Penafian: ini bukan cerita tentang pengurusan visa.
Let me start! Kembali ke tahun 2017, ketika saya bimbang memutuskan akan kembali jadi au pair di Norwegia atau tidak, sesungguhnya terbesit keinginan yang cukup besar jika memang harus kembali. Jadi au pair lagi, untuk ketiga kalinya, total 5 tahun tinggal dengan keluarga asing, negara baru, kultur baru, it was a tough choice!
Kali ini harus banyak yang saya bisa raih di Norwegia. Tak sama seperti dua negara sebelumnya yang hanya mampir, jalan-jalan, serta menghamburkan uang. This time should be big! Ada beberapa nazar yang ingin saya penuhi, salah duanya, undang keluarga ke Eropa dan lanjut kuliah magister. Well, tak hanya mengundang, tapi sebisa mungkin juga membiayai seluruh perjalanan mereka jalan-jalan di Eropa. Tak murah memang, makanya saya jadikan nazar dulu sebagai gol jangka panjang.
Di tahun pertama au pair di Norwegia, saya langsung memenuhi janji tersebut dengan mengundang adik saya duluan ke Eropa. Dengan menyisihkan uang tabungan au pair yang tak seberapa, tiket dari Cina ke Eropa pulang pergi untungnya tak terlalu mahal. Saat itu adik saya masih jadi pelajar di Cina dan dengan mengandalkan tabungan mahasiswanya, 2 minggu liburan di Eropa adalah waktu terlama yang bisa dia miliki.
Barulah di pertengahan 2021 ketika keuangan perlahan membaik, saya terpikir untuk giliran membawa ibu ke Eropa. Meski uang tabungan saat itu belum banyak dan pekerjaan juga belum stabil selepas lulus kuliah, namun keinginan ini begitu membuncah mengingat umur orang siapa yang tahu. Ibu divonis menderita diabetes yang mewajibkannya harus kontrol makanan dan kesehatan setiap saat. Di awal 2022 pun, beliau sempat pingsan mendadak dan tak sadarkan diri karena gula darahnya naik. Saat itu keluarga di Palembang sudah khawatir akan terjadi sesuatu yang lebih buruk dan segera menghubungi kami di perantauan untuk pulang. Saya hanya bisa berpikiran positif dan berusaha ikhlas jika hal terburuk memang harus terjadi. Meskipun situasi kala itu cukup mellow dan gloomy, tapi puji syukur kesehatan ibu perlahan pulih dan berat badannya naik lagi seperti semula.
Sudah, sekarang memang waktu yang tepat sebelum semuanya terlambat! Meski sedikit memaksa dengan uang tabungan ala kadarnya, saya memutuskan membelikan tiket PP Jakarta-Oslo untuk keberangkatan di musim gugur 2022. Awalnya yang ingin diberangkatkan memang ibu seorang. Tapi karena keterbatasan bahasa dan ibu juga belum pernah ke Eropa, maka harus ada orang berpengalaman yang berangkat bersama beliau. Setelah diskusi dan tanya ketersediaan waktu beberapa orang, yang paling masuk akal memang mengajak adik sendiri. Hanya saja, semua rencana jadinya dibongkar sesuai ekspektasi dia.
Keberangkatan mundur sampai akhir tahun, demi momen Natal di Eropa sekalian merayakan ulang tahun adik saya di akhir Januari. Selama beberapa tahun ke belakang, kerjaan saya saat Natal memang hanya menguntit keluarga pacar. Lama-kelamaan, bosan juga ikut keluarga orang—as if I don't have my own family. Karena ingin mendapatkan semua momen di satu waktu, dua tiga minggu sangat tak memungkinkan. Maka dijadwalkan durasi tinggal mereka di Eropa menjadi 1,5 bulan meski ibu terpaksa harus ikut kemauan adik yang ingin berangkat di musim dingin.
Still, not a good timing
Berkunjung ke Eropa saat musim dingin sebetulnya bukanlah sebuah ide. Apalagi tujuan terfokus di Norwegia, negara di utara Eropa yang punya musim dingin lebih harsh dari Eropa Barat dan Selatan. Sebagai orang tropis yang lebih terbiasa dengan teriknya matahari, saya harus meyakinkan ibu bahwa salju dan cuaca dingin tak semenakutkan itu asal dipersiapkan dengan benar. Berbeda dengan adik saya yang memang sudah pernah tinggal di negara empat musim sebelumnya, salju masih jadi sesuatu yang menarik baginya.
