Sudah hampir dua tahun lalu saya menulis postingan tentang upaya pemerintah Norwegia menutup program au pair, tapi sampai sekarang belum ada keputusan pasti apakah rencana tersebut akan jadi kenyataan. Isunya, musim gugur tahun lalu adalah akhir program au pair. Tapi karena dari tahun kemarin isu penerapan biaya kuliah sangat masif dan menarik lebih banyak minat internasional, kabar au pair pun perlahan tenggelam.
Hingga akhirnya, thanks to Peggy Hessen Følsvik, kepala serikat pekerja Norwegia, yang awal tahun tadi mendesak pemerintah untuk kembali tegas menutup program au pair sesegera mungkin. Karena memang sudah jadi agenda awal sejak dilantiknya pemerintahan yang baru, maka dari 3 bulan lalu pengadilan secara umum membuka kolom untuk kritik, saran, serta solusi bagi siapapun yang ingin suaranya berpengaruh di persidangan. Meski tak ikut menyumbang suara, tapi saya giat mengikuti perkembangan terkini serta membaca satu per satu surat yang masuk. Tentu saja, setiap usulan akan menimbulkan pro kontra. Agensi au pair dan host family adalah yang paling terdepan tak menyetujui usulan ini. Sementara para au pair, meski ada juga yang kontra, tapi dominan dari mereka setuju jika program ini dihentikan.
Wacana dengan sejarah panjang
Satu bulan mengawali masa au pair di Norwegia |
Dari dua tahun lalu, saya sebetulnya sudah menanti kabar pasti dari pemerintah. Meski tak berdampak ke saya langsung, tapi informasi teraktual akan sangat membantu bagi siapa pun yang berniat jadi au pair di Norwegia. Di kurun waktu tersebut juga, saya berkenalan dan mendengar kisah beberapa au pair Indonesia yang baru tiba. Bukannya ikut senang mereka bisa memenuhi mimpi ke luar negeri, saya malah dibuat geram dengan perlakuan host family mereka yang semena-mena.
Saya memang 'besar' di Eropa karena program ini. Karena au pair juga lah saya bisa lanjut kuliah dan bekerja di Norwegia. Tapi karena semakin ke sini yang terdengar berita buruknya saja, akan begitu lega rasanya melihat nasib host family yang finally tak memiliki kemewahan lagi punya 'babu fleksibel'. Namun walau sudah dicanangkan dua tahun lalu, pemerintah sepertinya belum melihat adanya urgensi memperbaiki nasib au pair. Apalagi pasca Korona negara kembali menata perekonomian yang baru dan ada banyak isu lain untuk diprioritaskan.
Tapi jauh sebelum itu, wacana penutupan program au pair di Norwegia sudah lama terdengar. Ada banyak pihak yang merasa program ini tak tepat sasaran. Isu tentang au pair selalu jadi kontroversi hampir setiap tahun. Setidaknya dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, sudah 4-5 kali adanya desakan untuk menutup program au pair di Norwegia. Di tahun 2017 ketika masih berada di Denmark, saya sedikit ragu apakah Norwegia adalah tujuan selanjutnya, mengingat sudah ada ancang-ancang dihapuskannya program au pair. Tapi nyatanya tak jadi. Meski sudah masuk persidangan, tapi pengadilan memutuskan bahwa tak ada yang salah dengan sistem saat itu. Hanya ada beberapa hal yang diperbaiki misalnya, kenaikan uang saku, subsidi uang kursus, serta meningkatnya biaya aplikasi izin tinggal.
Baca juga: Hah, Jadi Au Pair Lagi?!
Pengadilan menilai au pair di Norwegia masih menjadi win-win solution bagi kedua belah pihak, au pair dan host family itu sendiri. Keluarga yang memiliki anak bisa terbantu untuk hidup lebih seimbang dan fokus bekerja karena ada tangan ketiga yang membantu di rumah. Sementara bagi au pair, kesempatan ini adalah peluang emas untuk datang ke negara maju, bertukar budaya, belajar bahasa, serta menabung sedikit penghasilan.
Tapi fakta di lapangan menunjukkan yang paling win justru adalah para keluarga. Dari surat pra-peradilan yang saya baca, banyak host family curhat bahwa selama ini mereka sangat terbantu dengan adanya au pair. Mereka bisa bekerja lebih tenang dan punya kesempatan me time lebih sering karena tak stres memikirkan anak. Mereka juga menilai program ini justru banyak membantu para au pair miskin dari negara ketiga memperbaiki perekonomian keluarga. Catat! Mereka melihat au pair di Norwegia tujuan utamanya adalah cari cuan.
