Sisa musim panas mengawali dimulainya semester baru di Norwegia |
Kalau melihat euforia para mahasiswa baru ini, saya jadi ingat mimpi sedari kecil yang ingin kuliah di luar negeri sampai akhirnya terwujud. Tahun lalu, beberapa bulan sebelum pengumuman, saya sempat datang ke pelataran Universitas Oslo di malam hari ditemani Mumu hanya untuk mengambil foto demi konten blog. Entah diterima atau tidak, saya rencananya hanya ingin berbagi cerita tentang proses mendaftar kuliah di Norwegia. Saat itu saya berkata ke Mumu, "mudah-mudahan ya tahun ini bisa datang ke tempat ini setiap hari untuk kuliah." Mumu yang suportif hanya meyakinkan saya, "pasti kamu dapat, yakin saja."
Meskipun awalnya skeptis karena persaingan yang kompetitif, puji syukur saya betul-betul diterima di jurusan yang memang jadi prioritas utama. Saya patahkan anggapan yang mengatakan bahwa hanya ada dua tipe orang Indonesia yang bisa kuliah di luar negeri; yaitu yang super kaya karena dana orang tua dan yang super pintar karena dana beasiswa. Saya lahir dari keluarga kelas menengah yang tetap harus berjuang menghidupi diri sendiri di sini dan juga bukan murid super pintar hingga tahu diri tak daftar beasiswa manapun.
Saya sedang tidak jualan cerita sedih atau ingin menjatuhkan diri sendiri. Tapi hanya berusaha meyakinkan, jika kalian merasa bukan straight-A students atau tak punya cukup uang untuk mewujudkan mimpi studi di luar negeri, carilah kesempatan lain yang bisa mengantarkan mu setidaknya lebih dekat dengan mimpi tersebut. Saya sendiri baru mulai lanjut S2 setelah 5 tahun wara-wiri di Eropa jadi au pair. Nyatanya, ada banyak sekali mantan au pair yang menemukan jalan untuk lanjut kuliah di Eropa dengan biaya sendiri!
Upacara penyambutan mahasiswa baru angkatan 2019 di pelataran Universitas Oslo |
Untungnya karena sudah duluan tinggal di Norwegia, saya sudah familiar dengan beberapa hal yang mungkin masih wow bagi mahasiswa baru. Contohnya, mengapa di Oslo itu ada banyak sekali mobil Tesla, mengapa orang-orang Norwegia suka sekali berpetualang ke alam, atau mengapa biaya hidup di Norwegia itu sangat mahal dibanding negara A, B, C. Hidup pas-pasan juga sebetulnya sudah saya alami sejak jadi au pair, meskipun setelah ganti status jadi mahasiswa kehidupan saya malah semakin kere.
Namun demi mendapatkan pengalaman kuliah yang mengesankan, di awal semester satu saya sudah mulai merencanakan apa yang ingin dicapai selama studi di Norwegia. Meskipun tujuan utama adalah belajar, tapi saya tak ingin rutinitas sehari-hari hanya diisi dengan membaca buku dan belajar secara teori. Saya ingin menemukan banyak teman baru, bersosialisasi, mencari pengalaman profesional yang real, serta menemukan banyak kesempatan lain yang bisa membuat diri berkembang selama jadi mahasiswa di sini.
Kalender rencana studi seperti yang direkomendasikan Accountancy Careers di bawah (lihat gambar) akhirnya saya coba aplikasikan agar lebih well-planned, and I wished I knew it before started my Bachelor's! Sebetulnya kalender ini sangat direkomendasikan bagi kalian yang sedang menempuh S1 dan ingin memetakan karir apa yang akan dikejar setelah lulus. Penultimate year atau tahun ke-2 terakhir sebelum kelulusan, harusnya merupakan momen paling penting untuk mengasah kemampuan, mencari pengalaman kerja profesional, serta membangun koneksi dengan para pemberi kerja, agar nantinya setelah lulus kita lebih percaya diri dalam mencari kerja. Ada banyak sekali para lulusan perguruan tinggi yang tak dibekali rencana studi dan pengalaman hingga akhirnya bingung sendiri setelah lulus ingin kerja apa dan dimana. Yang tertarik merencanakan kalender studi sampai 3 tahun, boleh cek kalender studi lain dari Inside Careers di sini!
Sumber: Accountancy Careers |
Karena kuliah Master hanya 2 tahun, saya menggunakan semua waktu ini untuk mencari tahu kira-kira posisi apa yang ingin saya lamar setelah lulus nanti. Contohnya, dari semester satu tahun lalu saya sudah gencar mencari banyak informasi magang di bidang business development dan management untuk musim panas 2020 lewat bursa kerja atau internet. Kesempatan magang ini bisa jadi starting point untuk tahu apakah industri tersebut memang cocok untuk saya atau tidak. Bagi yang penasaran proses wawancara magang yang pernah saya lalui, silakan buka di postingan ini!
