Salah satu hal yang membuat kamu sukses mendapatkan pengalaman berharga saat tinggal di luar negeri dan setelah melewati masa au pair, tentunya adalah host family atau keluarga asuh/angkat. Mereka yang bisa menerbangkan mu dari Indonesia menuju host countries dan memberikan kesempatan mengikuti program pertukaran budaya di negara tujuan. Mereka adalah penentu apakah nasib mu di negara tersebut bisa berakhir menggembirakan, atau justru meninggalkan trauma.
Keluarga angkat ini juga ada yang asli lokal, campuran, atau sama sekali bukan asli warga setempat. Saya pernah tinggal bersama keluarga non-native dan lebih banyak tinggal dengan keluarga native. Pandangan saya terhadap kedua tipe keluarga ini, ada yang super baik, ada juga yang super mean tergantung individualnya. Bukan dari mana mereka berasal. Yakin saja, keluarga jahat itu sebetulnya ada dimana-mana.
Hanya saja, karena tujuan utama kita jadi au pair sebetulnya pertukaran budaya, saya sangat menganjurkan pilihlah keluarga native, atau yang salah satu orang tuanya merupakan orang lokal. Mengapa, karena ada banyak hal yang bisa kamu pelajari dari keluarga native ini.
1. Pelajaran bahasa mu akan lebih terasa karena praktik nyata
Kalau kamu mendapatkan host family yang aktif, akan ada banyak kesempatan dimana kamu bisa diajak beraktifitas bersama atau sekadar diajak 'business trip' sesekali. Saat mereka sekeluarga berski ria, bisa jadi kamu ditawari ikut main ski bersama, sampai dibelikan peralatan lengkapnya! Keluarga kamu suka menikmati makanan high standard, ada kemungkinan juga mereka akan selalu mengajak atau menawarkan voucher makan-makan fancy di luar.
Bahkan kalau pun tak rejeki diajak kemana-mana, kamu tetap bisa belajar bagaimana keluarga lokal ini menikmati waktu senggang mereka. Di Denmark, kehidupan masyarakat lokalnya cenderung membosankan. Tappiiii, ada tren mendatangi gym yang jadi kultur setempat. Seorang teman saya akhirnya ikut termotivasi untuk mendatangi tempat gym setiap minggu karena mencontek aktifitas favorit keluarga angkatnya.
Tak ada salahnya memiliki preferensi ingin mendapatkan host family seperti apa. Boleh yang seiman, senegara, ataupun sebahasa. Bebas! Belum tentu juga keluarga native akan cocok dengan gaya hidup kita, atau bahkan bisa jadi lebih buruk dari keluarga imigran. Namun, kalau disuruh memilih, saya tetap akan memilih keluarga native yang saya yakini, bisa lebih banyak memberikan saya pelajaran dan pengalaman selama di negara tujuan.
Kamu sendiri, apa punya preferensi keluarga seperti apa yang ingin kamu dapatkan sekiranya punya kesempatan jadi au pair? Boleh juga membaca postingan saya tentang 10 hal yang mungkin bisa kamu hindari sebelum memilih keluarga!
Keluarga angkat ini juga ada yang asli lokal, campuran, atau sama sekali bukan asli warga setempat. Saya pernah tinggal bersama keluarga non-native dan lebih banyak tinggal dengan keluarga native. Pandangan saya terhadap kedua tipe keluarga ini, ada yang super baik, ada juga yang super mean tergantung individualnya. Bukan dari mana mereka berasal. Yakin saja, keluarga jahat itu sebetulnya ada dimana-mana.
Hanya saja, karena tujuan utama kita jadi au pair sebetulnya pertukaran budaya, saya sangat menganjurkan pilihlah keluarga native, atau yang salah satu orang tuanya merupakan orang lokal. Mengapa, karena ada banyak hal yang bisa kamu pelajari dari keluarga native ini.
