? :)
Jadi au pair kek, jadi cleaner kek, yang jelas berbeda hasil dan perlakuan bila dilakukan di Indonesia. Di Norwegia tidak bisa sembarangan diterima kerja. Sulitnya bukan main, persyaratannya ketat, bersaing dengan banyak orang yang juga pendatang. Hukum di Norwegia jelas, pemberi kerja tidak bisa semena-mena. Jadi, banggalah dengan profesi sederhana, ini suatu trek record yang bagus, karena dipercaya oleh si pemberi kerja. Itu sudah nilai plus. Jangan berkecil hati. Abaikan ORANG YANG BERNEGATIF kepada Anda tidak tahu betapa sulitnya tembus kerja di dunia kerja Eropa, apalagi di negara makmur seperti Norwegia. Mereka belum tentu setangguh dan seberani Anda. Salut. Salam berjuang, semoga Anda meraih kehidupan yang lebih bermutu, meraih mimpi-mimpi Anda. Berkah Dalem.
BalasHapusTerima kasih banyak!!! Terima kasih untuk semua kata2 positifnya :)
HapusSetuju banget tentang, "Mereka belum tentu setangguh dan seberani Anda!"
hi kak, aku baru liat postingan kakak jujur pengen nangis.. karna itu yang kurasain banget selama lagi nge-au pair.. tentang liat mahasiswa indonesia yg bener" belajar.. sementara aku kerja "pembantu" disini.. (aku au pair di Belanda, disini orang-orangnya baik sih.. tapi ya tetep ada insecurity itu).. kebetulan lgi in relationship with a white guy (yang ketemunya juga jauh sebelum au pair).. tpi aku punya mimpi juga untuk kuliah dan berkarir.. sedih aku disangka greencard and bule hunter..
BalasHapusall the best for u dan semua au pair yang nekad!
Iya. Paham banget kok tentang problem kamu :)
HapusAu pair emang suka diduelin sama pelajar. Padahal gol kita & mereka juga beda. Tapi setelah jadi mahasiswa sini, aku jadi paham kenapa kayak ada gap antara au pair & mahasiswa. Karena mhswa diajakin rumpi soal host family pun gak paham, kecuali mereka pernah jadi au pair. Begitu juga sebaliknya, au pair bingung pasti diajakin ngobrol soal SKS di kampus 😀
Ayokkk!! Buktikan sama orang2 kalo cewek Asia yg pacaran sama bule itu bukanlah matre atau ngincer green card! Our vision is way bigger dari cuma punya suami Kaukasia! :)