Ketika memutuskan jadi au pair dan tahu beratnya mengarungi hidup di negara orang, di detik itu juga saya bersumpah tak akan pernah membiarkan keluarga saya mengikuti jejak ini. Bukan karena au pair program yang buruk, tapi karena saya tak ingin mereka juga merasakan apa yang pernah saya alami. Tinggal bersama orang asing, mengganti popok bayi, mengurus dokumen imigrasi, serta adaptasi cepat dengan cuaca itu tidak mudah bagi semua orang.
Betul memang, jadi au pair bisa membentuk mental juang mu lebih kuat. Tinggal di negara baru sungguh menantang dan bisa berkesan jika kita memanfaatkannya dengan baik. Tapi untuk menawarkan kesempatan ini apalagi mewariskan host family kepada keluarga di Indonesia, saya enggan. Tanpa banyak orang tahu, cerita au pair saya kenyataannya lebih dramatis dari yang pernah saya ceritakan ke siapa pun.
Saya cukup kagum dengan para au pair Filipina yang punya misi membawa semua anggota keluarga mereka keluar dari negara tersebut. Selain karena persaingan kerja di negara mereka cukup tinggi ditambah lagi mengirim anak ke luar negeri adalah cita-cita hampir semua orang tua, orang Filipina sebetulnya bangsa yang sangat solid sesampainya mereka di negara orang. Mereka tak segan berbagi informasi apapun yang nantinya bisa menguntungkan keluarga, kerabat, atau teman.
Baca juga: Gadis Filipina vs Gadis Indonesia di Eropa
Tak hanya satu dua orang kenalan au pair yang sampai mewariskan host family ke adik, kakak, atau sepupu mereka di Filipina. Nanti dulu orang lain asal keluarga terdekat bisa diterbangkan dahulu. Belum lagi ketika mereka sampai di negara tujuan dan berhasil mendapatkan tambahan uang jajan dari black job menjadi cleaning lady atau babysitter musiman, kalau sudah bosan, mereka juga akan mewariskan pekerjaan tersebut dari mulut ke mulut ke sesama au pair Filipina. Makanya tak heran, beberapa mantan au pair Filipina yang saya kenal di sini lalu ganti ke izin tinggal pelajar rasanya tak pernah menganggur karena sering dapat info pekerjaan dari rekan lainnya. Prinsip mereka, anak rantau pantang pulang dan sebisa mungkin juga mereka mendukung satu sama lain agar bisa tinggal lama di negara orang. Sedikit bertentangan dengan orang Indonesia yang lebih berhati-hati berbagi informasi ke sesamanya di luar negeri.
Berbeda dengan para au pair Filipina yang bermisi menarik semua keluarga ke negara baru, saya malah tak tertarik mengobral cerita tentang kehidupan di luar negeri ke kerabat atau keluarga terdekat. Bukan karena malu, tapi karena merasa cerita yang pernah saya lalui ini tak relevan dengan motivasi hidup mereka. Simpelnya, untuk apa jauh-jauh ke luar negeri kalau hanya untuk menjadi 'babu'. Lingkungan saya di Indonesia juga dikelilingi oleh orang-orang yang hampir semuanya well-educated dan tahu apa yang mereka mau. Kebanyakan tahu luar negeri ya untuk belajar dan mendapatkan gelar. Ibaratnya, kalau memang ingin tinggal di luar negeri, kejarlah cita-cita tersebut dengan jalan lain dulu; semisal lanjut kuliah dan jadi mahasiswa atau akselarasi karir. Jika memang tak ada pilihan lain karena masalah dana, kapasitas otak, serta kesempatan, sebisa mungkin taruh au pair menjadi cita-cita mu di daftar paling akhir atau bahkan lupakan. Saya cukup pro dengan pandangan tersebut dan setidaknya itu yang saya tekankan ke adik ketika dia memutuskan untuk stop out (SO) dari kuliah Hukumnya dan berniat ingin kuliah di luar negeri.
Jujur, saya tidak munafik. Saya bisa menjadi diri saya yang sekarang juga karena batu lompatannya jadi au pair. Namun tidak semua au pair ending kisahnya akan seperti saya. Siap setiap hari hidup bagai roller coaster, harus berpikir cepat dalam menyelesaikan masalah, tak cengeng, taktis, dan mampu kembali bangkit saat terpuruk? Kalau tak punya mental pejuang, yang ada baru sebulan langsung pulang. Mungkin saya bisa hidup berliku macam ini, tapi tidak untuk saudara saya yang lain.
Sebagai seorang kakak, tentunya saya bangga dengan keputusan yang diambil adik saya kala itu. Bahkan kalau ingin dirunut, saya juga yang punya andil 'meracuninya' untuk keluar dari kampus. Saya kenal potensi adik saya dengan baik dan belajar Hukum seperti buang-buang waktu. Saya orang pertama yang mendukungnya untuk SO dan mendorong untuk kursus IELTS dulu sebelum siap mencari beasiswa ke luar negeri. Tujuan kami saat itu hanya akan fokus mencari beasiswa untuk kuliah S1 berbahasa Inggris. Kami bukan keluarga kaya, tapi untuk biaya kursus IELTS dan tes setidaknya masih bisa diupayakan — meski di akhir masih maju mundur juga karena biayanya fantastis sekali.