1. Pelajaran bahasa mu akan lebih terasa karena praktik nyata
Saya tahu, di luar sana sebetulnya banyak sekali au pair yang malas belajar bahasa dan merasa cukup menggunakan bahasa Inggris di rumah. Banyak juga yang merasa happy kalau ternyata host kids mereka bisa berbahasa Inggris.
Tapi, bagi kamu yang sangat bermotivasi untuk belajar bahasa asing, tinggal dengan keluarga native bisa membuat kemampuan bahasa mu meningkat drastis. Tak perlu repot-repot cari tandem belajar, host kids di rumah adalah guru sekaligus teman belajar bahasa lokal. Mungkin ada juga yang sedikit terintimidasi dengan host kids yang sudah cukup dewasa dan selalu mengernyitkan dahi memahami apa yang kita ucapkan. Namun yakinlah, hal ini malah bisa jadi semangat untuk bisa memoles bahasa lokal mu lebih baik.
Dari pengalaman saya juga, keluarga native yang punya anak kecil lebih memudahkan kita belajar bahasa karena sama-sama baru belajar mengucapkan kata per kata. Anak kecil ini juga tak mudah menghakimi kemampuan bahasa kita hanya karena salah grammar atau pelafalan.
Sewaktu tinggal di Belgia, keluarga saya juga sebetulnya bukan asli Belgia. Mereka adalah orang Maroko yang lahir dan besar di sana. Namun, karena di rumah percakapan hanya menggunakan bahasa Prancis, hal ini bisa jadi kesempatan saya yang saat itu kebetulan memang ingin belajar bahasa Prancis. Karena anaknya juga masih mini-mini, pelajaran bahasa Prancis saya lebih cepat terasah karena setiap hari terpaksa harus mengobrol dengan bahasa yang dipahami mereka.
2. Makanan yang kamu cicipi tidak selalu nasi
Tapi, bagi kamu yang sangat bermotivasi untuk belajar bahasa asing, tinggal dengan keluarga native bisa membuat kemampuan bahasa mu meningkat drastis. Tak perlu repot-repot cari tandem belajar, host kids di rumah adalah guru sekaligus teman belajar bahasa lokal. Mungkin ada juga yang sedikit terintimidasi dengan host kids yang sudah cukup dewasa dan selalu mengernyitkan dahi memahami apa yang kita ucapkan. Namun yakinlah, hal ini malah bisa jadi semangat untuk bisa memoles bahasa lokal mu lebih baik.
Dari pengalaman saya juga, keluarga native yang punya anak kecil lebih memudahkan kita belajar bahasa karena sama-sama baru belajar mengucapkan kata per kata. Anak kecil ini juga tak mudah menghakimi kemampuan bahasa kita hanya karena salah grammar atau pelafalan.
Sewaktu tinggal di Belgia, keluarga saya juga sebetulnya bukan asli Belgia. Mereka adalah orang Maroko yang lahir dan besar di sana. Namun, karena di rumah percakapan hanya menggunakan bahasa Prancis, hal ini bisa jadi kesempatan saya yang saat itu kebetulan memang ingin belajar bahasa Prancis. Karena anaknya juga masih mini-mini, pelajaran bahasa Prancis saya lebih cepat terasah karena setiap hari terpaksa harus mengobrol dengan bahasa yang dipahami mereka.
2. Makanan yang kamu cicipi tidak selalu nasi
Who does not love rice?! Tenang saja, para bule di Eropa juga sebetulnya suka nasi, kok. Hanya saja memang frekuensi makannya jauh lebih sedikit daripada kita di Indonesia.
Tinggal dengan keluarga native membuat kamu juga bisa mencicipi kuliner lokal yang belum pernah ada resepnya di Indonesia. Dari yang tadinya benci sayuran, kamu akan terpaksa mencicipi salad segar setiap hari. Saya dulu juga awalnya benci terong dan sayuran segar lainnya. Namun karena setiap hari disajikan itu-itu lagi di meja makan, saya punya kecenderungan untuk ikut mencicipi menu yang jauh dari zona nyaman lidah selama ini.
