Tampaknya 2023 bukan tahun terbaik bagi yang baru tahu tentang au pair. Setelah masifnya informasi di internet tentang program pertukaran budaya yang sering memasarkan masa depan lebih cerah di luar negeri, ada banyak sekali anak muda Indonesia terutama perempuan, yang tertantang mengikuti jejak para pendahulu hijrah ke negara orang.
Au pair sendiri merupakan program (atau yang saya biasa sebut 'kesempatan') pertukaran budaya ke luar negeri dimana kita akan tinggal bersama keluarga asing yang disebut host family. Dalam masa tinggal 12-24 bulan ini, kita bisa dapat uang saku, tempat tinggal, makan, serta kesempatan untuk belajar bahasa lokal, asalkan mau membantu keluarga tersebut mengasuh anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga sederhana. Terdengar sangat menarik tentunya. Selain program ini legal karena ada visanya sendiri, banyak mantan au pair yang akhirnya bisa lanjut sekolah dan dapat kerja permanen di Eropa.
Baca juga: I Made It: Dari Au Pair Sampai Wisuda S2!
Sayangnya bagi yang baru tahu, dari tahun ke tahun kesempatan ini akan jadi semakin sempit. Saya yang dulu berpikir bahwa nantinya akan ada banyak sekali au pair Indonesia meramaikan benua Eropa, ternyata harapan tersebut terhalang oleh banyak peraturan baru.
Sama seperti banyak pelamar kerja di Indonesia yang sering terhambat kualifikasi usia, jadi au pair sekarang pun sama saja. Kalau dulu banyak negara masih memperbolehkan au pair sampai usia 30 tahun, sekarang hanya sedikit saja yang masih mempertahankan kualifikasi tersebut. Misalnya, Belanda yang per Oktober 2022 mulai membatasi usia au pair sampai 25 tahun saja. Banyak desas-desus yang mengatakan perubahan batas usia ini dikarenakan Belanda sering jadi opsi terakhir para "au pair senior" yang usianya sudah mepet 30—tapi masih ingin tinggal di luar negeri. Alih-alih memanfaatkan kesempatan tinggal dan belajar bahasa Belanda, mereka malah menjadikan masa au pair sebagai batu loncatan berburu pria lokal yang bisa dinikahi setelah kontrak berakhir.
Tak cuma soal batas usia, Swedia dan Finlandia pun hanya memberikan izin tinggal bagi para first timer untuk jadi au pair di negara mereka. Strategi ini pun diharapkan menarik minat para au pair yang betul-betul serius ingin belajar budaya dan mengasah bahasa lokal di negara tersebut. Jadi bukan au pair loncatan dari negara lain yang hanya datang untuk memperpanjang masa tinggal di Eropa.
Baca juga: Agensi Au Pair Gratis
Momok berikutnya adalah kualifikasi bahasa asing yang semakin mempersempit kesempatan mu. Kalau beberapa tahun lalu hanya Austria dan Jerman yang wajib melampirkan sertifikat bahasa minimal level dasar, Prancis akhirnya kembali mewajibkan syarat bahasa meski dulunya sempat dihapuskan. Tak hanya bahasa Jerman dan Prancis yang wajib, Finlandia pun ikut-ikutan mewajibkan au pair untuk melengkapi sertifikat bahasa Finlandia dan keterangan pernah belajar budaya Finlandia sebelumnya. Masalahnya, where in Indonesia au pair yang betul-betul serius datang ke negeri Santa ini cuma untuk belajar dan mengenal budaya Finlandia?!
What's worse? Norwegia, sebagai salah satu negara dengan kualifikasi termudah, dikabarkan akan segera ketok palu menghapuskan program au pair selamanya. Menyusul dengan dihapuskannya pendidikan gratis bagi semua umat di negara ini, 2023 akan jadi tahun terburuk au pair yang sekarang masih tinggal atau berencana ke Norwegia. Kabar terakhir, saat ini sedang diadakan sidang internal untuk menentukan nasib program au pair ke depannya. Sidang dijadwalkan akan berakhir di bulan Juni, sebelum sidang lanjutan yang mungkin akan digelar sehabis libur musim panas. Meski banyak au pair menentang dan menyayangkan keputusan tersebut, tampaknya ide untuk menghapuskan program au pair di Norwegia sudah semakin bulat. Hal ini pun didukung oleh fakta tentang program au pair yang seharusnya sebagai kesempatan untuk pertukaran budaya, malah dijadikan sistem perbudakan oleh keluarga lokal.
Semakin banyak yang ingin jadi au pair, ternyata justru membuat banyak negara semakin memperketat peraturan agar program ini masih berjalan selayaknya. Kalau sudah begini, kalian harus kemana? Berapa usia yang sebetulnya tepat jadi au pair?
