Cerita ini sebetulnya seperti trilogi dari semua pengalaman cari kerja dan status terakhir saya di tengah pandemi Korona di Norwegia. Setelah berusaha melempar semua lamaran kerja sejak November tahun lalu, pertengahan bulan Februari 2020 akhirnya saya mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan di restoran India tanpa kirim CV sekalipun. Semudah itu. Baru satu setengah bulan bekerja, Korona memperburuk situasi di Norwegia hingga akhirnya saya harus dirumahkan. Perjuangan untuk menuntut gaji 1,5 bulan itu pun luar biasa lelahnya karena baru terbayar lunas setelah 3 bulan kemudian. Dengan banyak alasan, gaji saya hanya bisa dicicil sedikit-sedikit tiap bulan. Tahu saya vokal menuntut hak, si bos restoran lebih membiarkan saya resign sendiri dengan cara mematikan telepon dan tak membalas pesan saya lagi.
Baca juga: Pentingnya Tahu Aturan Sebelum Kerja!
Sejak dari sana, saya murni jobless karena negara menerapkan lockdown dan banyak usaha pun ditutup. Di bulan Mei, ketika pemerintah Norwegia melonggarkan beberapa aturan dan kembali membuka banyak bisnis, saya mulai mencari kerja paruh waktu lagi kesana kemari. Jobless is tiring. Apalagi di musim panas, saya dan Mumu berencana menghabiskan summer holiday beberapa hari di Norwegia Selatan jika memang saya berhasil dapat pekerjaan. Semuanya begitu apik terencana ketika realita yang terjadi adalah saya masih menganggur sampai akhir musim panas! Liburan ke Norwegia Selatan pun dibatalkan karena kami tak punya cukup uang untuk liburan hedonis layaknya tahun lalu.
Mungkin banyak yang terheran-heran mengapa saya bisa menganggur selama itu. Apakah saya picky cari kerja? Apa saya kurang banyak kirim aplikasi? Kurang berpengalaman? Kurang pandai bekerja?
Meskipun harus keras terhadap diri sendiri, tapi alasan utamanya memang hanya karena saya belum beruntung. Dari April sampai pertengahan Juli, saya sudah mengirim setidaknya 70 lamaran kerja ke banyak tempat untuk posisi paruh dan purna waktu. Jenis pekerjaannya pun bermacam-macam mulai dari pelayan restoran, cleaning lady, barista, personal assistant, sampai guru TK. Bagi banyak orang, 70 lamaran kerja selama 4 bulan itu belum apa-apa. Saya tahu ada imigran lain yang harus mengirim setidaknya 40 lamaran kerja ke semua jenis posisi setiap bulannya.
Oke, lowongan kerja setiap hari memang ada. Masalahnya, apakah saya berkualifikasi memenuhi syarat lowongan tersebut? Apalagi untuk lowongan kerja yang syarat utamanya harus fasih berbahasa Norwegia, sudah jelas saya tak masuk hitungan. Meskipun desperate harus dapat kerja, saya juga tahu diri untuk tak mengirim ke semua banyak tempat kalau memang saya tak berkualifikasi. Jadi sebetulnya apa alasan saya bisa menganggur selama itu?
1. Tidak semua pekerjaan diperuntukkan bagi semua orang. Contohnya, setiap hari di situs lowongan kerja ada banyak sekali pekerjaan paruh waktu di sektor kesehatan untuk perawat dan personal assistant. Setiap hari pasti ada saja lowongan kerja untuk posisi ini, apalagi ketika Korona belum sepenuhnya pulih dari Norwegia. Saya sendiri sempat beberapa kali melamar jadi personal assistant untuk merawat anak berkebutuhan khusus dengan pengalaman au pair yang saya punya sebelumnya, namun tak berhasil.
2. Saya belum fasih berbahasa Norwegia. Sure, I speak Norwegian. Tapi kemampuan bahasa saya belum cukup untuk jadi telemarketer, saleswoman, atau representative, misalnya. Ada beberapa pekerjaan yang sebetulnya ingin saya lamar, tapi karena jelas-jelas kualifikasinya harus fasih berbahasa Norwegia, saya batalkan. Orang Norwegia sendiri cukup strict dengan syarat bahasa ini karena banyaknya populasi imigran yang cari kerja di Oslo. Makanya daripada merekrut imigran yang bahasanya masih terbata-bata, perusahaan lebih tertarik mempekerjakan natives sekalian.
