… and yes! Tidak hanya di Indonesia, Norwegia juga sedang gencar-gencarnya menerapkan PHK dari akhir tahun kemarin. Tren ini pun tak hanya mengimbas ke perusahaan kecil semisal startup, namun perusahaan telekomunikasi terbesar seperti Telenor pun dikabarkan mem-PHK 200 pegawai mereka di akhir 2022.
Bagi saya, what a story to start 2023! Sebetulnya sudah lama ingin cerita ke publik, apalagi hal ini masih belum banyak dibagikan orang Indonesia yang tinggal di luar negeri. Namun saya sadar, beberapa bulan lalu mental dan emosi saya sedang tak stabil. Alih-alih ingin berbagi pengalaman di-PHK di negeri orang, saya malah cenderung emosional dan lebih banyak cerita keburukan perusahaan kemarin. Bagan tulisan saya isinya hanya misuh-misuh dan lebih banyak memainkan peran sebagai korban. It was not right. Makanya saya putuskan menunda dulu untuk cerita banyak ke orang sampai betul-betul yakin, saya sudah tenang.
Sejujurnya, tak pernah terbayang bahwa kondisi saya di 2023 akan sama dengan 2020, ketika awal terjadi pandemi. Hanya saja pertengahan tahun lalu, saya memang sempat berpikir dan bertanya ke pacar, “menurut kamu saya akan di-PHK tidak ya ke depannya?” Saat itu saya berencana membeli asuransi kerja yang bisa membantu uang bulanan jikalau saya kehilangan pekerjaan. Tapi mengingat pekerjaan saya kemarin cukup stabil, pacar pun menyangsikan kalau ke depannya saya memang akan di-PHK. Tak ada yang pernah tahu, termasuk mantan bos saya sendiri.
Baca juga: Cari Kerja Lagi di Tengah Korona
Oke, sebetulnya sudah lama saya mencium bau keuangan tak sedap di perusahaan ini. Ketimbang mendukung perkembangan karir tim lain, perusahaan terlalu mendewakan produk mereka dan lebih fokus ke tim Sales. Setelah di-PHK ini pun saya baru sadar, bahwa kehadiran tim Marketing di perusahaan ini bak aksesoris semata. They didn't see THE truest essence of having Marketing department. Di bulan Oktober kemarin atasan saya bahkan sudah mengingatkan untuk cari kerjaan lain di luaran. “Nin, perusahaan ini tidak bisa memberikan growth yang tepat untuk karir mu selanjutnya. Kalau saya boleh saran, sebaiknya kamu cari pekerjaan lain saja untuk mendukung karir mu ke depan,” ucapnya sesuportif itu!
Atasan saya benar. Secara growth, saya memang kurang mendapatkan dukungan. Namun jujur saja, atmosfir kantor yang rileks, semua (SEMUA!) kolega yang sangat suportif dan asik, sampai banyaknya acara networking yang seru membuat saya cukup lama tertahan di sini. I was trapped in a comfort zone. Tapi terjebaknya, bagi saya, masih dalam kondisi positif karena dikelilingi kolega yang amat baik. Kurangnya memang satu, manajemen yang sangat amat buruk. Makanya saya terpikir untuk menunda mencari pekerjaan baru selepas April atau setelah liburan musim panas. Sayangnya, sebelum itu terjadi, saya sudah di-PHK duluan.
Saat itu akhir November 2022, ketika mantan bos memanggil saya untuk meeting 1-on-1 dadakan. “Let’s get to a serious business,” katanya tanpa ekspresi. Begitu terguncangnya perasaan saya saat tahu, kami satu tim Marketing harus di-PHK, termasuk atasan saya sendiri. Alasannya tak terlalu personal karena evaluasinya akan panjang jika harus memilih karyawan based on performance. Sementara mereka sudah harus setoran siapa saja yang akan di-PHK ke board. Kenaikan harga listrik, pasar yang sempit, serta perang Rusia-Ukraina, menjadikan salah tiga dari beberapa alasan mengapa perusahaan harus memotong anggaran 2023. Keputusan akhirnya, perusahaan terpaksa harus menghapus 2 tim kantor yang tak terlalu “membahayakan” workload inti.
Batin saya amat terguncang saat itu. WHAT IS THIS?! Lagi?! Di-PHK lagi?! Untuk yang kedua kalinya?! Perasaan saya campur aduk. Ada bingung, kesal, marah, linglung, sampai sulit mengungkapkannya dengan kata-kata. Being independent is bulls**t! Setidakstabil ini ternyata posisi saya sebagai pekerja imigran di negara orang. Bahkan pekerjaan yang menurut saya cukup stabil dan sudah diangkat sebagai karyawan tetap pun, masih bisa kena imbas PHK.
Baca juga: Pentingnya Tahu Aturan Sebelum Kerja!
What is worst? Saya juga tidak berkualifikasi mendapatkan tunjangan pengangguran dari pemerintah Norwegia! Pada dasarnya, perusahaan mem-PHK pegawai agar terhindar dari kewajiban membayar gaji bulanan. Tanggung jawab ini akhirnya dialihkan ke NAV, Badan Ketenagakerjaan dan Administrasi Norwegia, yang memberikan bantuan berupa dagpenge atau tunjangan pengangguran setara dengan 60,2% gaji per tahun. Tak banyak memang, kolega saya pun harus mengencangkan ikat pinggang dan menurunkan standar hidup demi irit. Hanya saja, dapat tunjangan lebih baik daripada tak ada penghasilan sama sekali. Inilah saya, si pemegang izin tinggal tenaga ahli yang ternyata, tak berkualifikasi untuk mendapatkan tunjangan ini meski tiap bulan sudah bayar pajak hampir 30% gaji. (Saya akan cerita lebih banyak tentang tunjangan ini di postingan lain. Tentang mengapa izin tinggal tenaga ahli tak berkualifikasi, serta apa opsi lain yang ada.)
