Dari media sosial, kita jadi tahu sekarang banyak sekali orang Indonesia yang berdomisili di luar negeri. Entah karena ikut pasangan, sekolah, bekerja, ataupun program lain semisal au pair. Informasi semakin masif dan sudah banyak celah mewujudkan mimpi ke berbagai negara di dunia. Apalagi tak jarang juga para diaspora ini menceritakan pengalamannya lewat sebuah tulisan ataupun video untuk dikonsumsi banyak orang. Ada informasi cari kerja di luar negeri, cari jodoh via online dating, cara ampuh memperebutkan beasiswa bergengsi, hingga flexing enaknya hidup di tanah orang. Semua konten bisa ditemukan dengan mudah dan selalu disambut baik oleh para audience yang memiliki cita-cita serupa; hijrah ke negara orang. Kalau sudah begini, lambat laun keinginan untuk pindah ke luar negeri dan ganti kewarganegaraan berubah jadi new modern lifestyle.
Siapa yang tidak ingin pindah ke luar negeri, ganti paspor, lalu bisa jalan-jalan keliling dunia dengan mudah?! - kata si A.
Kayaknya kalau ditanya, semua orang Indonesia juga ingin pindah ke luar negeri. - kata si B.
Asik banget tinggal di luar negeri!! Bersih, aman, tenang, damai, jauh sekali dari tinggal di Konoha. - kata si C.
Betul. Dari saya kecil juga cita-citanya memang sudah membayangkan berada di negara orang dan melanjutkan studi bersama teman internasional. Saat bermain ayunan dan melihat langit, saya selalu percaya bahwa suatu hari nanti akan melihat langit di negara berbeda. Bukan karena benci Indonesia, tapi lebih ke pengaruh komik dan kartun Jepang yang selalu sukses menjual cerita empat musim yang epik. Seru sekali dalam setahun bisa merasakan 4 kali ganti musim yang diikuti oleh beragam budaya berbeda di tiap musimnya. Belum lagi disuguhi teknologi modern nan mutakhir, misalnya kereta listrik atau kereta bawah tanah, yang keren sekali untuk dicoba. Siapa yang jadi tak tertarik tinggal di luar negeri, kan?!
Baca juga: Hijrah ke Luar Negeri Itu Melelahkan!
The decisions
Zaman kuliah di Indonesia dulu, saya kenal seorang mbak-mbak lewat sebuah MLM. Si mbak ini cerita kalau waktu kuliah, dia sempat memenangkan olimpiade Kimia yang salah satu hadiahnya adalah beasiswa lanjut S2 di Prancis. Dia juga menunjukkan fotonya saat berada di podium memegang piagam bersama dengan seorang runner-up. Namun karena sudah ada yang melamar, si mbak memutuskan tak jadi berangkat ke Prancis dan menikah dengan si pujaan hati. Bagi saya, keputusan tersebut sangat disayangkan. Why oh why melewatkan kesempatan lanjut kuliah ke luar negeri hanya demi seorang laki-laki?! Kalau memang berjodoh, si lelaki harusnya mau menunggu masa kuliah si mbak yang cuma 2 tahun. Bahkan kalau harus menikah pun, bukannya bisa saja LDR dulu, atau boyong sekalian saja suaminya?! Kenapa sampai harus melewatkan kesempatan yang tak akan datang dua kali?!
Cerita kedua datang dari teman sekelas saya saat kuliah S1. Sebut saja Z. Dari beberapa orang, saya tahu bahwa si Z sudah fasih bahasa Jepang dan selalu menang beberapa kompetisi berbahasa Jepang sejak SMA. Karena punya ketertarikan yang besar dengan bahasa dan budayanya, Z jadi punya ambisi kuat ingin lanjut kuliah di Jepang. Sayang, keinginan tersebut ditentang habis-habisan oleh sang ibu. Z ingin cari beasiswa S1 ke Jepang, sementara si ibu ngotot tak memberikan restunya jika Z masih nekad ingin ke sana. Singkat cerita, Z mengorbankan mimpinya dan lanjut kuliah di Indonesia. Itupun hampir DO karena Z tak serius sama sekali.