3. Jadwalnya tidak pas. Semester tiga dikabarkan adalah semester tersibuk sepanjang tahun karena kami punya jadwal magang di perusahaan besar plus tambahan tugas dari kampus. Saya sering kali disarankan mencoba melamar jadi guru TK karena pengalaman bekerja dengana anak-anak sebelumnya. Tapi karena jam kerja guru TK mesti stand by dari pagi sampai sore hari, sudah sangat jelas bahwa posisi ini kurang tepat bagi saya. Ditambah lagi, syarat wajib untuk jadi guru TK adalah memiliki sertifikat bahasa Norwegia level B2 yang mesti dilampirkan di dalam lamaran. To be honest, meskipun jadwal tak pas dan kurang berkualifikasi, saya tetap beberapa kali mencoba mengirimkan lamaran walau tahu ending-nya pasti ditolak.
4. Saya bukan natives. Ketika Norwegia harus menghadapi krisis Korona yang membuat banyak penduduknya dirumahkan sampai kehilangan pekerjaan, hal tersebut tentu saja membuat persaingan di dunia kerja semakin ketat. Ketika ada satu posisi lowong di toko, yang dulunya sebelum Korona hanya dilamar oleh 60 orang, sekarang jadi 200 orang. Karena hal inilah, saya dengar banyak perusahaan yang lebih duluan ingin menyelamatkan orang asli mereka dulu ketimbang mempekerjakan orang asing.
5. Age matters. Sebagai informasi, ada banyak sekali anak-anak muda Norwegia yang sudah mulai mencari uang sejak usia 15 tahun. Banyak toko dan kios lebih prefer merekrut anak-anak muda di bawah usia 20 tahun karena upah yang diberikan lebih rendah ketimbang harus merekrut pegawai yang lebih tua, misalnya. Supermarket, kios toserba, atau kios bensin, sangat tertarik merekrut anak muda yang baru lulus SMA sebagai pegawai mereka karena upah dan bahasa. Saya beberapa kali melamar ke toko dan kios, tapi mungkin karena beberapa poin yang sudah dijelaskan di atas ditambah faktor umur >20, makanya lagi-lagi selalu menerima penolakan.
6. Demanding qualification! Saya selalu punya cerita tak mengenakkan dengan para manager restoran tempat saya bekerja. Karena hal tak mengenakkan tersebut, saya sebetulnya sudah muak berurusan lagi dengan pekerjaan di restoran. Namun karena jam kerjanya paling cocok dengan jadwal kuliah serta tak perlu bisa bahasa Norwegia super fasih, makanya saya paling banyak mengirim lamaran di sektor ini. Kenyataannya, pekerjaan sekelas pelayan pun kualifikasinya cukup ribet. Misalnya, kamu diharuskan punya pengalaman 1-2 tahun jadi pelayan sebelumnya. Padahal yang saya tahu, pelayan di restoran kecil itu sebetulnya bisa saja learning by doing. Saya pernah di-PHP dan ditendang begitu saja saat masa trial hanya karena dianggap kurang pengalaman. Ceritanya mungkin akan saya bahas lebih lengkap kapan-kapan. Tapi karena kejadian ini, Mumu dan saya rasanya masih dendam dengan restoran tersebut sampai sekarang!
7. Saya hanya belum beruntung. Luck dan timing itu memang betul-betul berpengaruh saat mencari kerja. Seorang teman sekelas melamar sebagai pelayan di satu restoran dan dipanggil wawancara dua minggu sebelum saya. Ketika saya baru diwawancara, si teman ini sudah mulai trial selama 3 hari dan di hari ketiga, kontraknya langsung diperpanjang. Sementara saya yang diwawancara belakangan, baru mulai trial selama 1 hari, diacuhkan begitu saja selama 2 minggu sampai akhirnya si manager mengatakan mereka sudah cukup pegawai.