Singkatnya, adik saya tak jadi kursus IELTS, tak jadi daftar kuliah berbahasa Inggris, namun berhasil mendapatkan beasiswa penuh kuliah selama 5 tahun di Cina — satu tahun belajar bahasa dan empat tahun kuliah. It's been 5 years already dan anaknya terpaksa kembali ke Indonesia tahun lalu karena pandemi. Cukup lama di negara tersebut, tentunya sangat normal jika masih ada kerinduan mendalam di dirinya untuk bisa kembali dan membangun karir di sana. Sedikit cerita, adik saya ini termasuk orang yang hoki. Dengan modal bahasa Mandarin dan Inggrisnya yang casciscus, mencari pekerjaan di Cina bukan perkara sulit. Pekerjaan pertama dia di Cina sebagai tutor bahasa Inggris pun didapat dari ibu-ibu yang menyapanya random di dalam bus.
Seringkali ketika saya telpon, dia menyampaikan kegelisahannya karena masih rindu ingin kembali ke negara tersebut. Rindu ini begitu mendalam karena kondisi global yang memaksanya untuk pulang dan belum juga bisa kembali dalam waktu dekat. Baju, koper, sepatu, serta perlengkapan lain kenyataannya masih berada di asrama mahasiswa. Beberapa kali juga dia mengutarakan ingin bisa kembali lagi ke Eropa mengunjungi saya dan sempat terbesit pikiran untuk jadi au pair di Norwegia. Saya sangat memahami kegelisahannya, tapi saya tetap tak ingin dia mencari jalan singkat jadi au pair meski rasa rindu untuk tinggal di negara orang sering membuncah. Potensi yang dia miliki nyatanya lebih besar dari sekedar mengurus dapur orang.
Lambat laun, yang bisa kita lakukan kadang hanya berusaha pasrah dan moving on. Meski belum bisa kembali ke Cina, namun saya bahagia karena sekarang dia sudah bekerja di tempat yang baik. Yang membanggakan lagi, pekerjaan ini didapat saat dia masih sibuk menulis skripsi di tengah pandemi. Bahasa Mandarinnya pun menjadi tak sia-sia karena nyatanya banyak perusahaan di Indonesia yang membutuhkan pekerja fasih Mandarin, salah satunya perusahaan multinasional tempat dia bekerja sekarang.
"Kalau kerja di Indonesia bisa hampir menyentuh 2 dijit begini, rasanya tidak harus bekerja di luar negeri juga, sih," katanya beberapa waktu lalu.
Yes, kadang kebahagiaan tak perlu dicari jauh. Sekali lagi, saya bahagia karena dia bisa tinggal di Indonesia, mengaplikasikan ilmunya dengan tepat, dan bekerja di tempat yang layak. Walaupun, saya tetap akan mendukungnya jika suatu hari nanti dia ingin cari kesempatan lebih luas untuk kembali dan bekerja di negara orang.
Sama seperti kalian yang sedang membaca tulisan ini dan berencana/atau sedang menjadi au pair. Saya berharap, kalian tak bercita-cita menjadi saya yang harus hidup menghabiskan masa 20-an membantu pekerjaan rumah tangga orang. Tentu saja, saya tak melarang kalian jadi au pair. It is a wonderful experience in your 20s and just go for it! Belajar yang banyak dari budaya orang lain, buka pikiran saat tinggal bersama orang asing, coba makanan baru dan belajar untuk tak tiap hari makan Nasi Padang, lalu berkencanlah dengan cowok lokal kalau perlu. Tapi hati-hati, au pair bisa membuat kalian ketagihan!
Pengalaman hidup yang unik ya mbak Nin menjadi Au Pair 😀. Pengalaman saya dengan teman Filipina, bahasa Inggrisnya jago-jago.😁 Mungkin karena pada hakekatnya beberapa bangsa sdh biada merantau dan membangun jaringan menggurita.
BalasHapus"orang Indonesia yang lebih berhati-hati berbagi informasi ke sesamanya di luar negeri." Menarik ya, menurut mbak sendiri apa penyebab kehati-hatian ini? Karena rasa persaingan tingginkah? 🤔
Orang Filipina memang lebih banyak yang bisa bahasa Inggris ketimbang orang Indonesia. Tapi, menurut ku lebih bagus pelafalan orang Indonesia, lho, kalo ngomong Inggris :D
HapusGak. Orang Indonesia gak pernah bersaing dengan sesamanya ketika di luar negeri, palagi masalah gawean. Cuma memang, orang Indonesia lebih nurut dan tau resiko ketimbang orang Filipina. Jadi semisal aku nawarin blackjob pun ke au pair Indo di sini, mereka hampir semuanya gak bakalan mau karena takut. Kan sebetulnya blackjob emang ilegal dan kalo ketangkep, ya siap2 dideportasi. Sementara orang Filipina prinsipnya, 'selama gak ketahuan ya gak masalah', gitu.
Di satu sisi, orang Indonesia itu sangat individualis kalo udah di negara orang. Maksudnya bukan perkara gak doyan ngumpul2, tapi lebih ke pada, 'kalo situ mau maju, ya cari info sendiri2! Jangan maunya disuapin mulu!'. Sementara orang Filipina itu malah seneng nyuapi ke sesama rekannya, nyariin kerjaan sana sini, bagi informasi kanan kiri, biar sama2 seneng aja gitu. Ini terbukti juga dari salah satu mbak2 yang bangun perusahaan di sini, tapi dia prefer orang luar aja yang gawe sama dia - gak terlalu berbagi informasi ke sesama orang Indonesia :)
Setidaknya itu yang aku amati dan alami selama di sini.