Karena selalu berjuang untuk apapun yang saya impikan, saya menilai si Z sebagai pribadi yang lemah. Dari saya pertama, kedua, hingga ketiga kali au pair pun, ibu saya juga sebetulnya tak pernah setuju. Tapi karena nekad dan penuh pertimbangan, akhirnya saya bisa membuktikan ke beliau kalau keputusan saya tersebut bisa dipertanggungjawabkan. Kebahagiaan dan cita-cita kita tak selamanya harus bergantung ke orang tua. Kadang orang tua itu hanya menggertak, namun sebetulnya ikut bangga kalau anaknya bisa kuliah dan bekerja di luar negeri. Harusnya teman saya tersebut lebih gigih memperjuangkan mimpinya, bukan dengan mudah melupakannya.
Baca juga: Meminta Izin Orang Tua ke Luar Negeri
Cerita ketiga datang dari pacar teman dan masih ada hubungannya dengan Jepang. Sebut saja si A. Setelah perjuangan panjang dan lolos seleksi ini itu, akhirnya si A diterima bekerja di salah satu perusahaan di Jepang. Tujuannya kala itu, ingin bekerja selama beberapa tahun dulu sambil mengumpulkan biaya nikah. Namun siap sangka, dua minggu kemudian saya dengar si A membatalkan kontrak kerja tersebut. Man, are you losing your mind?! Alasannya, karena setelah dipikir-pikir lagi, gaji yang diterima nantinya tak sebanding dengan rasa ketidaknyamanan yang akan si A emban. "Jauh dari teman, keluarga, dan pacar, aduh.. bisa-bisa saya mati kesepian!", akunya saat itu ke teman saya. Mental lemah! Orang yang berpikiran maju harusnya mau berjibaku dengan rasa gelisah dan keluar dari zona nyaman. Itulah proses pembelajaran dalam hidup.
Cerita keempat lagi-lagi tentang teman sekelas S1 dulu yang sekarang sedang lanjut S3 di Korea. Sebut saja si B. Sempat beberapa kali chatting dan menanyakan kabar, saya baru tahu bahwa setidakbahagia itu si B tinggal di Korea. Baginya, keputusan untuk lanjut S3 di Korea bukan atas keinginan pribadi, namun karena disuruh atasan di kantor. Tinggal di Korea ternyata bagi B tak semenarik itu. "Di Jakarta sudah enak-enak semuanya gampang dicapai naik motor, di sini mesti jalan kaki dulu agar bisa sampai asrama. Cari odol saja susahnya minta ampun! Tak perlu di Jakarta, di kampung saya yang kecil itu saja cari odol mudahnya bukan main. Tak betah saya, Nin!" katanya saat itu. Saya yang orangnya tak mudah menyerah dan selalu cepat beradaptasi dengan lingkungan sekitar jadi geleng-geleng kepala dengan sifat manja si B.
Cerita kelima adalah tentang para au pair yang memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Di beberapa kesempatan, saya sering mendengar dari sesama au pair yang menyerukan 'anak rantau pantang pulang'. Sudah sampai Eropa, sayang sekali jika harus cepat-cepat pulang ke Indonesia. Harusnya jadikan au pair sebagai batu loncatan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Cobalah belajar lebih keras agar bisa ambil beasiswa dan lanjut studi di luar. Tak masalah pindah-pindah negara cari peluang terbaik. Kenapa cepat sekali menyerah dan buru-buru pulang ke Indonesia?! Di Indonesia kalian ingin jadi apa? Kerja apa? Bukannya sudah nyaman hidup di negara orang?