Pengalaman lainnya, saya sempat melamar sebagai cleaning lady bersama seorang teman asal Latvia yang baru pindah ke Norwegia ikut pacarnya. Ketika si teman ini melamar ke beberapa agensi, dengan cepat doi langsung dapat kabar diterima dan tinggal menunggu klien. Namun ketika saya ikut melamar di agensi yang sama, dengan sigap juga mereka menolak lamaran dengan alasan rumah kejauhan, tak punya SIM/mobil, dan masih banyak alasan lainnya. Man, am I that unlucky?!
Baca juga: Bahasa, Tantangan Terbesar Hidup di Norwegia
Soal koneksi, saya juga sudah berusaha mencoba menghubungi beberapa orang teman dan bertanya jika mendengar lowongan. Mumu juga sampai menanyakan ke saudara dan koleganya jikalau ada yang informasi dari kanan kiri. Saking caring-nya, kakak Mumu sampai mengirimkan saya banyak sekali lowongan kerja hampir setiap hari! Di waktu yang sama, saya juga mengganti CV ke bahasa Norwegia dan menuliskan surat lamaran lebih personal, kalau memang cara tersebut mampu membuat lamaran lebih menarik. Selama ini saya memang terbiasa mengirimkan lamaran kerja berbahasa Norwegia dan CV berbahasa Inggris hanya untuk memberi pemahaman bahwa saya bukan native speaker atau bukan imigran yang sudah fasih berbahasa lokal. Dengan harapan awal bisa membuka kesempatan lebih luas, tetap saja cara ini nihil.
Clock is ticking dan banyak bills harus terbayar lunas setiap bulan. Mumu is the only one who knows my real struggle. Hampir setiap hari saya diliputi rasa sedih, kecewa, marah, hingga stres tingkat tinggi sampai seringkali membuat otot tegang. Selain harus bayar bills ini itu, saya bisa setegang ini karena harus memperbarui study permit untuk setahun ke depan dengan wajib menyiapkan kembali uang jaminan hidup NOK 123 ribu (sekitar 200 jutaan Rupiah). Pemerintah Norwegia sebetulnya cukup pengertian memberikan tambahan waktu untuk melengkapi syarat finansial ini sampai 1 Oktober. Tapi kalau tak mampu menunjukkan bukti finansial atau kontrak kerja sampai waktu tersebut, otomatis aplikasi kita ditolak dan sesegera mungkin disuruh angkat kaki dari negara ini.
Ada beberapa komentar yang menyarankan kalau saya bisa saja meminjam uang Mumu dulu sebagai jaminan. Tapi sejujurnya, saya lebih tahu kondisi finansial Mumu dan he’s helped me a loooot during these challenging times. Meskipun tak pernah tahu rasanya jadi gembel di negara orang lain, tapi Mumu adalah partner sekaligus sohib yang sangat suportif mendukung apapun usaha dan kemauan saya. Mumu sangat paham bahwa cari kerja ketika masa pandemi memang begitu sulit. Dia juga tahu bahwa saya sudah berusaha semaksimal mungkin dan tak ada yang bisa dilakukan selain menunggu panggilan kerja. Ketika merasa lelah dan rasanya ingin pulang saja ke Indonesia, Mumu berkali-kali memberikan semangat positif dan meyakinkan bahwa keadaan tidak akan selamanya begini. So no, I’m not gonna ask him for more.
Sampai akhirnya, di penghujung bulan Juli saya menerima email panggilan wawancara dari salah satu cabang restoran terbesar di Norwegia untuk posisi pelayan. Baru kemarin kirim lamaran, hari ini dapat email balasan, besoknya langsung disuruh datang untuk wawancara. Wawancaranya juga sangat santai dan lebih banyak si manager yang bicara daripada saya. Masa trial dimulai seminggu kemudian dan luckily langsung tanda tangan kontrak di hari yang sama. Untuk sekarang, shift memang masih bolong-bolong karena sedang dalam masa trial. Tapi setidaknya status saya sekarang sudah bukan pengangguran lagi dan siap apply study permit baru karena syarat finansialnya sudah terpenuhi.
