Awal bulan ini saya lagi-lagi mengunjungi Bergen, kota terbesar di Norwegia Barat, untuk kesekian kalinya. Banyak yang heran mengapa kota ini lagi. Apa yang spesial? Apalagi mengingat baru bulan lalu saya mengunjungi Bergen untuk weekend gateaway.
Dibandingkan Oslo, Bergen menurut saya jauh lebih indah dan menarik - meskipun sama-sama touristy. Namun kedatangan saya kali ini bukan dalam rangka menjelajah Bergen, tapi mengunjungi teman lama yang sudah saya kenal dari 5 tahun lalu di Denmark. Teman saya yang campuran Denmark-Prancis ini sedang menempuh S3-nya di Universitas Bergen (UiB). Lucunya, kami reunian tak cuma berdua. Satu teman lain yang juga dulunya sama-sama di Denmark dan sekarang tinggal di Oslo pun ikut berangkat bersama saya. Sedikit humoris mengingat bagaimana dulu kami berkenalan di Denmark, sampai akhirnya nasib mempertemukan kembali di Norwegia.
Saya sendiri sudah tinggal hampir 4 tahun di sini, lebih lama dari mereka yang sama-sama baru tiba di Norwegia tahun lalu. Yang satu berasal dari Latvia ikut pacarnya yang campuran Norwegia-Latvia, sementara yang satu lagi memang mendapatkan tawaran Ph.D. di sini. Jadi bisa dibayangkan, kami punya latar belakang yang sangat berbeda baik dari segi kultur dan pekerjaan. Sama-sama anak rantau, kami tahu bagaimana menantangnya hidup di negara orang. Meskipun, area main mereka memang baru sekitar Eropa saja. Namun yang menarik, mendengar keluhan mereka soal Norwegia.
Baca juga: Mari Menjelekkan Norwegia!
Berbeda dengan saya yang lebih dulu belajar tentang negara ini dari host family, pengalaman teman-teman saya ini cenderung masih terbatas. Belum genap 2 tahun di sini dan sulitnya bersosialisasi ketika masa pandemi, membuat mereka sedikit 'buta' Norwegia. Layaknya orang-orang yang baru tiba di negara baru, perspektif mereka tentang negara ini juga tak lebih baik dari negara asal mereka sendiri. Ada banyak argumen yang dikeluarkan sungguh menggelitik. Dari mulai betapa sulitnya menemukan makanan organik di sini, betapa mahalnya harga sayuran lokal, kepercayaan orang Norwegia terhadap pemerintah yang terlalu tinggi, kecintaan orang Norwegia dengan pizza merk Grandiosa, hingga mengeluh tentang tren gaya hidup sustainable yang belum 100% ramah lingkungan.
Keluhan subjektif seperti ini terdengar sangat normal memang. Penilaian para imigran terhadap negara yang baru mereka tempati umumnya murni berdasarkan pendapat sendiri atau dengar pengalaman orang lain tanpa harus selalu melakukan riset mendalam. I've been there, sama seperti mereka yang awal-awal pindah masih membandingkan Norwegia dengan dua negara terakhir yang saya huni. Tapi terburu-buru selalu melihat keburukan satu negara, semakin memperlihatkan bahwa ada banyak hal yang belum kita eksplor.
Mau di benua apapun negaranya, hidup kita pasti selalu saja ada plus minusnya. Saya juga punya kesebalan tersendiri dengan 3 negara di Eropa yang pernah saya tinggali. Tapi di sisi lain, tiap negara itu unik dan selalu memberikan pengalaman baru. Contohnya, meskipun Norwegia dan Denmark sama-sama berada di Eropa Utara, namun kedua negara ini menawarkan atmosfir dan budaya berbeda. Kopenhagen mungkin lebih modern, lively, dan cocok untuk wisata kuliner, tapi bisa sangat membosankan kalau terus-terusan harus keluar uang untuk hang out tiap akhir pekan. Oslo mungkin terlihat biasa saja sebagai ibukota, namun kita bisa mencoba hal-hal baru semisal ski atau bermain papan luncur saat musim dingin. And no, we don't have to spend any pennies to lend the equipments. Also yes, I agree! Norwegia itu super mahal, tapi bukannya seluruh dunia juga sudah tahu?