Baca juga: Ketika Nasib Membawa Mu Pulang
Cerita keenam tentang orang-orang pandai yang impiannya tak sejauh Roma. Saat kuliah S1 dulu, saya termasuk mahasiswa pas-pasan yang lebih sering fokus ke hal lain ketimbang mata kuliah utama. Banyak teman-teman sekelas yang otaknya lebih jenius bermimpi jadi PNS agar hidup tenang damai hingga tua. Untuk mewujudkannya, mereka berusaha keras belajar dan tak menyerah meski gagal berkali-kali pun. Bagi saya, lanjut kuliah ke luar negeri jauh lebih worth to fight for ketimbang berjibaku dengan pengidam PNS. Saya cukup heran mengapa teman-teman saya yang jenius itu tak berminat cari beasiswa S2 saja di luar negeri. Akan ada lebih banyak pekerjaan di bidang Fisika untuk mereka ketimbang harus mengabdi di Indonesia. Lambat laun, saya sadar bahwa mimpi anak muda luar pulau Jawa rata-rata tak besar. Mereka malas memikirkan hal-hal tak pasti. Bagi mereka, cukup masuk kampus impian dan bisa jadi PNS adalah mimpi sesungguhnya. Mainstream sekali!
Cerita terakhir, datang bertahun-tahun lalu saat saya masih jadi au pair di Denmark. Seorang teman, Michi, datang menemui saya dari Belgia dan kami sempat mengobrol tentang rencana hidup. Karena saat itu masih jadi au pair, saya belum tahu pasti apa yang akan saya lakukan selanjutnya. Mungkin pulang ke Indonesia dan memulai karir dari bawah, mungkin kembali ke bangku kuliah, atau mungkin juga jadi au pair lagi di suatu negara. Sementara Michi, yang kala itu sedang long distance relationship dengan seseorang di Indonesia, punya rencana untuk pindah dan tinggal di Indonesia kalau hubungan tersebut sampai ke tahap lebih serius. Saya heran dengan keputusannya. How on earth bule yang dari lahir sudah mencicipi kenyamanan di negara maju malah ingin mengorbankan banyak hal demi tinggal di Indonesia?! Cinta buta?
"Kamu aneh. Kamu tahu tidak kalau justru banyak orang Indonesia yang bermimpi bisa pindah ke luar negeri?! Too much chaos di negara itu. Pasti sulit bagi mu untuk beradaptasi dengan segala kerumitannya," kata saya.
Namun Michi mengatakan hal yang cukup menampar, "justru kamu yang aneh. Yes, you are so tough. Tapi sendirian di negara orang, bukannya justru ada lebih banyak hal yang kamu korbankan? Tidak semua orang Indonesia ingin lari dari negara itu, Nin. Banyak yang justru bahagia tinggal di sana. Kamu saja yang mungkin tak tahu."
But no, I didn't buy it! Kata-katanya sama sekali invalid.
The reflections
Apakah rumah selalu seburuk itu? |
Tapi pikiran manusia itu dinamis, termasuk pemikiran saya sendiri. Kemarin saya pikir pernyataan Michi invalid, hari ini saya katakan hal tersebut valid! Hampir 10 tahun tinggal di benua Eropa, saya semakin terbuka melihat suatu hal dari beragam perspektif. Sering bertemu orang baru, mendengar keluh kesah mereka, merasakan bagaimana sulitnya berdiri di kaki sendiri, saya sadar bahwa hell no rumput tetangga akan selamanya hijau! Struggling orang di luar negeri itu sebetulnya juga banyak. Tapi mudah saja ditutupi dengan cerita indah.
Dulu saya masih naif dan excited dengan banyak hal, sama seperti para diaspora lainnya yang begitu bangga tinggal di negara orang. Perjuangan kami bisa sampai tahap ini tak mudah. Kami mengorbankan banyak hal hanya demi mendapatkan sesuatu yang sangat worth-it untuk diperjuangkan. Tak ada salahnya juga membagikan momen bahagia ke khalayak ramai tentang enaknya menginjak padang rumput hijau tetangga. Flexing dikelilingi teman-teman bule. Flexing bisa liburan; makan pagi di Kopenhagen, makan siang di Barcelona, makan malam di Athena. Bragging bisa hidup hedon, tapi tetap bisa menabung dan mengirim uang ke Indonesia. Flexing bisa pakai apapun yang kami mau tanpa takut dipandang negatif.