Kebetulan juga, Cece Eva (pemilik blog Si Koper Biru) yang punya mutual friend di Facebook, melabeli nama saya di postingan salah seorang temannya yang sedang mencari babysitter di Oslo. Saya sebetulnya sudah kenal lama dengan si kakak ini, tapi memang belum pernah bertemu. Karena postingan ini, saya segera menawarkan diri dan diusahakan untuk bekerja di sana kalau memang tak bertabrakan dengan jadwal magang. Terharu! Terima kasih informasinya, Ce Eva!! 😭
Beberapa hari setelahnya di grup Facebook, saya juga melihat koran kampus sedang mencari jurnalis lepas untuk artikel berbahasa Inggris, yang ternyata editor barunya itu teman sekelas saya sendiri!! Tanpa babibu, langsung saya hubungi si teman ini dan keinginan untuk jadi koleganya pun langsung dikabulkan. The power of orang dalem; tanpa kirim CV, tanpa wawancara, saya diterima begitu saja dan langsung diundang ke common meeting. Gajinya dibayar per artikel dan jumlahnya tak banyak memang, tapi setidaknya lumayan untuk menambah pundi-pundi dan memperluas networking. Not only I know more international and Norwegian students, but also have more meetings to attend!
Bagi yang sering mengecek Instagram saya, mungkin tahu bahwa sekarang saya pun sedang magang di salah satu kantor startup. Untuk sementara ini posisinya tak dibayar, meskipun ada jenjang karir yang berkesempatan membuat posisi ini dibayar nantinya. On top of this, saya juga punya jadwal magang wajib dari kampus di salah satu korporat telekomunikasi terbesar di Norwegia. Posisi ini juga bukan paid-internship karena bekerja sama dengan pihak kampus yang tujuannya lebih menekankan kepada proses pembelajaran dan pengalaman. Meskipun saya tak mendapatkan seperak Krona pun dari kedua tempat ini, tapi fokus dan tanggung jawab tetap harus dijalankan agar keduanya bisa berjalan.
"I am so tired of being unpaid worker, Mu. I feel like working for nothing," keluh saya ke Mumu setelah capek sepulang meeting di 3 tempat sekaligus.
"You work for your future. Kamu punya banyak pengalaman yang bisa dilampirkan ke CV and they’re good for your career. Kalau memang sudah terlalu banyak tugas dan tak sanggup lagi mengerjakan semua, jangan lupa mengorbankan salah satunya dan please be kind to yourself before anybody else," kata doi.
Melihat padatnya jadwal di atas, saya yakin memang harus ada yang dikorbankan nantinya. Tapi semoga saya masih punya waktu me-time dan beristirahat. Semoga juga badan dan otak ini kuat diajak bekerja hampir setiap hari karena inilah salah satu jalan menikmati kuliah di luar negeri. Somehow, asik juga sosialisasi kesana-kemari lalu kenal banyak orang karena networking yang luas.
The right timing scared me. Ketika saya sudah berusaha keras sebelumnya, ternyata Agustus adalah jawaban atas semua usaha selama ini. Meskipun baru bisa menikmati gaji bulan depan, namun saya bisa bernapas lega karena sadar bahwa hidup itu memang tidak selamanya menyedihkan.
In the end, bagi kalian yang ingin kuliah di luar negeri, semoga tidak senekad saya ya dalam merencanakan keuangan. I was in a bad luck, sampai akhirnya harus terpuruk seperti ini. Yang sedang kuliah di luar negeri pakai dana pribadi dan nasibnya sama seperti saya, keep your chin up because we shall conquer this difficult time!
Age does matter hahah. Mungkin itu yang bikin susah sabar ya kak, waktu jalan terus. Stay healthy kak Nin, have a good day!
BalasHapusWell, it's one of them, at least :)
HapusSemoga sukses terus. Bersakit sakit kehulu berenang renang ketepian konon. Jadi inget dulu pas jaman2 bangkrut jadi mahasiswa, nanti akan terbayarkan kerja kerasmu, dan magang itu adalah sebuah priority imho, walo gada duitnya (sekarang)
BalasHapusYang nyaranin suruh pinjem duit ke pacar itu imho kurang paham begitu sensitifnya orang disini soal pinjem meminjam duit, ga macem di Indonesia (yg sepertinya gampang banget, saking gampangnya malah susah nagihnya).