Selain itu, sebetulnya ada banyak sekali jenis makanan yang tak harus selalu disantap dengan nasi, tapi pasta, quinoa, ataupun kentang. Hal paling menantang adalah mencoba untuk meninggalkan rasa pedas yang selalu kita rasakan selama di Indonesia. Apa-apa pakai sambal! Mungkin awalnya akan terasa hambar dan hanya terasa asin saja, namun kalau kita tinggal dengan keluarga native, lidah juga akan berlatih untuk merasakan rasa selain pedas.
Beda halnya kalau kamu tinggal dengan keluarga non-native semisal Maroko, contohnya. Makanan mereka kebanyakan berlemak dan nyaris nihil sayuran. Nasi atau couscous pun selalu memenuhi meja makan hampir setiap hari. Selain rempah masakan mereka yang hampir selaras dengan makanan Asia, saya tak terlalu banyak mencicipi rasa selain fatty dan heavy.
3. Mengenal tradisi dan kebiasaan lokal lebih jauh
Tinggal dengan keluarga native membuat kamu juga bisa mencicipi kuliner lokal yang belum pernah ada resepnya di Indonesia. Dari yang tadinya benci sayuran, kamu akan terpaksa mencicipi salad segar setiap hari. Saya dulu juga awalnya benci terong dan sayuran segar lainnya. Namun karena setiap hari disajikan itu-itu lagi di meja makan, saya punya kecenderungan untuk ikut mencicipi menu yang jauh dari zona nyaman lidah selama ini.
Selain itu, sebetulnya ada banyak sekali jenis makanan yang tak harus selalu disantap dengan nasi, tapi pasta, quinoa, ataupun kentang. Hal paling menantang adalah mencoba untuk meninggalkan rasa pedas yang selalu kita rasakan selama di Indonesia. Apa-apa pakai sambal! Mungkin awalnya akan terasa hambar dan hanya terasa asin saja, namun kalau kita tinggal dengan keluarga native, lidah juga akan berlatih untuk merasakan rasa selain pedas.
Beda halnya kalau kamu tinggal dengan keluarga non-native semisal Maroko, contohnya. Makanan mereka kebanyakan berlemak dan nyaris nihil sayuran. Nasi atau couscous pun selalu memenuhi meja makan hampir setiap hari. Selain rempah masakan mereka yang hampir selaras dengan makanan Asia, saya tak terlalu banyak mencicipi rasa selain fatty dan heavy.
3. Mengenal tradisi dan kebiasaan lokal lebih jauh
Tahu kah kamu kalau di Belgia, keluarga native memulai sarapan mereka dengan yang manis-manis? Tahu kah juga bahwa saat tinggal dengan keluarga native Denmark, kamu akan menyadari bahwa rumah mereka kebanyakan didominasi warna putih dan produk berdesain asli Skandinavia. Kamu juga akan belajar memahami hal-hal yang masyarakat tersebut sering lakukan, namun terlihat aneh bagi kita. You wouldn't know this kalau tak tinggal dengan keluarga asli!
Tinggal dengan keluarga native juga seru, karena bisa sekalian mengamati manner dan kebiasaan mereka sehari-hari. Bagaimana gaya parenting di sana, hingga jenis snack seperti apa yang sangat disukai warga lokal. They will tell you more about their country, for sure! Termasuk stereotipe yang akan kamu sering kamu dengar dari banyak foreigners tentang warga lokal!
4. Merayakan Natal yang bukan lagi jadi perayaan agama
5. Beraktifitas seru layaknya masyarakat lokal
Tinggal dengan keluarga native juga seru, karena bisa sekalian mengamati manner dan kebiasaan mereka sehari-hari. Bagaimana gaya parenting di sana, hingga jenis snack seperti apa yang sangat disukai warga lokal. They will tell you more about their country, for sure! Termasuk stereotipe yang akan kamu sering kamu dengar dari banyak foreigners tentang warga lokal!