Kembali lagi, keluarga akan datang di bulan Desember 2022. Semua rencana bepergian bersama mereka keliling Eropa juga sudah bulat, tiket dan penginapan sudah dipesan dari jauh hari. Kondisi keuangan yang carut-marut ini tentu saja membuat mental saya kacau. Tabungan juga tak sustainable jika harus diandalkan terus-menerus. Tapi kalau kalian menyimak kondisi saya di bulan Januari kemarin lewat Instagram, semuanya memang masih terlihat baik-baik saja. Kehadiran keluarga di Norwegia nyatanya bisa mengalihkan pikiran saya dengan status baru sebagai pengangguran. Hari-hari juga terasa lebih menyenangkan karena diisi dengan kegiatan masak-masak dan travelling kesana-kemari. Saat itu saya hanya berusaha menikmati waktu luang saja.
Baca juga: Mari Menjelekkan Norwegia!
Desember tahun kemarin pun tak terlalu kalut. Meski awalnya kesal dan marah dengan kondisi ini, namun pikiran saya (lagi-lagi) teralihkan dengan suasana hangat Natal dan tak sabar menanti hari-H menyambut keluarga di bandara. But it’s getting worse when they’re gone. I am all alone, again, behind my laptop. Sibuk cari kerja lagi yang prosesnya menguras tenaga dan energi. Hingga ada di satu momen ketika saya merasa tidak mengenal diri sendiri lagi. I lost myself. Saya jatuh sejatuhnya hingga sulit bangkit seperti dulu. Mungkin terdengar dramatis dan lebay, tapi cerita ini mungkin akan saya ceritakan di postingan lain juga. Saya butuh banyak ruang kosong untuk menumpahkan uneg-uneg di cerita tersebut.
So, apa kabar saya sekarang?
Setelah tiga bulan di-PHK, saya dikabari bahwa masa PHK kami diperpanjang hingga Juni tahun ini. Menghabiskan setengah 2023 dengan berdiam di rumah tanpa penghasilan tentu bukan sebuah ide. Isunya, akhir dari masa PHK ini pun berakhir dengan pemecatan. I couldn’t handle this any longer! Saya mengundurkan diri dari perusahaan per Februari kemarin dengan beberapa alasan, yang salah satunya untuk menarik Feriepenge atau Holiday Money (seperti gaji ke-13) sebagai bekal hidup tiga bulan ke depan. Beberapa kolega cukup menyayangkan keputusan ini karena kalaupun harus dipecat, setidaknya saya masih akan menerima tunjangan 3 bulan gaji penuh. Namun saya juga tak bisa hidup tanpa penghasilan apapun. Mereka bisa berpikir demikian karena memang posisinya tak seperti saya. Mereka berkualifikasi menerima tunjangan dari NAV. Mereka masih bisa menunggu sampai Juni.
Saya pengangguran. Secara izin tinggal, pihak imigrasi memperbolehkan saya tinggal di Norwegia selama 6 bulan untuk cari pekerjaan baru lagi, terhitung dari tanggal saya di-PHK. Nyatanya sudah 3 bulan tanpa hasil positif. Saat ini saya memang tak terlalu memikirkan perihal izin tinggal dulu, karena lebih fokus upgrade portofolio dan cari kerja sana sini. Too many things to think in one time! Capek!
Baca juga: Permit Ditolak, Pulang ke Indonesia!
Agar hari tak sia-sia, saya juga ikut program bootcamp online dan daftar kursus bahasa Norwegia lagi dari Desember kemarin. Ternyata otak harus betul-betul segar dan siap kalau ingin belajar lagi. Ending-nya saya hanya ikut kelas bootcamp dan menunda dulu kelas bahasa yang lama-lama makin membosankan.
Iya, ini sebuah cerita merana lain tinggal di luar negeri. Mungkin kali ini saya lagi-lagi kurang hoki. Tapi kalau melihat ke kanan kiri, masalah saya ini sebetulnya juga menimpa pekerja imigran lain. Kabarnya ada satu keluarga yang sudah settle, beli mobil dan rumah, anak sudah sekolah, namun karena tak dapat tunjangan dari NAV dan tak bisa mendapatkan pekerjaan lagi setelah 6 bulan, mereka harus kembali pulang ke negara asal. Cerita saya memang belum berakhir seperti mereka. Tapi stres yang melanda kemarin juga sempat berkali-kali membuat saya berpikir untuk pulang saja ke Indonesia for good. Saya merasa, apa iya Norwegia adalah my last path atau sebetulnya hanya mampir sementara untuk menguatkan mental semata. Kena PHK di luar negeri badai stresnya bisa berkali lipat daripada masih tinggal di negeri sendiri.
Semoga cerita ini bisa membawa insights baru bagi teman-teman. Nasib memang siapa tahu. Cerita tak beruntung ini pun melengkapi pengalaman baru saya di sini. Lengkap sudah per tahunnya selalu diberi pengalaman pahit yang mungkin juga akan membuka mata orang banyak bahwa living abroad independently is freaking tough, Kawan!
Semangat yaaa Nin..
BalasHapus