But yeah, it's not always rainbows and butterflies.
Dari ketujuh cerita di atas, kalian bisa melihat bahwa it's all about me, me, and me! Saya wanita kuat, wanita hebat, wanita tangguh, wanita cerdas, wanita yang selalu berjuang untuk masa depannya. Saya si paling pejuang. Sementara orang-orang yang tak mau keluar dari zona nyaman, tak kuat beradaptasi, tak menyukai luar negeri, tak mau dan sanggup bermimpi besar, adalah orang-orang lemah. Orang-orang yang tempatnya memang cuma di Indonesia, tak akan maju-maju. Pemikiran ini terlalu memaksa! Sebuah pengingat untuk diri sendiri bahwa tidak semua orang akan seperti saya dan ingin menjadi saya. Bagus untuk saya, belum tentu bagus untuk orang lain.
1. Kehidupan luar negeri yang keras ini tidak untuk semua orang! Kamu sangat boleh pulang ke Indonesia setelah masa au pair atau sekolah mu berakhir. Dunia ini tidak akan berhenti berputar meski kamu kembali ke kampung halaman. Kadang, memulai karir yang tepat di Indonesia akan dipandang jauh lebih baik daripada bertahun-tahun mengisi masa muda jadi 'babu fleksibel' (baca: au pair) di Eropa. Pulang bukan berarti kalah atau menyerah. Justru kepulangan mu ke Indonesia siapa tahu bisa membuka jalan lain yang lebih baik. Kamu kuat, kamu hebat, sudah berhasil keluar dari zona nyaman dan setidaknya mencoba tinggal di negara orang! It's SUPER okay to say, "living abroad is not for me".
2. Hidup ini kadang tidak hanya tentang kita, kita, dan kita! Banyak orang yang mimpinya masih bergantung di kebahagiaan orang tua. Daripada menyalahkan mereka yang tidak seteguh hati mempertahankan mimpi, mungkin bisa lebih memahami apa yang entah terjadi di kehidupannya di luar sana. Bisa jadi seseorang ingin berbakti dulu untuk membuat orang tuanya bangga. Di pemikiran masyarakat Indonesia yang beragama, restu Tuhan adalah restu orang tua. Orang tua tak merestui, maka Tuhan pun tak akan mengabulkan doa kita. Prinsip ini tak membuat seseorang terlihat lemah. Justru dia kuat mempertahankan prinsipnya untuk selalu percaya dengan kuasa Tuhan lewat restu orang tuanya.
3. Tidak ada mimpi yang lebih baik! Orang bermimpi jadi PNS, ya silakan saja. Saya ingin jadi astronot NASA, misalnya, ya boleh-boleh saja. Mimpi saya memang terdengar lebih ambisius dan besar. Tapi bukan berarti saya boleh mengecilkan mimpi orang. Banyak yang berjuang mati-matian sampai mencoba belasan kali untuk jadi aparatur negara. Meski katanya jadi PNS sudah kuno karena warisan zaman penjajahan, tapi buktinya masih banyak yang menggantungkan nasibnya di sini. Saya tidak mau, ya justru bagus. Mengurangi kompetisi. Silakan pilih jalan sendiri-sendiri.
4. Hidup di negara orang faktanya memang tak nyaman! Lalu kenapa tak boleh mengeluh?! Bukannya wajar saja jika orang membandingkan negara tempatnya tinggal sekarang dengan kampung halaman? Kalau banyak di media sosial yang sering mengagungkan luar negeri dan membandingkannya dengan Indonesia, mengapa tak boleh sebaliknya?! Apalagi posisi kita di negara orang hanyalah tamu, meski sudah tinggal lama sekali pun. Akan ada perasaan saat kita merasa 'not belong here/there' karena masih adanya perbedaan pola pikir, budaya, serta yang paling mencolok, penampilan.