Setelah melamar kesana kemari, saya akhirnya mendapatkan posisi magang di organisasi mahasiswa slash perusahaan startup yang juga berhubungan dengan jurusan kuliah. Posisinya memang tak dibayar, tapi setidaknya cukup untuk work shadowing dan mengenal lebih jauh budaya kerja di Norwegia. Yang saya pelajari saat rekrutmen, mereka sangat mengedepankan orang-orang yang bermotivasi dan cocok dengan budaya kerja di tempat tersebut. Setiap perusahaan pastinya punya budaya kerja masing-masing, namun secara general, budaya kerja di Norwegia terkenal santai tanpa hierarki. Bos tidak cuma duduk di kantor dan asal tunjuk, karena bos juga bekerja sama dengan bawahan dalam membangun perusahaan.
Magang di salah satu kantor startup yang cuma selemparan batu dari kampus |
Di kesempatan lainnya, saya juga berkonsultasi dengan Pusat Karir di kampus untuk meminta masukan bagaimana caranya menulis CV yang baik in a Norwegian way. Meskipun belum tentu akan langsung diterima hanya gara-gara menulis CV dengan gaya orang Norwegia, tapi setidaknya saya ingin belajar bagaimana memetakan kompetensi diri agar lebih tailored dengan job descriptions. Para staf di Pusat Karir ini juga sangat berpengalaman dan super helpful, karena mereka ikut memberikan saran apa yang perlu dilakukan jika berminat bekerja di perusahaan idaman. Misalnya, saya disuruh menghubungi perusahaan tersebut dari sekarang untuk menyatakan minat bekerja di sana dan menanyakan kira-kira kompetensi seperti apa yang perusahaan tersebut inginkan dari seorang pegawai. In the end, staf di Pusat Karir juga menekankan jika memang berminat bekerja di perusahaan asli Norwegia, mengasah kemampuan bahasa adalah hal utama yang harus saya upayakan semaksimal mungkin. Jika kampus kalian juga punya Pusat Karir yang menyediakan konseling gratis seperti ini, saya sangat sarankan setidaknya mengobrol lebih banyak untuk sekedar latihan wawancara atau evaluasi CV.
Karena harus kerja paruh waktu juga di sela-sela kuliah dan magang, beberapa rekomendasi dari kalender di atas juga tak semuanya saya lakukan. Kegiatan sukarelawan dan ekstrakurikuler yang punya potensi besar memperluas networking akhirnya di-dropped karena waktunya tak pas. I have SO many things to do within 2 years! Tak heran ending-nya saya tak terlalu berambisi mendapatkan nilai sempurna dan lebih cenderung learning by doing. I got E (minimum grade to pass) for my additional course last semester. Menyesal sebetulnya. Bukan menyesal tak belajar, tapi menyesal karena telat sadar bahwa kelas yang saya ambil ini sama sekali jauh dari kompetensi. Ingin mengambil kelas baru, jadwalnya tak ada yang cocok. Then I just let it be.
Tapi saya mungkin sebaliknya, lebih menghargai proses ketimbang nilai akhir. Saya ingin betul-betul menikmati setiap kesempatan yang didapatkan selama menempuh studi di negara orang ini, ketimbang mati-matian mendapatkan nilai A. Hey, now I am living my dream! Perhaps I only get one chance, so I am just going to make the most of it; kuliah, kerja sampingan, magang, perluas jaringan, sosialiasi, kurang tidur, tugas menumpuk, sampai akhirnya tersadar bahwa hard work pays off! Masalah nilai, selama saya menikmati prosesnya dan memahami isi materi kuliah, jika saat evaluasi dapat C pun tak masalah (anyway, C di Norwegia ini setara dengan B di Indonesia).
Kalau ingat masa sekolah atau kuliah dulu, kalian kira-kira tipe pelajar yang results-oriented atau process-oriented?
Bener banget sih ini. Masalahnya anak muda kadang ga tau apa kemauannya jadi ga punya rencana haha. Apalagi result-oriented, hasil yg dipentingin cuma nilai, yasudah ikut air mengalir aja kerja apa aja yg ada di depan mata :p Ga jelek2 amat tapi aku kapok. Nice post, kak Nin!
BalasHapusMenurut ku, bukan sepenuhnya salah kita2 juga. Banyak tempat kuliah dan sekolah di Indonesia itu cuma mengajarkan secara teori, tanpa mau ngasih hands-on experience. Harusnya kampus2 itu kerja sama dengan perusahaan lokal biar mahasiswanya bisa magang dan punya working experience setelahnya. Ada bagusnya lagi, syarat kelulusan itu setidaknya sudah pernah bekerja di part-time di perusahaan besar. Kan lumayan, CV berbobot dikit.