4. Merayakan Natal yang bukan lagi jadi perayaan agama
Far from Indonesia and stay with the natives akan membuat cara pandang mu berubah dalam melihat kehidupan. Di Eropa, perayaan Natal bukan hanya milik agama tertentu. Natal menjadi liburan terbesar sepanjang tahun karena saat inilah orang-orang menjauh sebentar dari hiruk pikuk kota dan berkumpul bersama keluarga di rumah.
It is OF COURSE allowed to decorate the Christmas tree regardless your real religion or nationality! Semua orang bersuka cita mendirikan pohon natal plastik atau asli, sekalian mendadani si pohon agar tampak cantik jauh sebelum perayaan Natal tiba. Lampu-lampu kerlap-kerlip dipasang di luar rumah ikut menambah euforia Natal yang syahdu. Lagu-lagu khas Natal juga semakin sering berdendang di radio sampai kamu sendiri mungkin akan hapal dan muak.
Christmas eve is soooo cozy! Beruntung kalau kamu juga bisa merasakan white Christmas. Di malam sebelum Natal (24 Desember), meja terisi penuh makanan enak, ditambah dengan cercahan lilin yang akan membuat suasana semakin nyaman. Semua anggota keluarga berbagi cerita, hingga saatnya tiba saling bertukar hadiah. Kalau yang diundang banyak, acara tukar hadiah ini bisa berlangsung sangat panjang.
Bagi saya yang mantan au pair, perayaan Natal adalah momen yang WAJIB kamu rasakan bersama host family selama masa au pair! It would be full of good food, good mood, and good experience! Satu lagi, kamu wajib tahu bahwa di Eropa, perayaan Natal di tiap negara pun punya kultur yang berbeda, lho!
5. Beraktifitas seru layaknya masyarakat lokal
Saya merasa sangat beruntung menemukan keluarga native yang semuanya mau berusaha mengenalkan budayanya ke saya. Kapan lagi, bisa merayakan 17 Mei di Norwegia, namun bukan bersama masyarakat lokal di Oslo, namun di pulau pribadi milik host family. Kapan lagi bisa diajak lunch di tengah laut Norwegia Selatan, kalau tak naik kapal pribadi milik mereka!
Kalau kamu mendapatkan host family yang aktif, akan ada banyak kesempatan dimana kamu bisa diajak beraktifitas bersama atau sekadar diajak 'business trip' sesekali. Saat mereka sekeluarga berski ria, bisa jadi kamu ditawari ikut main ski bersama, sampai dibelikan peralatan lengkapnya! Keluarga kamu suka menikmati makanan high standard, ada kemungkinan juga mereka akan selalu mengajak atau menawarkan voucher makan-makan fancy di luar.
Bahkan kalau pun tak rejeki diajak kemana-mana, kamu tetap bisa belajar bagaimana keluarga lokal ini menikmati waktu senggang mereka. Di Denmark, kehidupan masyarakat lokalnya cenderung membosankan. Tappiiii, ada tren mendatangi gym yang jadi kultur setempat. Seorang teman saya akhirnya ikut termotivasi untuk mendatangi tempat gym setiap minggu karena mencontek aktifitas favorit keluarga angkatnya.
⚘ ⚘ ⚘
Tak ada salahnya memiliki preferensi ingin mendapatkan host family seperti apa. Boleh yang seiman, senegara, ataupun sebahasa. Bebas! Belum tentu juga keluarga native akan cocok dengan gaya hidup kita, atau bahkan bisa jadi lebih buruk dari keluarga imigran. Namun, kalau disuruh memilih, saya tetap akan memilih keluarga native yang saya yakini, bisa lebih banyak memberikan saya pelajaran dan pengalaman selama di negara tujuan.
Kamu sendiri, apa punya preferensi keluarga seperti apa yang ingin kamu dapatkan sekiranya punya kesempatan jadi au pair? Boleh juga membaca postingan saya tentang 10 hal yang mungkin bisa kamu hindari sebelum memilih keluarga!
Komentar
Posting Komentar