Kalau dinilai program au pair di negara ini adalah sebuah sistem perbudakan yang buruk, maka lihatlah negara-negara di Timur Tengah sana! Ada banyak sekali yang memang kenyataannya diperlakukan sebagai 'the real slaves'. Banyak dari mereka yang merasa bekerja sebagai au pair di Norwegia lebih baik ketimbang jadi pembantu di Timur Tengah, curhat salah satu keluarga.
Sebagai negara maju, program ini bisa bermanfaat untuk membantu menurunkan taraf kemiskinan di negara ketiga. Para au pair saya yang dari Filipina setiap bulan selalu mengirim uang untuk keluarga dan bisa membantu adiknya sekolah, curhat keluarga lain.
Tidak ada yang salah dengan program ini. Jangan melebih-lebihkan hal yang tidak perlu! Harusnya pemerintah lebih jeli mengurusi sektor lain yang lebih berguna! tulis salah seorang yang jelas tak setuju program au pair ditutup.
Para keluarga selalu menegaskan poin bahwa program ini dapat membantu au pair miskin memperbaiki ekonomi keluarga. Bahkan ada yang mengatakan bahwa program au pair adalah lapak emas karena seseorang bisa membangun rumah di kampung halaman dari uang sakunya selama 2 tahun. "Where on earth kamu kerja 2 tahun sudah bisa membangun rumah?!" tulisnya. Lucunya, embel-embel pertukaran budayanya justru tak ada. Saya tak menemukan cerita dari keluarga manapun yang mengatakan au pair mereka sukses dalam pertukaran budaya. Misal, "au pair saya satu tahun kursus bahasa sudah lancar mengobrol dengan anak-anak" atau "au pair saya sangat serius embracing Norwegian culture, sampai-sampai 2 tahun sudah pandai ski". Tak ada!
Curhatan para host family hanya menekankan ke uang, uang, dan uang. Mereka berulang kali menyatakan ditutupnya program au pair di Norwegia akan berakibat fatal bagi anak muda yang tak bisa lagi datang ke sini (dan cari cuan). Ironis, apa yang para keluarga ini katakan juga tak salah. Dengan persentase lebih dari 80% au pair di Norwegia berasal dari Filipina, tak heran bahwa yang terlihat di permukaan adalah para au pair yang tujuannya cari uang. Kepada para rekan au pair dari Filipina, kenapa oh kenapa kalian terlalu jujur menjual cerita kemiskinan sampai ending-nya banyak yang dimanfaatkan begini?!
Stop perbudakan Ujung Barat!
Karakteristik perumahan di daerah Ujung Barat Oslo |
Mari sedikit kembali ke sejarah kota Oslo. Penamaan Ujung Barat (Vestkanten) dan Ujung Timur (Østkanten) yang dipakai sampai sekarang, berawal dari abad ke-17 ketika Sungai Aker (Akerselva) membagi Oslo ke dalam dua wilayah. Di tahun 1840, wilayah barat merupakan milik perorangan dengan area belakang kastil sebagai pintu keluar, sementara wilayah timur mulai dibangun banyak pabrik untuk memperbarui industri. Dari gambaran singkat ini, adanya perbedaan gaya hidup dan pekerjaan di dua wilayah jelas ketara. Kelas pekerja yang menghuni bagian barat diisi oleh dokter atau pengacara, sementara banyak pekerja kerah biru bekerja di pabrik industri wilayah timur.
Sejak 1970, membludaknya imigrasi di Oslo juga memberikan pengaruh signifikan terhadap perbedaan wilayah barat dan timur. Imigran dari Eropa Barat dan Amerika Utara memilih tinggal di barat, sementara imigran dari Asia, Afrika, dan Eropa Timur mendiami wilayah timur. Hal ini dikarenakan harga properti, sekolah, dan gaya hidup yang jauh lebih murah dari barat. Dari segi bahasa lokal pun, orang-orang yang mendiami wilayah barat berasal dari kalangan terpelajar menggunakan posh Norwegian, alias bahasa Norwegia yang memenuhi tata bahasa. Sementara wilayah timur lebih ke casual Norwegian yang banyak terpengaruh oleh percampuran bahasa dari negara pendatang lain.
Meski sekarang wilayah timur sudah masif perkembangan dan pembangunannya, namun tetap masih ada sisa perbedaan antara yang mendiami Ujung Barat dan Ujung Timur. Perumahan di wilayah barat cenderung lebih residensial, tenang, dan hijau, sementara wilayah timur lebih terkesan hidup, internasional, dan industrial.
Jadi, apa hubungannya dengan au pair?