Sebetulnya dari dulu saya sudah sering jujur suka duka hidup di negara orang. Kalau mengikuti cerita saya pertama kali jadi au pair, kalian bisa tahu jika saya berusaha mengimbangi kenyamanan ini dengan fakta tentang betapa durjananya hidup di luar negeri. Cerita tersebut juga sangat personal karena saya memulai langkah di benua biru ini via jalur mandiri. Artinya, sampai sekarang saya tinggal di luar negeri karena usaha sendiri, bukan ikut keluarga. Karena harus berusaha sendiri ini jugalah, hidup saya di sini jauh dari kata sempurna.
Begitu pun dengan kehidupan para diaspora lain, entah apapun jenis izin tinggalnya. Banyak cerita tentang kehidupan pribadi, pertemanan, hingga pekerjaan yang tak mereka bagikan. Mereka sebetulnya juga stres memikirkan izin tinggal dan integrasi dengan lingkungan sekitar. Bagi pelajar, akan ada perasaan was-was kala memikirkan ujian dan cari pekerjaan setelah lulus. Ada banyak jiwa-jiwa kesepian karena sulitnya membangun pertemananan yang kokoh di tempat asing. Tak terkecuali bagi para pasangan yang sudah punya anak dan membangun keluarga. Permasalahan akan jadi lebih pelik jika hubungan mereka tak berjalan mulus. Banyak juga yang akhirnya kerja gelap demi bisa tinggal lama di sebuah negara. Bahkan, ada sebuah grup pertemanan yang saling menyarankan untuk hamil di luar nikah daripada harus kembali ke Indonesia. Apapun jalan yang mereka ambil, sama saja. Demi apa? Izin tinggal! Yes, betapa beratnya mempertahankan izin tinggal itu, Kawan!
The satisfactions
Semua orang Indonesia ingin pindah ke luar negeri? Ah, tidak juga.
Beberapa waktu lalu heboh di jagad Twitter tentang tuit orang Indonesia yang merasa tak akan pernah bisa tinggal di luar negeri karena perkara makanan. Baginya, kuliner Indonesia adalah surga dunia. Tak terbayangkan jika harus tinggal di negara orang tanpa kemudahan dapat makanan tradisional. Sebetulnya tuit tersebut cukup mewakili orang Indonesia lain yang masih was-was tak bisa lagi makan enak di luar negeri. Opininya tak salah. Tapi namanya juga Twitter, apapun jadi kontroversi. Banyak diaspora Indonesia yang jelas tak sepakat. Alasannya, mudah saja mendapati bumbu serta masakan Indonesia di luar negeri. Ada banyak jalan yang bisa diakali tanpa menjadikan hal tersebut sebagai halangan. Bisa belajar masak sendiri, pesan di katering ibu-ibu Indonesia, ataupun impor langsung dari Indonesia via jasa titip luar negeri. Intinya, jangan manja dan adaptasi saja dengan rasa!
Tapi sebagai orang Palembang yang seringkali kangen cita rasa asli kampung halaman, tuit kegelisahan tersebut sangat relevan dengan apa yang saya alami di sini! Soal rasa memang subjektif, namun kebanyakan makanan Indonesia yang saya temukan di luar negeri cenderung hanya rasa alternatif. Tak khas. Meski ada, namun tak semua bumbu juga dengan mudah ditemukan di toko Asia. Pun makanan yang dijual di restoran biasanya sudah mengikuti selera lokal.
Jujur, ada kalanya juga saya ingin yang lebih spesifik, semisal Pepes Tempoyak Ikan dengan olahan fermentasi durian. Disuruh belajar dan masak sendiri, wahh repot sekali. Ingin pesan ke ibu-ibu katering, belum tentu mereka paham cara membuatnya. Ingin mengatakan saya malas? Ya, silakan. Tak selalu bisa mendapatkan apa yang saya mau? Ya, saya paham. Tapi bagi sebagian orang, persoalan makanan memang perkara serius. Makanan Indonesia adalah comfort food dan saya bisa mengerti perasaan orang-orang yang tak bisa hidup tanpanya.