Saya pernah menulis di sebuah postingan, usia 20-24 tahun adalah usia terbaik memulai petualangan au pair mu untuk pertama kalinya. Meski tulisan tersebut sudah 4 tahun lamanya, namun sampai sekarang pendapat saya belum berubah. Negara boleh saja merombak ulang kualifikasi usia, tapi rentang 20-24 tahun tetap saya anggap usia teraman untuk menjajahi banyak negara. You're mature enough. Kamu sudah lulus kuliah, sudah semakin matang dalam sisi akademik. Entah apa rencana mu setelah jadi au pair. Tapi kalau berencana tinggal 2-3 tahun, masih ada banyak negara yang sangat welcome untuk anak muda di bawah 25 tahun. Belanda, Swiss, Belgia, dan Islandia adalah empat negara di Eropa yang tak memerlukan syarat bahasa asing, namun membuka peluang sampai usia 25 tahun. Sementara jika tertarik belajar bahasa Jerman, Liechtenstein memberikan peluang hingga usia 24 tahun, Austria maksimum 26 tahun, serta Jerman hingga 27 tahun.
Walau tak banyak pilihan bagi yang sudah di atas 25, namun Swedia masih membuka kesempatan sampai usia 30 tahun serta Denmark maksimum 29 tahun. Kedua negara Skandinavia ini pun sama-sama tak memerlukan sertifikat bahasa lokal dan bisa dijadikan alternatif jika Norwegia akan menutup program au pair tahun ini.
Kalau pun negara-negara di Eropa kurang mendukung, masih ada English speaking countries seperti Amerika Utara, Inggris, dan Australia yang sama-sama bisa dijadikan pilihan. Meski syarat visanya memang terlalu rumit bagi kebanyakan orang. Pun kalau ingin coba studi bahasa asing lain, kamu bisa ke Italia atau Spanyol. Untuk kedua negara ini, tujuan utama kamu bukan jadi au pair melainkan pelajar yang datang untuk kursus bahasa. Visa yang digunakan pun bukan visa au pair, melainkan visa pelajar. Silakan baca postingan saya di sini untuk menyimak informasi lebih lanjut soal jadi au pair di negara tersebut.
Informasi yang semakin meluas dan akhirnya membuka jalan banyak orang Indonesia ke luar negeri nyatanya tak cukup untuk membuat program ini berjalan dengan semestinya. Dengan banyaknya au pair non-EU datang ke Eropa dan dianggap mengacaukan konsep au pair itu sendiri, maka kualifikasi di banyak negara pun dirombak sedemikian rupa agar kembali ke tujuan utamanya; pertukaran budaya. Memang tak bisa menyalahkan au pair sepenuhnya atas kekacauan yang terjadi belakangan ini. Pertumbuhan au pair yang makin meluas di Eropa juga menjadikan masyarakatnya manja tak bisa hidup tanpa tangan ketiga. Ditutupnya program au pair di Norwegia bisa jadi pelajaran bagaimana perbudakan yang tiap tahun kian marak di negara ini akhirnya memang harus berakhir. Tak hanya au pair yang menyumbang kekacauan, tapi keluarga dari negara itu sendiri. What a mess!
Semakin tipis peluang mu, maka kamu juga harus menilik ulang apa tujuan utama untuk jadi au pair. Au pair memang menghasilkan, tapi au pair bukan jalan yang tepat untuk cari uang. Au pair memang bisa jadi batu loncatan, namun kamu harus punya rencana konkrit dalam waktu 1-2 tahun itu, apa yang harus dilakukan selanjutnya. Cari jodoh untuk dinikahi nyatanya adalah cara termudah untuk tinggal lebih lama, namun tak semua au pair sependapat bahwa pernikahan adalah jalan akhir mereka.
Baca juga: Jadi Au Pair Tidak Gratis: Siap-siap Modal!
Sebelum program ini ditutup total selama-lamanya di kemudian hari, manfaatkanlah kesempatan mu sebaik mungkin dari sekarang. Belum terlambat, kok! Ingat tujuan utama au pair, belajar bahasa dan budaya baru. Cari negara yang kualifikasinya memenuhi dan bahasanya mampu kamu pelajari. Manfaatkan kewajiban host family untuk membayari mu kursus bahasa. Manfaatkan fasilitas mewah yang mereka berikan di rumah. Enjoy every step yang tak bisa kamu rasakan di Indonesia. Puas-puaslah jalan-jalan keliling banyak tempat selagi kamu mampu. Investasi ke beberapa skill baru yang tak hanya berguna secara personal, namun juga profesional. Temukan passion dan hobi baru. Be a different, yet smarter person. Pahami selera fesyen mu dan bergayalah di tiap musim. Have fun and find the happiness!
Persoalan bisa lanjut kuliah atau kerja di luar negeri setelahnya itu rencana lain. Namun kalau sudah waktunya pulang ke Indonesia, setidaknya pengalaman serta mindset mu akan lebih berkembang dari orang kebanyakan. Rayakan!
Komentar
Posting Komentar