Menyimak lika-liku orang Indonesia di luar negeri itu memang seru. Menyenangkan. Mulai dari kehidupan pribadi, studi, hingga karir, selalu ada hal baru yang bisa dikulik.
Masih berhubungan dengan postingan sebelumnya tentang saya yang akhirnya dapat kerja setelah di-PHK. Menurut saya, tulisan kali ini cenderung informatif ketimbang inspiratif karena yang jadi pengangguran sampai setengah tahun bukan saya seorang. Tak perlulah saya harus cerita berjuang ini itu, karena dimana-mana jadi pengangguran mana ada yang enak. Namun karena posisinya di luar negeri, maka setiap cerita rasanya menarik untuk dibagikan. Inilah satu lagi kenyataan tak enaknya tinggal di negara orang. Sudah kena mental di-PHK, cari kerja baru lagi pun tak mudah.
Selama masa menganggur, saya sempat cerita ke beberapa orang dan tentu saja ada banyak hal yang membuat mereka penasaran. Terutama, kenapa saya bisa menganggur selama itu.
1. Bukannya bahasa Norwegia mu sudah lancar?
Saya sering kali dilayangkan pertanyaan ini. Di pikiran mereka, semakin lancar berbahasa lokal, maka semakin lebar pula kesempatan saya dapat kerja. Fasih bahasa Norwegia memang bisa membuka lebih lebar peluang kerja. Pasar jadi lebih non agresif. Ada banyak sekali lowongan yang bahkan tertulis jelas "wajib fasih bahasa Norwegia" untuk menyaring para imigran yang hanya mengandalkan bahasa Inggris. Tapi kali ini saya anggap faktor X tersebut tak hanya perihal bahasa.
Baca juga: Bahasa, Tantangan Terbesar Hidup di Norwegia
Kemungkinan juga memang ada yang salah dengan lamaran kerja saya. Berapapun lamaran berbahasa Norwegia yang dikirim, semuanya tak lolos panggilan. Sementara 4 dari 9 lamaran berbahasa Inggris setidaknya berhasil menyita perhatian rekruter. Padahal saya sering kali mendengar saran dari banyak orang, "tak perlu 100% lancar. Yang penting skillful dan sudah bisa level lanjutan, biasanya akan dimaklumi. Karena justru kita lancar itu saat praktek kerja di lapangan." Faktanya, ingin fasih Norwegia, Inggris, atau Indonesia pun, faktor penentu bukan kemampuan bahasa semata.
Juga, saya harus akui bahwa pekerjaan yang ingin saya lamar kebanyakan harus menulis. Dari dulu saya merasa kemampuan menulis dalam bahasa asing adalah yang paling sulit dikuasai. Sayang, ada beberapa lowongan yang memang harus saya lewatkan karena job desc-nya lebih ke konten tulis.
2. Bukankah networking mu luas?
Iya, betul. Sudah mulai kerja dari sebelum lulus kuliah adalah salah satu bekal saya mengenal cukup banyak orang di industri yang saya lakoni. Saat menganggur, saya juga sempatkan datang ke beberapa acara, bertemu orang baru, dan bertanya perihal kesempatan kerja. Tapi networking di sini kadang hanya terbatas ke hal profesional. Artinya, akan ada aksi jika kedua belah pihak saling untung dan biasanya lebih ke pitching perusahaan masing-masing. Sayang, saya pengangguran yang tak punya apapun untuk ditawarkan.
Saya juga sempat menanyai beberapa kenalan tentang peluang kerja dan jika ada prospek yang tak diiklankan di perusahaan mereka. Saya dengar, ada banyak sekali lowongan kerja yang tak diiklankan, kecuali kenal orang dalam. Tetap nihil. Beberapa dari mereka menyarankan saya melamar saja ke lowongan yang sudah ada, beberapa lainnya ternyata juga sedang struggling cari pekerjaan baru. Sisanya, tak ada kabar apapun. Faktanya, punya kenalan orang dalam juga tak menjamin kita bisa dapat kerja. Bukan seperti di Indonesia yang sekalinya kenal orang dalam, langsung bisa masuk pintu belakang.
Saya juga usaha ikut career coaching dan membenahi profil LinkedIn semenarik mungkin. Sama halnya dengan Indonesia, para profesional di Norwegia belakangan ini juga sangat aktif di LinkedIn ketimbang media sosial lain. Banyak yang menyarankan belajar 'strategi influencer LinkedIn' untuk meningkatkan exposure. Kabarnya, banyak juga orang yang dapat kerja karena dikontak langsung headhunter ataupun HRD dari perusahaan tertentu. Saya pun tak ketinggalan mencoba. Sayangnya tak ada headhunter yang mendekat. Haha! Ada, satu orang dari Polandia yang menawari kerja remote. Tapi setelah perkenalan, orangnya menghilang.