Para keluarga kaya Norwegia yang memiliki au pair dominan mendiami bagian barat Oslo. Ada banyak seruan dan demo dari serikat buruh di Norwegia menjuluki program au pair adalah Vestkantslaveriet atau perbudakan Ujung Barat. Dari total 1100 au pair yang sekarang masih berdomisili di Norwegia, hampir 70% dari mereka tinggal bersama keluarga Oslo. Lalu kalau ditelusuri lebih lanjut, para keluarga di Oslo yang punya au pair ini tinggal di wilayah barat. Termasuk keluarga saya dulu.
Baca juga: The Norwegian Host Family
Gaya hidup para keluarga kaya Ujung Barat ini juga super mind blowing. Tak heran mengapa mereka sangat butuh au pair untuk membuat hidup seimbang, bahkan setelah punya anak pun. Di Norwegia sering ada persepsi bahwa au pair dianggap sebagai maskot bagi para keluarga kaya. Rasanya tak epik dilihat kalau punya anak dan banyak duit, tapi tak punya au pair. FOMO!
Norway is a beast!
Beauty and 'The Beast' |
Setelah mengakui Denmark sebagai negara terburuk bagi au pair, saya juga menobatkan Norwegia sebagai negara terburuk selanjutnya. Entah ada apa dengan negara Skandinavia ini. Katanya si negara paling bahagia, negara yang menjunjung kesetaraan, dan negara dengan taraf hidup tinggi. Mengagetkan, ternyata diisi oleh orang-orang tak punya hati nurani. Entah apa yang membuat banyak keluarga memperlakukan manusia lain layaknya budak. Abusing their power as the first world country?
Beberapa pola dan gaya hidup keluarga kaya Norwegia:
1. Para au pair dianggap mama kedua di rumah untuk menyeimbangkan kehidupan yang nyaman bagi host mom. Semenjak punya au pair, si bapak punya banyak waktu olahraga, keluar malam, hingga liburan dengan gengnya. Si ibu bisa dengan leluasa kembali yoga, lari pagi, ngopi di kafe, berpesta ria, hingga mengadakan girls' trip ke luar negeri dengan para besties. Sungguh gambaran nyata work-life balance sebuah keluarga di Norwegia! Saking seringnya have fun dengan besties, pulang-pulang si anak malah lebih dekat dengan au pair ketimbang orang tua asli mereka.
2. Orang Norwegia sangat doyan mengadakan pesta di rumah mengundang para keluarga dan kerabat. Namun siapa yang paling repot kalau ada acara? Ya jelas, au pair! Dari pagi hingga malam au pair disuruh bebersihan, melayani tamu, hingga ada juga yang masak untuk pesta. Diajak ikut pesta dan mencicipi makanan satu meja? Boro-boro!
3. Para keluarga yang mengatakan "kita suka masakan Asia" itu sebetulnya salah satu bentuk eksploitasi. Faktanya, mereka hanya malas masak! Saya tahu ada au pair yang setiap hari jadi koki di rumah karena host family-nya suka sekali masakan Asia. Meski si au pair hepi saja masak setiap hari, sangat tak adil sudah disuruh mengerjakan pekerjaan rumah, jaga anak, sorenya harus kembali ke dapur menghidangkan makanan untuk keluarga.
Baca juga: Au Pair: Tukang Masak Keluarga
4. Yang paling mengagetkan bagi saya saat tahu ada au pair yang pernah disuruh membuat presentasi kerja host mom! Gila! Au pair ini katanya punya gelar S2 Ekonomi Bisnis dari negara asalnya dan lebih paham tentang data dan grafik. Suatu hari, si host mom merasa tak punya waktu membuat presentasi, lalu si au pair inilah yang mengerjakan tugas tersebut. Saya juga pernah dengar ada host family yang mengeksploitasi au pairnya jadi guru privat anak saat tahu si au pair ini pandai main piano dan mengajar bahasa Inggris. Please, jangan terlihat pintar-pintar amat di depan keluarga kaya arogan ini!
5. Babu bergilir alias jasa au pair seringkali dipinjamkan ke teman dan keluarga host family yang sedang butuh tukang bersih-bersih. Para au pair ini mau-mau saja kerja gelap jadi cleaning lady karena diimingi-imingi NOK 200-250/jam. Bagi keluarga kaya Norwegia, uang tersebut tak seberapa dibandingkan mendatangkan tukang bersih-bersih asli dari agensi yang biayanya paling sedikit NOK 400/jam. Untuk au pair, berapapun uang yang diterima sangatlah lumayan untuk jajan dan tabungan. Tak hanya itu, di sebuah artikel lain yang saya baca, seorang au pair bahkan pernah disuruh jaga butik milik host family! Speechless! (Baca juga: Berapa Sebetulnya Gaji Nanny dan Cleaning Lady di Norwegia?)