Makasih banyak, Cece. Kalo untuk urusan kuliah (magang itu), pasti aku duluanin. Kerjaan sampingannya bakalan digawein kalo emang ada waktunya. Sejauh ini sih semuanya berjalan lancar aja. Cuma gak tau kalo udah banyak tambahan tugas lainnya ~
HapusYang nyaranin begitu emang pola pikirnya masih Indonesia banget. Melihat pacar bule tuh kayak aset atau bank yang bisa kapan aja dipake duitnya, soalnya doi ngeliat kanan-kiri banyak yang begitu sih.
Alhamdullah si cantik posting lagi 😍😍 dapet pelajaran berharga pas baca ini
BalasHapusAku gak tau kamu ganteng/cantik, tapi makasih banyak ya udah mampir ke sini ;)
HapusSemoga bisa segera lepas dari krisis ya mbak. Sekarang seluruh dunia memang sedang mengencangkan ikat pinggang karena Corona.
BalasHapusNggak perlu ragu untuk menuliskan bila itu bisa membuat lega...
Thank you! 😇
HapusSebetulnya justru aku bukan tipikal orang yang harus nulis dulu biar semua masalah lega. Mendingan gak banyak orang tau deh. Hanya aja kenapa nulis ini, biar bisa sharing ke orang2 kalo hidup di luar negeri itu nyatanya memang tidak mudah, apalagi hidup sendiri tanpa keluarga yg bisa bantu kapan aja 😇
Kak Nin, I wish u more luck. Stay strong akak. I also want to live in Europe like u, but, Im not sure its worth the struggle.
BalasHapusKalo kamu cuma “pengen”, ya mendingan pikirin lagi deh mateng2. Mesti well-planned juga, apalagi bakalan hidup sendiri di sini.
HapusTapi kalo kamu YAKIN & kuat untuk hidup penuh tantangan, then it would be worth to fight for. Semakin lama tinggal di negara orang, aku makin realistis aja sih sekarang. Ya kalo gak bisa tinggal lama di negara orang, jangan takut untuk pulang.
Tapi kalo untuk pekerjaan profesional sih di Eropa umur engga jadi masalah. Kalo untuk entry level ada yg sudah 35 pun masih bisa diterima. Beda sama di indo yg after certain age udah susah nyari kerjaan karena udh dianggap "ketuaan"
BalasHapusTrue :)
HapusKak Niiin..aku fans kak Nin sejak jaman kuliah
BalasHapusTerimakasih udah mau berbagi cerita menariknya
Waduh.. sekarang gimana? Udah punya anak belom?
HapusKek tua banget aku jadinya xD
Makasih ya udah mampir ke blog selalu :)
Thank you buat ceritanya! Jadi pengingat buat saya; susah atau senang, harus selalu dihadapi.
BalasHapusWish u more luck and keep fighting
Gak ada cara lain untuk bertahan hidup, selain semuanya harus dihadapi :)
HapusThank you so much! Keep fighting juga buat kamu di sana.
Kak untuk tahun ini karena adanya covid susah ga orang indonesia untuk au pair? Apakah aupair laki laki masih sulit diterima sekarang kak?
BalasHapushaii kaa, thank u bbuat ceritanya
BalasHapusit's remind me buat jangan pernah menyerah apapun masalahnya psti ada jalan keluarnya
wish u luck and keep spirit:)
Sejujurnya aku emang pengennya nyerah aja ini kemaren sih. Tapi keadaan memaksa untuk gak boleh nyerah. Kalo nyerah nyari kerja, ya gak makan dan support kuliah di sini :D
HapusKalo kamu udah usaha tapi gak membuahkan hasil, milih nyerah juga gapapa. Kita gak pernah tau, mungkin saat kita nyerah di sini dan milih jalan lain, malah rejeki kita ada di jalan baru tsb :)