Baca juga: Belajar Ski Gratisan
Setiap migrasi ke tempat baru, tiap orang mengalami 4 fase hidup yang dimulai dari fase bulan madu, lalu gegar budaya, mulai memahami, sampai akhirnya bisa menerima. Transisi dari satu fase ke fase lain ini waktunya tak sama bagi tiap orang. Ibu-ibu yang diboyong suaminya ke negara baru versus para pelajar yang baru tiba untuk studi jelas punya sudut pandang dan pengalaman berbeda. Bagi pelajar yang harus studi sendirian dan mandiri di negara orang, cukup sulit rasanya berusaha memahami keadaan sekitar jika tiap hari selalu kangen rumah. Sama halnya dengan ibu-ibu yang ikut suami baru pindahan, mungkin lebih cepat beradaptasi namun masih gegar budaya karena belum masuk ke nalarnya harga tempe di luar negeri bisa 20 kali lipat dari di Indonesia.
Sama halnya dengan saya dan dua teman saya di atas. Cara kami bertransisi pun bergantung bagaimana kami tiba dan apa yang kami lakukan di negara ini. Kehidupan saya yang bermula dari jadi au pair dan tinggal dengan keluarga pribumi menurut saya cukup menguntungkan karena mereka mengajarkan saya banyak hal. Lewat mereka, saya merasakan banyak pengalaman seru layaknya masyarakat lokal. Perlahan juga saya belajar bahwa kehidupan di Norwegia berjalan lebih lambat dan intim ketimbang di Denmark. Saat anak-anak muda di Denmark dimanjakan dengan akses pesta ke bar-bar seru di tengah kota, di sini anak-anak muda cenderung menggelar private party dari sirkel terdekat. Untuk masuk ke dalam sirkel dan ikut bersenang-senang inilah yang sangat sulit diikuti oleh para imigran seperti kami. Hal ini juga yang kedua teman saya rindukan dari Denmark yang begitu open dan mudah mencari kenalan internasional.
Teman Latvia saya sudah tinggal hampir 8 tahun di Denmark yang tentu saja membuatnya punya chemistry lebih kuat dengan negara tersebut. Dua hal yang membuat dia senang tinggal di Norwegia hanyalah perkara gaji yang tinggi dan kesempatan untuk studi gratis sekalian pinjam uang pemerintah. Sisanya, it's all just an expensive country. Punya pacar (yang sekarang mantan) campuran Norwegia pun tak membuatnya mengenal negara ini secara utuh. Setelah putus, she's no more than just a lonely lady.
Tak berbeda dengan teman Ph.D. saya yang sepanjang hidupnya sudah cukup dimanjakan oleh hingar-bingar Paris dan ke-hipster-an Kopenhagen. Pindah ke Norwegia dan meneruskan S3-nya di Universitas Bergen (UiB) sebetulnya bukan tujuan murni. Dia memutuskan pindah hanya karena tak berhasil mendapatkan tempat di Universitas Kopenhagen (KU), sampai harus rela LDR-an dengan sang pacar yang sekarang juga Ph.D. di KU. Meski bukan tempat terbaik untuk melanjutkan hidup selama 4 tahun ke depan, tapi best side-nya, gaji yang dia terima di UiB lebih besar dari gaji sang pacar.
Di Paris dan Kopenhagen, cari restoran enak (plus sesuai kantong) itu sangat mudah. Setelah pindah, dia tak berhenti mengeluh bahwa restoran yang sempat didatangi di Bergen sungguh jauh dari ekspektasi. "It's so disgusting saat tahu orang Norwegia pun tak bisa masak pasta yang benar!" keluhnya sampai memutuskan tak akan pernah lagi dining out.