Namun karena reaksi tubuh tiap orang terhadap suhu dingin tidak sama, maka ada beberapa hal yang harus saya lakukan di luar kebiasaan sehari-hari agar ibu tetap nyaman. Misal, menaikkan temperatur ruangan dan kamar mandi sampai maksimum. Lalu sebisa mungkin memastikan bahwa saat ke luar rumah, ibu berpakaian dengan benar dan tebal. Sebuah tantangan lain ketika salju di jalanan berubah menjadi es yang membuat saya harus ekstra hati-hati menjaga keluarga saat berjalan. Meski, keduanya masih tetap harus merasakan terpleset di jalanan es saat musim dingin!
Not cheap, nor expensive
Ketika cerita ke kolega bahwa keluarga saya akan datang dan kami sudah punya rencana jalan-jalan tiap akhir pekan, sontak respon mereka, "Nin, is your family rich or what?"
No, they are not. Fakta pertama, 90 persen perjalanan ibu dan adik saya selama di Eropa disponsori oleh finansial saya pribadi. Yet, I am not rich. Fakta kedua, sebetulnya selalu ada cara hemat untuk travelling di Eropa tanpa menguras kantong. Meskipun harus saya akui, membiayai perjalanan lebih dari satu orang memang tak murah. Namun karena tujuan mengundang mereka adalah demi bisa membawa ibu jalan-jalan, maka saya pilih opsi paling sederhana—namun tetap nyaman—yang bisa diupayakan.
Misalnya, saya sudah merencanakan semua jadwal perjalanan dari jauh hari agar bisa memesan tiket dengan harga murah. Hotel yang saya pilih juga terbilang modest dan range harganya masih masuk akal untuk 3 orang. Saat jalan-jalan pun kami tak memilih taksi, namun transportasi umum sebagai moda perjalanan sehari-hari. Saya sebenarnya tak tega juga mengajak ibu berjalan kaki jauh sampai harus gonta-ganti transportasi demi mencapai tujuan. Maklum, di Indonesia semuanya serba gampang dan banyak tur sudah terorganisir dengan baik oleh pihak travel agent. Namun untungnya beliau cukup mengerti bahwa hidup di negara orang memang tak murah dan tak bisa semanja di Indonesia.
I don't offer them money, but...
Saat beberapa orang merasa apa yang saya lakukan adalah buang-buang uang, saya hanya berpikir bahwa cara tiap anak untuk membahagiakan orang tuanya jelas berbeda. Ada yang menabung untuk memberangkatkan orang tuanya ibadah, ada yang fokus ingin membelikan atau merenovasi rumah, ada juga yang mungkin ingin memberikan modal usaha, atau ada juga yang seperti saya, menawarkan pengalaman berharga seperti mengajak orang tua travelling melihat dunia.
Sejujurnya, saya bangga dengan pencapaian ini. Mengandalkan uang tabungan pas-pasan, saya akhirnya bisa membawa dan menunjukkan ke ibu negara dimana saya tinggal sekarang dan 2 negara tempat saya tinggal dulu. Tak hanya itu, meski hanya beberapa negara bagian Eropa yang berhasil dikunjungi, namun setidaknya beliau sudah berpijak ke penjuru Eropa dari utara sampai selatan. Bukan cuma untuk saya seorang, namun pengalaman ini juga memberikan sebuah pelajaran yang luar biasa dalam sisa hidupnya untuk diingat.
Saat masih di Palembang misalnya, mungkin tak akan pernah terpikir bagi kami untuk naik kapal pesiar melintasi dua negara. Namun di Oslo, semuanya memungkinkan. Salah satu operator kapal pesiar mini kebetulan sedang mengadakan diskon awal tahun tujuan Oslo-Kopenhagen PP hingga kami bisa berlabuh sejenak di Denmark, negara tempat saya tinggal dulu. Harga tiket kapalnya sendiri memang murah meriah, namun pengalaman naik kapal pesiar bersama keluarga ini yang mahal untuk dikenang.
Shopping is a thing
Lagi, membawa keluarga jalan-jalan saat musim dingin sangatlah tricky. Kami tak bisa berlama-lama di luar karena kurang nyaman, pun akan lebih buruk jika ditambah angin dan hujan. Meski perlengkapan tempur sudah dipersiapkan untuk meminimalisir rasa dingin, namun sangat manusiawi jika ujung-ujungnya kami lari menghangatkan diri masuk ke dalam toko, kafe, atau shopping mall.
Baca juga: Berhutang Demi ke Luar Negeri
Bagi adik saya, Eropa adalah surga belanja baginya yang cukup sulit menemukan kualitas baju di Indonesia. Namun bagi ibu saya, belanja di Eropa is still a thing. Apa-apa masih dibuat kaget saat harus mengkonversi mata uang ke Rupiah. Belanja juga sedikit kikuk karena dimana-mana masih memajang koleksi musim dingin, sangat tak relevan jika harus dibawa ke Indonesia. Namun bagi saya yang tinggal di Norwegia, belanja di bagian Eropa lain justru lebih leluasa mengingat harganya lebih masuk akal.