HapusYang ada sebaliknya, kampus diperbanyak tapi gak ada mutunya. Jadi kayak cuma memperbanyak sarjana doang tanpa bener2 membekali mereka pengalaman kerja nyata. Harusnya juga dibikin kursus bikin CV dan surat lamaran kerja yang bener sejak kelas 2 SMA/SMK, jadi gak sembarangan bikin CV meskipun udah banyak banget di internet. Hehe..
Thank you udah mampir, Ruth! :)
*kelas 3 SMA, Maksudnya :D
HapusHalo kak nin as always postinganmu so insightful. Aku setuju banget alhamdulilkah dulu pas s1 aku dapat 2 kali pengalaman magang. I am curious about tesis s2 disana gimana kak? Kalo boleh share juga pengalaman menghadali UTS atau UAS.
BalasHapusYeay!!! Emang bagusnya S1 tuh dipenuhi sama pengalaman kerja ya. Apalagi bagi yg merasa gak pinter2 amat secara akademik. Soalnya IPK rendah, di Indonesia makin bingung mau kerja apa 😅 *aku bingit ini*
HapusAku belom tesis. Sekarang masih jalan semester tiga. Tahun depan baru mulai tesis. Pasti akan cerita kok gimana prosesnya :)
Untuk ujian, aku udah pernah bahas di blog ini. Kalo gak salah judulnya “Waktunya Ujian”. Coba deh dicari di kolom search.
Cuma mau bilang subnallah sih, buat kerja keras yang kamu lakuin saat ini.. kuliah, magang plus kerja paruh waktu ya Allah nin 😦 ntuh badan sama otak pasti capek .. moga kamu kuat di sana ..
BalasHapusAku yakin yang hidupnya lebih berat dari aku pasti banyak banget. Tapi so far sih, emang iya, kek mo melayang badan aku. Hahaha.. Yang penting sehat2 aja deh. Kalo capek mah, kerja apa aja capek. Makasih ya udah care :)
HapusSami sami cantik 😆😆
BalasHapusHalo Nin! Salam kenal.
BalasHapusMau tanya, aku kmrn sempet browsing kuliah di Norway dan ada keharusan utk menyertakan grade conversion ke ECTS. Itu tabel konversinya boleh diambil dari Kemdikbud atau harus dari univ asal S1 ya? Trims
Stanja
Halo Stania,
HapusKalo grade pastinya berhubungan dengan tempat kuliah kita sih ya. Soalnya tiap kampus tuh punya sistem grading yang berbeda. Apalagi gak semua kampus ngerti gimana convert ke ECTS. Boleh tau kamu mau kuliah dimana dan jurusan apa? Mungkin aku bisa coba liat dulu si kampusnya ini maunya gimana.
Tapi kalo emang mintanya begitu, kamu mintanya ke kampus S1 kemaren :)
Hueee bener juga sih..
BalasHapusAku masi bingung gimana mau nentuin prioritas. Ipk ku gak bagus bagus amat, jadi ga pantes daftar scholarship juga, tapi masi ngimpi pengen bisa kerja jadi peneliti di eropa somewhere. Lol. Mungkin kudu merenung dulu buat sinkronin realita dan harapan, biar kesampean.
Makasih banyaaak!
Kuliah di luar negeri tidak hanya milik orang pintar yang IPK-nya di atas 3,00 semata! ;)
HapusLuar negeri juga gak hanya Harvard atau Stanford doang. Ada banyak banget kampus yang gak memandang IPK kamu berapa, asalkan jurusan dan pengalaman kerja sebelumnya sinkron.
Ayookk, jangan patah semangat ya! :)
Baru baca blog kka malam ini. Aku bener bener pingin kuliah keluar negri, salah satunya di Norwegia. Tapi di semester 5 ini aku benar bener mahasiswa yg nggak punya prestasi kayak olimpiade, summer program, pertukaran pelajar dan lain lain. Aku sekarang lagi usaha banget untuk ikut organisasi dan banyakin belajar bahasa Inggris. Doain ya ka. Semoga dipermudah sama tuhan
BalasHapusAaammmiinn..
HapusSebetulnya kalo kamu emang kurang di kegiatan non-akademis, mungkin bisa tonjolin di bidang akademisnya juga gak masalah kok. Bisa aja justru bahan skripsi kamu nyambung ke jurusan S2 yang bakalan kamu tuju. Yang paling penting, emang syarat bahasa Inggris sih! Mesti dipoles biar lulus administrasi bahasa Inggris, setidaknya ;D
Good luck ya!