Saya paham. Dibandingkan Denmark yang bisa dibilang surganya kuliner Skandinavia, cari restoran enak dan affordable di Norwegia memang super tricky. Di Oslo, jumlah restoran jauh lebih banyak dan jenis makanannya lebih bervariasi. Namun kamu hampir tak akan pernah menemukan restoran otentik karena kebanyakan tempat ini menawarkan menu fusion. Restoran sushi, biasanya masih ada embel-embel Nordik atau rasa Thailandnya. Jangan tanya juga soal harga, karena makan di luar tak ada yang murah. Mau yang terjangkau, ujung-ujungnya paling lari ke kebab atau restoran Vietnam. Paling benar memang sering-sering masak sendiri di rumah atau coba datangi restoran sesekali saat mereka mengeluarkan seasonal menu.
Selain perkara restoran, kemudahan mengayuh sepeda di Denmark juga membuat teman Ph.D. ini malas kalau harus keluar uang untuk tiket bus sekitar Bergen. Demi berhemat, dia rela jalan kaki dari apartemen ke tempat kerja meski hujan badai sekali pun. Salahnya, dia belum bisa memahami bahwa cuaca Bergen lebih harsh ketimbang Kopenhagen. Dia juga belum seutuhnya sadar bahwa jalanan di Bergen itu tak sedatar Kopenhagen dan bisa sangat licin saat musim dingin. Inilah pentingnya belajar memahami daerah yang baru kita tempati dan mencoba hidup like locals do.
Bayangkan dua negara fesyen seperti Prancis dan Denmark bercampur, seperti itu jugalah modisnya teman saya satu ini. You'd find her unique and stylish layaknya cewek-cewek Paris-Skandinavia, tapi sayangnya dia belum sadar bahwa di Norwegia yang utama itu kenyamanan bukan gaya. Her shoes and coats are fabolous, tapi tak cocok untuk lingkungan Bergen yang kadang memaksa kita untuk bergaya layaknya anak pecinta alam setiap hari.
Baca juga: 7 Pelajar Fesyen dari Gadis-gadis Eropa
But hey, they're not alone! Ada banyak rekan au pair (termasuk saya) yang sudah beberapa kali pindah-pindah negara afdolnya juga masih sering membandingkan negara ini itu. Seperti yang saya katakan sebetulnya, hal ini super normal dan bisa saja dijadikan bahan rujukan. Hanya saja, saya malas kalau apa-apa selalu (selalu ya!) bawa-bawa mata uang. "Di Belanda hanya €8, di sini €15 masa?!" atau membandingkan kejauhan sampai Indonesia, "Di Norwegia belanja ke pasar bisa 2 juta, sementara di Indonesia cuma 20 ribu kenyang". Ini saya bingung sebetulnya, mau pamer ke khalayak ramai bisa belanja berjuta-juta, atau real mengeluh karena hidup irit? Kalau kata Pakde saya dulu, selagi duit yang kamu hasilkan di negara orang pakai mata uang lokal, kenapa harus membandingkan sampai Indonesia? Menghemat boleh. Tapi bisa tak makan kalau apa-apa harus dikonversi ke Rupiah. Jadi rujukan boleh, tapi harus diingat bahwa biaya hidup dan UMR di tiap negara nyatanya tak sama.
Sebelum berlarut-larut dalam kesepian dan selalu mencari keburukan di negara yang sedang kita tempati, coba diingat kembali apa yang membuat kita datang ke tempat tersebut? Pekerjaan, studi, hubungan? Apa yang sebetulnya membuat kita terus-terusan mengeluh? Karena tak punya sahabat kah? Tak punya pacar kah? Rindu rumah dan keluarga kah? Benci sistem negara tersebut kah?
Tapi percayalah, no one forces you to stay! Banyak negara malah sangat bersyukur jika tak banyak imigran memenuhi populasi negara tersebut. Jika tinggal di sana membuat kita tak nyaman dan lebih sering sedih, then leave! Pernah terbaca oleh saya ketika ada imigran yang mengeluh tentang satu negara di sebuah postingan, lalu tanpa babibu, beberapa orang lokal langsung berkomentar, "if you don't like our country, then leave! Why are you still here but keep complaining?!"