Sebetulnya mantan kolega di kantor lama pun dengan sangat open membantu saya cari prospek di LinkedIn dengan mengenalkan ke beberapa kenalannya, ataupun bersedia 'menjual' saya di postingan mereka. Lagi-lagi sayang, saya tak menggunakan kesempatan ini dengan maksimal. Selain beberapa prospek juga tak cocok, saya yang saat itu masih down karena lemah mental memutuskan untuk rehat sejenak dari LinkedIn. Too much wishy-washy tentang achievement. Ada perasaan sedih ketika melihat banyak orang sudah dapat pekerjaan baru, sementara saya masih berdiam di rumah. Padahal tak ada yang salah juga orang promosi pencapaiannya di lapak tersebut. That's the whole point! Hiperbolik!
3. Kenapa tak mau pindah?
Tak hanya satu dua orang yang menyarankan saya pindah negara demi mendapatkan pekerjaan yang sesuai passion. Pasar di Norwegia terlalu sempit dan kompetitif untuk bidang yang ingin saya tekuni. Sekalinya kita di Eropa, sebetulnya akan sangat lumrah pindah-pindah negara karena pekerjaan. Terlebih lagi, mereka tahu pasangan saya orang Norwegia. Sepertinya tak sulit untuk pindah, apalagi masih sekitaran Eropa. Pasangan saya bisa sama-sama cari pekerjaan baru dan memulai hidup bersama di negara lain. It sounds normal for some, tapi tidak bagi saya.
Dalam kurun waktu 9 tahun ini, saya sudah 3 kali pindah negara di Eropa. Beda ceritanya jika saya au pair yang dari awal sadar bahwa kontrak akan habis 12-24 bulan kemudian. Au pair masih enak, tinggal datang karena akomodasi dan makan pun sudah ditanggung dari hari pertama. Beda juga cerita kalau Norwegia adalah negara pertama saya di Eropa. Mungkin masih ada keinginan menjelajah tempat baru. Masih haus akan petualangan. Masih ingin bertemu dengan banyak orang dan belajar kultur berbeda. Sekarang? Saya lelah jika semuanya harus mulai dari 0 lagi. Jangankan pindah negara, pindah kota jauh dari Oslo saja saya masih berpikir dua kali. Kalaupun memang benar-benar harus pindah, saya hanya ingin kembali ke tempat yang sangat familiar tanpa harus integrasi dan adaptasi lagi dari 0. Yaitu kampung halaman, Indonesia.
Baca juga: Ketika Nasib Membawa Mu Pulang
Hijrah ke tempat baru itu melelahkan! Selain itu, kehidupan saya yang sudah mulai terbangun di Norwegia tak begitu saja mudah untuk ditata ulang di negara baru. Adaptasi itu sulit. Integrasi lebih menantang. Belum lagi pasangan yang harus mulai cari kerja juga dari 0. Bukan hanya saya yang nyatanya harus cari kerja, tapi juga dia. Double seekers. Ada yang sadarkah kalau sebetulnya dia juga sangat puas dengan pekerjaannya yang sekarang? Meninggalkan keluarga demi pekerjaan bukanlah untuk semua orang. Apalagi bagi dia yang sangat cinta kampung halaman dan keluarganya. Harus berhadapan lagi dengan imigrasi, adaptasi, serta integrasi? Pusing!
Saat sedang hopeless, saya juga berkali-kali merenung, apa memang ada tempat bagi saya di negara ini?! Tapi saat pertanyaan itu terus menggema, saya selalu ingat kata kolega dulu, "you'll get a job in Norway, I am sure! Saya saja harus menganggur 10 bulan dulu untuk dapat pekerjaan pertama di sini, Nin." Lalu saya ingat lagi, saya baru lulus kuliah 2 tahun lalu. Sejatinya, pengalaman saya masih di entry level. Perjalanan masih panjang. Masih banyak hal yang harus saya kuasai dan pelajari. Sabar dulu. One day it'll make sense. Jadi, sisa-sisa keyakinan itulah yang membuat saya tetap bertahan.
4. Bukannya bisa kerja part-time di restoran atau tempat lain dulu?
Sayangnya, tidak. Dengan izin tinggal yang saya miliki sekarang, work permit for skilled worker, saya hanya boleh bekerja untuk satu perusahaan di jenis pekerjaan yang sesuai dengan kompetensi. Pekerjaan berkompetensi ini disesuaikan dengan pengalaman kerja yang panjang atau pendidikan dari perguruan tinggi, misalnya S1. Sponsor saya sebetulnya bukan perusahaan, tapi pekerjaan. Meski ada tawaran kerja dari perusahaan bonafit, tapi jika jenis pekerjaannya tak cocok dengan latar belakang pendidikan, maka imigrasi juga tak mau mengeluarkan izin tinggal.
Bisa saja saya kerja gelap dulu di restoran atau jadi cleaning lady demi mengumpulkan pundi-pundi tiap bulan. Tapi hal tersebut terlalu risky. Saya tak bisa ambil gaji dibawah tangan karena sistem pendapatan sudah terikat dengan pajak negara. Untuk bekerja remote pun dilarang karena perusahaan tempat saya bekerja haruslah di Norwegia, kecuali pekerjaan remote tersebut masih berhubungan dengan job desc dari perusahaan di sini.