Meski hanya rasa alternatif, makanan Indonesia selalu terasa mewah di negara orang |
Ada juga cerita tentang orang-orang yang dulunya saya kira terlalu lebay tak bisa hidup di luar negeri karena cuaca dingin. Hampir satu dekade saya tinggal di negara 4 musim, hidup saya nyatanya aman-aman saja. Yang terpenting, pakai pakaian yang tepat dan mencoba berada di dalam ruangan sesering mungkin. Tapi meski secara pakaian sudah benar pun, tetap harus saya akui bahwa musim dingin memang menyebalkan! Sah saja jika ada orang yang mengeluh karena saya pun seringkali dibuat kesal.
Musim dingin di Nordik lebih brutal dari wilayah Eropa lain karena suasananya yang sangat gelap dan depresi. Salju memang indah dan menyenangkan. Itu kalau kita bisa ski, waktunya di akhir pekan, dan kita cuma di rumah. Tapi kalau tiap hari diguyur salju dan harus bekerja pula, malas sekali bangkit dan bersiap pergi menunggu angkutan umum. Belum lagi kalau sudah tebal, salju bisa membuat masalah. Jalanan jadi macet yang berimbas ke tertundanya jam operasional angkutan umum.
Baca juga: Aturan Nama Anak di Wilayah Nordik
Matahari adalah sumber energi dan kebahagiaan. Walau secara sosio ekonomi negara-negara Nordik selalu jadi pemenang negara terbahagia di dunia, tapi mereka juga pengemis kehangatan di musim panas. Saya juga sempat tak percaya saat membaca sebuah artikel yang menyebutkan bahwa the real happiest countries itu justru adalah negara-negara tropis. Matahari yang bersinar setiap tahun, hangatnya budaya kolektif, alam yang selalu hijau layaknya surga dunia, serta gaya hidup santai yang tak selalu mengejar prestasi sejatinya membawa perasaan bahagia yang hakiki. Kalau tak salah, salah satu negara di Amerika Selatan yang jadi pemenangnya. Sayang, saat dicari lagi, saya tak menemukan artikel tersebut yang akan sangat menarik untuk dibagikan.
Semua orang Indonesia ingin ganti kewarganegaraan agar bisa jalan-jalan keliling dunia, memangnya tak perlu duit?
Kecuali yang bersuara adalah the real traveler atau backpacker seperti Trinity Traveler, maka ide untuk keliling dunia meski sudah ganti paspor hanyalah ambisi semata. Ada banyak orang yang saya kenal sudah ganti paspor, tapi gaya travelling mereka tak berubah. Agenda keliling dunia tak selalu ada tiap tahun. Pun rata-rata masih menghabiskan liburan di negara sekitar Eropa karena murah dan dekat. Sebaliknya, orang Indonesia sekarang malah banyak yang bisa afford jalan-jalan keliling dunia dengan segala keterbatasan yang ada. Kalau disuruh memilih jadi kaya di Indonesia atau hidup pas-pasan di negara orang, tentu saja saya akan memilih yang pertama! Haha! Beli tiket kelas bisnis dan jalan-jalan saja keliling dunia setiap tahunnya ala traveller. Saat jadi traveller justru lebih enak karena yang terpampang di depan mata hanya yang indah-indah. Jadi penduduk justru lebih capek karena urusan izin tinggal.
Akan selalu jadi pengingat untuk saya sendiri bahwa mimpi dan kebahagiaan orang itu jelas tak sama. Semuanya berhak fight for what they've dreamed of, dimana pun berada ☺
Kesimpulanmu sama dengan kesimpulan saya, mbak. Kebahagiaan buat tiap orang itu beda-beda. Ada yang berhasil memenangkan American Got Talent, tapi bagi yang impiannya ke tanah suci, atau travelling tentu akan biasa saja. Saya pribadi setelah merasakan tinggal di luar juga tahu apa yang harus dikorbankan bila tetap stay. Dan berhitung worthed nggak. Akhirnya balik ke prioritas hidup dan tujuan (impian) masing-masing. Atau bila sudah berkeluarga juga berpikir ingin anaknya dibesarkan dalam lingkungan seperti apa. Karena ngaruh banget loh lingkungan itu. Kalau ingin hasil A tapi adanya di lingkungan yang B tentu perjuangannya gak gampang.