Sedikit flashback. Sewaktu di Denmark, saya sempat tertekan dan kesepian berat yang membuat saya seringkali bertanya dalam hati, "what am I doing here?". Mudahnya bersosialisasi dengan foreigners tak selalu membuat saya being wanted and loved. Keseringan, saya menyemangati diri sendiri dengan membaca blog atau mendengar pengalaman orang yang pernah tinggal di Denmark dan belajar bagaimana mereka mengarungi hidup di negara yang sebetulnya tak ramah imigran ini. Au pair di Denmark itu streotipenya selalu buruk. Imej negatif yang terbentuk oleh orang lokal membuat saya cukup malu menyandang status au pair. Semasa saya di sana, kasus buruk yang menimpa au pair selalu naik ke publik dan viral di grup Facebook. Belum lagi saat itu tak banyak au pair Indonesia di Denmark dan sirkel saya pun cenderung kecil. Beberapa kali terpikir untuk pulang, namun tak saya lakukan. Prinsip saya saat itu, I will finish what I have started.
Saran saya, jika masih ingin tinggal dan bertahan, upayakan untuk tak terus-terusan sibuk dengan diri sendiri. Mengapa saat itu saya masih kuat untuk terus tinggal di Denmark, karena saya berusaha mencoba hidup jauh di luar zona nyaman. Out for socializing, kencan sana-sini, travelling hampir tiap bulan, coba restoran kanan kiri, maraton museum, ikut kelas desain, sampai nonton bioskop sendiri jam 9 pagi pun pernah saya lakoni! Tujuannya, agar saya benar-benar menikmati Denmark to the fullest dan tak selalu berpikir bahwa kehidupan au pair itu buruk.
Contoh lainnya, salah seorang teman saya pernah mengeluh bahwa makanan di Norwegia tak ada yang enak. Tapi sekalinya disuguhi Sup Ikan, she was wowing! Ada lagi rekan au pair yang misuh-misuh cowok Skandinavia itu dingin dan tak romantis. Tapi sekalinya dapat cowok lokal, bucin berat sampai tak ingin berjodoh dengan cowok di luar Skandinavia. Atau, seorang kenalan lain yang dulunya sangat ‘membenci’ Denmark dan tak melihat masa depannya ada di sana, malah jatuh cinta. Ketika dapat pacar lokal dan makin kenal budayanya, dia mengubah perspektifnya dan menganggap Denmark adalah rumah kedua yang juga the perfect place to live in.
Tak kenal, maka tak sayang. Mungkin selama ini kita sering mengeluh dan melihat banyak sisi buruk dari tempat baru bukan karena negaranya yang salah, tapi karena kitanya sendiri yang hidup di dalam tempurung dan kurang mengenal lingkungan tinggal. Kenalan itu tidak cuma perkara bahasa dan makanan tradisionalnya, tapi juga sedikit melihat sejarah dan mencoba mengikuti what locals do. Teman Ph.D. saya harus tahu bahwa makan kentang rebus di Norwegia itu adalah hal biasa karena memang dulunya Norwegia ini negara miskin. Kentang rebus itu salah satu bahan pokok saat mereka susah, namun sudah terlanjur jadi pelengkap makanan hingga mereka kaya seperti sekarang pun. Teman Latvia saya juga harus memahami bahwa meski negara ini terlalu mahal untuk dijadikan tempat liburan, tapi sungguh worth-it jika memilih tempat yang tepat 😀
There are always pros and cons to everything, so it’s just a matter of matching preference to what all have to offer. Semoga saja setelah belajar berintegrasi, lambat laun kita lebih mudah bertransisi dari yang tadinya baru memahami, lalu akhirnya bisa menerima bahwa negara yang sedang kita huni sejatinya selalu punya hal baik untuk dijelajah. Karena sejujurnya, meski sudah lumayan lama tinggal di sini, saya pun merasa masih buta terhadap banyak hal.