Karena izin tinggal terbatas inilah, maka satu-satunya cara yang bisa saya lakukan adalah cari kerja baru di Norwegia. Waktu cari kerjanya diberi 6 bulan saja. Tak dapat kerja lebih dari itu, polisi akan mencabut izin tinggal karena hidup kita di Norwegia tak ada jaminan lagi. Sounds depressing?
5. Kemana pasangan mu?
He is always here, with me. Supporting me. Feeding me 😛
6. Kok, sulit sekali?
Entahlah. Katanya mencari pekerjaan pertama akan terasa sulit, tapi tak sesulit mencari pekerjaan kedua ataupun ketiga. Banyak headhunter akan bergentayangan di LinkedIn dan mencari top kandidat. Saya harap juga demikian, mengingat pengalaman kerja saya di Norwegia juga sudah lebih dari 3 tahun. Tapi sayangnya, kenyataan berkata lain. Lagi-lagi, faktor X saya tak keluar.
Well, okay, it's not 100% true. Hoki saya kelihataannya kurang mujur di awal 2023. Sebetulnya dari awal tahun, saya sudah menerima tawaran kerja dari sebuah perusahaan yang betul-betul membawa angin segar. Sayang, dua minggu kemudian kontrak dicabut tanpa alasan yang jelas. Padahal dari semua yang di-PHK, saya sendiri yang paling cepat progress-nya dapat pekerjaan baru saat itu. Bulan Mei pun, saya hampir saja menemukan titik terang dari sebuah perusahaan yang sayangnya lagi, tiba-tiba mengubah strategi dan membatalkan wawancara akhir. Sesulit itu ternyata mengubah nasib.
Tak hanya saya yang kesulitan mencari pekerjaan. Mantan atasan saya di kantor yang juga di-PHK butuh waktu 4 bulan untuk menemukan pekerjaan baru. Dirinya bercerita sering kali didekati headhunter dan beberapa kali juga dapat panggilan wawancara. Sayang, masih belum rezeki. Zaman sekarang banyak pekerjaan butuh skill ganda. Artinya, tak cukup satu skill untuk membuat mu mendapatkan pekerjaan. Kadang kita terpaksa menerima pekerjaan yang harusnya dikerjakan oleh 5 orang. Tenang, tak hanya di Indonesia yang job desc-nya di luar nalar. Di Norwegia pun sama saja!
Mantan kolega saya yang lain juga mengatakan bahwa 2023 memang penuh ketidakpastian. Banyak perusahaan terpaksa mem-PHK karyawan sampai banyak yang harus mulai dari dasar lagi. Ngomong-ngomong, setelah banyak yang di-PHK, kolega saya inipun mirisnya harus dipecat dari perusahaan kemarin.
Ada juga cerita orang-orang di senior level yang terpaksa ambil pekerjaan mid-senior hanya karena tak punya banyak pilihan. Saya juga mendengar bahwa ada orang yang dulunya sudah bekerja di suatu tempat, di-PHK, lalu saat posisinya dibuka kembali, dia malah harus kembali melamar dan bersaing dengan kandidat lain untuk mendapatkan posisi lamanya tersebut. What a competitive market!
⚘ ⚘ ⚘
Yes, I was so stressed for the past 6 months. Yes, I was also hopeless. Tapi kalau melihat lagi ke bawah, saya jadi menyimpulkan bahwa hidup nyatanya tak seburuk itu. Sedih iya. Hilang semangat iya. Tapi setengah tahun lalu masih banyak hal baik yang terjadi.
Di awal masa PHK, keluarga saya datang ke Norwegia dan kami pun sempat berkeliling Eropa di musim dingin. Meski perasaan saya kalut bagaimana membiayai semua perjalanan, namun tak saya jadikan alasan untuk bermuram durja di depan keluarga. Di sela tabungan yang makin menipis dan tak tahu apakah akan pulang for good pun, saya masih punya kesempatan mewah pulang ke Indonesia merayakan Ramadhan dan Lebaran lagi bersama keluarga. Bulan Mei lalu, adik saya beruntung dibayari kantornya business trip ke Jerman sekalian mengujungi saya di Norwegia selama 2 pekan. Rasanya begitu bahagia ketika keluarga terasa masih amat dekat dan sangat suportif memberikan dukungan terbesarnya. Iya, saya merasa kesepian di negara orang. Tapi iya juga, masih banyak dukungan yang mengalir sampai detik ini.
Dibandingkan beberapa imigran bernasib sama yang bahkan tak tahu lagi akan tinggal dimana dan makan apa, saya masih sangat beruntung. Membaca nasib mereka di laman Facebok Group, saya sadar bahwa permasalahan tiap orang itu pelik. Lagi-lagi, tak jauh dari problem izin tinggal. Mendapatkan izin tinggal itu sulit, mempertahankannya hingga menggantinya ke yang lebih baik jauh lebih sulit.
Komentar
Posting Komentar