6. Au pair di Norwegia itu bukan bagian dari keluarga. Sadarlah! Kalau memang para keluarga ini benar-benar menganggap kita sebagai bagian dari mereka, harusnya hidup kita di Norwegia setara. Makan bersama, party bersama, travelling bersama, mengurus anak serta bersih-bersih rumah bersama. Host family juga harusnya adalah orang pertama yang kita percaya dan bisa kita mintai tolong di negara ini. Bukan malah sebaliknya.
It comes to an end
Menunggu matahari musim panas terbenam di Oslomarka |
Meskipun terdengar sudah diambang penutupan, namun tetap ada desas-desus bahwa mengubah sistem au pair yang sudah ada tak semudah membalikan telapak tangan. Banyak yang masih percaya bahwa program ini lebih condong memberikan dampak positif ketimbang negatif. Salah satu badan sosial yang terlibat dalam proses au pair memberikan fakta mengejutkan bahwa hanya 2,3% saja au pair yang diperlakukan buruk. Data tersebut didapat dari umpan balik para au pair yang vokal menceritakan pengalamannya ke mereka. Organisasi ini yakin bahwa ada banyak au pair yang kenyataannya sangat bahagia tinggal di negara ini. Padahal kalau ingin mendata dengan adil, mereka harusnya mewawancarai semua au pair yang tinggal di Oslo.
Jujur saja, saya dibuat kesal sendiri saat membaca surat dari para organisasi ataupun agensi yang katanya sangat pro au pair itu. Saya tak pernah melihat para organisasi ini berjuang demi kemaslahatan au pair. Mereka hanya menampung keluh kesah, namun tak bisa memberikan solusi dari tiap masalah. Misal, secara tegas mem-blacklist dan melaporkan para keluarga yang jelas-jelas abusive dan eksploitatif. Ada banyak au pair yang malas berkonsultasi karena tak ingin memulai drama dengan host family. Ada banyak juga yang malas pindah keluarga karena takut tak akan mengubah nasib. Hal tersebut terjadi karena organisasi ini juga tak seratus persen membantu menyaring keluarga bermasalah. Hingga saatnya program ini akan ditutup, mereka pusing sendiri cari suara untuk mengubah hasil sidang.
Baca juga: The Story of 'Malu Jadi Au Pair'
Namun menyalahkan agensi dan badan terkait saja juga tak adil. Ada banyak faktor yang menyebabkan para keluarga bisa semena-mena terhadap au pair mereka. Kultur Asia yang sangat naif, tak vokal, terlalu loyal, dan seringkali mendahulukan perasaan ketimbang akal, bisa jadi boomerang untuk mengeksploitasi au pair itu sendiri. Banyak keluarga yang merasa kita bahagia dan menerima apa adanya karena kita hanya diam. Kita tak pernah jujur dengan perasaan sendiri. Kita takut. Kita merasa sendiri. Mereka juga beranggapan tujuan kita ke Norwegia memang hanya untuk cari uang, karena surat motivasi yang kita buat lebih banyak jual cerita kemiskinan. Terlebih lagi, kemampuan bahasa dan komunikasi kita yang tak terlalu baik dapat menimbulkan miskomunikasi dan mispersepsi. Sebelum minta tolong orang, kitalah yang harus menolong diri sendiri dulu. Belajar untuk lebih terbuka, lebih berani dalam bersuara, dan melihat bahwa para keluarga ini juga manusia biasa yang sebetulnya juga desperate kalau ditinggal au pair.
But well, masih libur musim panas. Sesi kolom komentar, saran, dan kritik sudah ditutup akhir Juni tadi. Sekarang tinggal menunggu akhir liburan dan mengikuti perkembangan terbaru dari kasus ini. Masih ada waktu bagi yang ingin jadi au pair di Norwegia. Sebelum ketuk palu, pengadilan masih mengulur waktu untuk menimbang dulu saran dari semua pihak. Dari yang saya baca juga, imigrasi Norwegia hanya memberi masukan ke pengadilan tentang batas permohonan izin tinggal jika program ini akan ditiadakan. Misal, permohonan terakhir untuk aplikasi perdana au pair adalah XX.XX.202X. Sementara katanya hal ini tidak akan berdampak ke para au pair yang sudah memiliki izin tinggal di Norwegia dan berniat ganti keluarga. Mari kita lihat sampai akhir tahun!
Kalian sendiri bagaimana, setuju atau tidak dengan penutupan program ini? Mengapa?
Komentar
Posting Komentar