Bagaimana dengan kalian sendiri, apa yang sering kali dikeluhkan saat travelling atau pindah ke tempat baru?
Memang ini berkaitan dengan 4 stage of culture shock yang kamu bilang itu. Jadi buat kita2 yang udah lebih lama tinggal di satu negara, kadang bisa ngeliat di stage mana pendatang2 itu berada.
BalasHapusAda teman orang Malaysia yang pindah kemari bbrp tahun lalu, isi IG nya misuh2 soal Denmark melulu. Kadang mulut (dan jari) ingin berkomentar, tapi yasudahlah saya dulu juga begitu, sering misuh2, jadi biarin saja, toh IG2nya sendiri, jadi di mute saja dulu.
Memang tak kenal maka tak sayang, it takes time to get to know one. Buat kami yang sudah berada di stage terakhir, yang menerima negara tempat kita tinggal ya jelas ada jelek2nya, ga bagus2nya doang, tapi kita udah menerima tinggal menetap disini, yasudahlah, toh juga banyak negara yang di luar yang ngga senyaman di tempat kita tinggalin sekarang kan?
PS: SI orang Malaysia ini sempat mudik ke negaranya kapan hari, dan mem-videokan pedagang street food yang sampai jam 10-11 malam masih berdagang, dengan quote "Work life balance di Denmark sungguh overrated".
REALLY? Gatal mulut pengen komentar, tapi yasudahlah. Aku yakin si pedagang street food itu juga ngga mau juga jualan sampe jam 10, tapi kondisi membikin mereka harus berdagang jam segitu, ya memang convenient buat para customer, tapi jelas beban buat mereka juga.
Ce!!
HapusKok ngeselin sih si orang Malaysia ini??!! T_T Apakah umurnya udah paruh baya? Karena biasanya (kebanyakan) yang susah nerima begini orang2 yg merasa senior, jadi lebih susah open-minded dan nerima perbedaan gitu.
Thank you udah sharing, Ce. Aku juga begitu, saat dua temen ku ini ngoceh2 ttg Norway, aku cuma diem aja karena awal2 aku juga gitu. Tapi kalo yang dibahas negatif mulu, kok malah kesel ya?! Kayak yang paling perfek aja gitu negara mereka, pun kayak yang paling kenal negara orang aja gitu. Padahal masih hidup dalam tempurung :/
Orangnya lebih muda dari aku, tapi ya mid-thirties gitu lah. Tapi ini memang tahapan culture shock sih menurutku dimana apa2 di negara baru dianggap jelek dibanding negara yang baru ditinggalkan. Yasud, aku diem2 saja :P
HapusTulisan ini perlu dibaca bila suatu hari kita sudah tinggal di luar tapi masih rajin komplain tentang negara asal sendiri. Hehe..
BalasHapusTapi ya susah juga kadang bukan hanya karena imigran, karena ada org yg memang karakternya komplainer.
Menarik sekali info tentang sejarah makan kentang itu dan cerita org norway yg lebih suka kumpul dgn sirkel terdekat. Saya suka nonton film2 Norwegia dan cerita mbak Nin bisa terlihat disana.😀
Setuju semua isi posnya satu hal yang saya pelajari dari pindah2 dan travel memang harus belajar mandiri bkn cuma scr fisik tapi emosional, kalau itu sudah terbiasa dilakukan, 4 fase yg disebut diatas tiba2 saja sudah dilalui secara sadar (walaupun itu dulu gak tau ada teorinya). Above all, saya mencoba selalu lihat dari sisi humor. Don't take anything too seriously. Kalau ada yg yg tdk bisa dikendalikan, let it flow. Mengeluh sesekali OK ya wajar. Sering? Ada yg nggak beres kyknya.😑
Selalu bersikap humble juga membantu...intinya "jangan mentang2" aja..
What a positive comment, Phebie!
HapusMakasih udah nyalurin positive vibes :)
Jangankan pindah negara ya, pindah kabupaten atau pindah provinsi Indonesia aja kita juga sering kena culture shock! :D