Bagi yang penasaran barang apa yang kami beli, kami bukanlah mahkluk pemborong. Yang ada, makhluk pemburu diskon. Beruntung, Januari adalah musim diskon di Eropa. Belanjaan adik saya lebih fokus ke dress yang modelnya jarang di Indonesia, sementara ibu cenderung lebih tertarik ke perlengkapan dapur buatan Eropa. Yepp, she brought a cooking pan to Indonesia! Hampir bawa dua, sebelum akhirnya koper kepenuhan karena sudah berat duluan.
I am clearly proud of her
Meski membawa ibu jalan-jalan cukup menantang, namun sebetulnya beliau termasuk orang yang jarang mengeluh. Bahkan ketika sudah lelah namun tetap harus jalan kaki naik tangga mengejar subway, beliau tetap berusaha menikmati alur perjalanan. Kapan lagi, ujarnya. Beliau sadar bahwa saya juga punya keterbatasan untuk tak bisa memanjakannya selayaknya di negara sendiri; misal, kemana-mana naik taksi.
Soal makanan pun, untungnya beliau tak terlalu repot yang harus pakai nasi 3 kali sehari. Karena Pescatarian, paling mudah menyajikan menu selain daging-dagingan untuknya. She ate what we cooked for her. Saya pikir masakan Barat seperti kentang dan pasta tak cocok di lidah beliau. Namun saya salah. Beberapa menu andalan pacar, seperti Creamy Shrimp Pasta, bahkan jadi favoritnya untuk dimasak lebih dari sekali. Pagi-pagi ketika kami serumah masih tidur dan beliau sudah terbangun untuk sarapan, dua lembar roti dan alpukat sudah cukup menenangkan perutnya.
Tapi yang paling luar biasa adalah semangatnya untuk berjalan-jalan melihat dunia yang lebih luas. Misalnya ketika saya tawari ikut BÃ¥ltur, salah satu kegiatan klasik khas Norwegia yang cukup mudah untuk dicoba. Piknik di atas bebukitan penuh salju sambil menyalakan api unggun dan makan sosis rasanya sangat tak nyaman. Namun ketika dicoba, beliau merasa kegiatan ini sangat langka dan (lagi-lagi) merupakan sebuah pengalaman luar biasa untuk dirasakan. FYI, beliau sampai membuat video laporan di atas bukit jikalau suatu hari disuruh menceritakan ke khalayak ramai. Satu lagi, meski tahun kemarin kesehatan beliau kurang fit, untungnya kali ini tak ada masalah saat dibawa jalan-jalan ke Eropa. Pun meski usianya sudah dianggap renta di Indonesia, namun kami bersyukur kakinya masih kuat diajak berjalan jauh.
Next? The best yet is to come
Kalau disuruh kirim banyak uang, mungkin saya tak sanggup. Kalau disuruh renovasi rumah agar menjadi istana, mungkin nanti dulu. Tapi ke depannya, jika kesehatan dan finansial masih mendukung, masih ada keinginan saya mengajak keluarga melihat dunia ciptaan Tuhan yang lain. Ada banyak hal yang bisa ibu pelajari selama di sini. No country is perfect. Memaksakan pola pikir dan persepsi orang Indonesia di benua Eropa sungguh tak masuk akal. Sangat banyak perbedaan dan toleransi yang harus digenggam, hingga harus membuatnya lebih fleksibel dan membuka mata lebih lebar. The journey has no ending, let's start again! One day...
Hangatnya sampai kesini kak, meskipun lagi liburan di musim winter. Aku rasa liburan yang sederhana dan nyaman begini yang lebih mengena di hati dan akan dikenang terus. Ikut senang kalau ibunya kak nin juga antusias walaupun beda banget jadi yang biasa panas ke dingin dingin. Sehat selalu ibu, kak nin dan adeknya kak nin :)
BalasHapusTerima kasih banyak atas komen kamu yang positif banget :) Kayaknya kalo liburan ke negara 4 musim, apalagi bisa liat salju secara langsung, wajibnya mesti antusias ya. Hehe. Sayang banget kalo dibawa sedih. Di Indonesia gak ada salju abisnya :D
Hapuswahhh Kak Nin.. meskipun latar tulisannya di musim dingin tapi rasa hangatnya menjalar ke pembaca..
BalasHapuscongrats yaa Kak Nin sudah berhasil checklist salah satu mimpinya..
Makasih banyak, Kezia ;)
Hapus