BalasHapusWalaupun begitu saya mendukung agar banyak orang Indonesia yang mau pergi merantau, agar pikirannya terbuka tentang cara berpikir bangsa lain, dan bagaimana bangsa kita itu. Lepas dari balik atau nggak, its worth to try. Karena kita bangsa kaya raya (natural resource, kuliner, dsb), terlalu ada di zona nyaman. Budaya beberapa suku kita juga tidak mengajarkan untuk menempuh resiko, merantau pergi jauh. Simak saja lagu-lagu pengantar tidur lebih banyak yang mengajak untuk kembali ke kampung halaman ada di samping orang tua. Buat apa karena disini semua ada.
Kalau orang Barat atau beberapa bangsa Asia tertentu memang punya budaya untuk eksplore, merantau, berdagang pergi jauh. Sebab negeri mereka nggak kaya-kaya amat. Tidak melakukan itu bubarlah negaranya. Makanya yang jadi penjajah dulu adalah negara-negara yang begitulah. Mereka maju karena keluar dari zona nyaman. Dan Indonesia adalah harta karun yang sampai sekarang masih diperebutkan pengaruhnya (kalau baca-baca masalah geopolitik seru).
Harapannya kalau orang Indonesia sudah tersebar merantau bisa ada circle yang saling bantu membantu seperti orang Filipina atau Chinese. Kalau akhirnya memilih pindah ke warga negaraan kembali ke impian masing-masing. Atau mungkin setelah cita-cita tercapai akan sampai di satu titik. "Sebetulnya dalam hidup ini apa sih yang dicari?". Karena dimana-mana kepuasaan setelah mendapat thropy ya paling cuma sekian menit. Setelah itu biasa saja. Kecuali tujuannya long lasting.
Mungkin seperti itu,
Tengkyu banget komentarnya! Seru banget baca perspektif kamu :D
HapusIya, bener. Sebetulnya memang begitu, kalo mau maju, memang harus mau berjibaku dengan rasa tidak nyaman. Tapi kan dominan orang2 pada ke luar negeri juga tujuannya untuk hidup nyaman dan mencari rasa aman. Terus kalo di LN udah nyaman, apakah mereka harus eksplor lagi? *just a thought*
Tujuan orang emang beda2 ya. Tapi kalo ada yang memang udah nyaman di Indonesia, kayaknya gak perlu juga jauh2 sampe luar negeri untuk mencari kebahagiaan. Hidup adalah pilihan, ya gak? ;)
Iya karena di Indonesia penduduknya sudah kebanyakan wkwk...masih kaya iya tapi kekayaan tidak merata. Setelah sampai di LN pertanyaan apakah sudah tercapai belum rasa nyaman dan aman? Manusia di stage usia tertentu energi sudah tidak banyak, fokus sudah beda, lebih berkurang juga keinginan eksplorasi atau petualangan, kepingin settle apalagi punya keluarga. Mungkin anak muda dari imigran tersebut yang bisa keluar jiwa eksplorasinya. Semangat eksplorasi dan merantau kadang jadi bagian dari budaya suatu bangsa juga loh.
HapusIya Indonesia nyaman dibanding negara 4 musim. Banyak yang belum sadar saja...
Indonesia nyaman, tapi belakangan ini emang orang2nya bikin puyeng. Kerasa gak? Dari dulu sih sebetulnya, tapi karena medsos ini, jadi kebuka semua kelakuan beberapa oknum :D
HapusUdahlah bener. Lambat laun juga anak2 muda Indonesia membuka jalan menuju new modern lifestyle: merantau sampe LN dan ganti WN.
Udah di beri kenyamanan di negara sendiri, tapi terlalu nyaman gak baik juga, iya gak sih??
BalasHapusKadang orang merantau tuh malah bukan nyari rasa nyaman :D Tapi nyari petualangan, kehidupan yang berbeda dari tempat tinggalnya, nyari tantangan, serta rasa tidak nyaman itulah yang bikin mental lebih kuat.
Hapus