Awal tahun depan genap sudah saya 10 tahun tinggal di Eropa, tepatnya mondar-mandir di 3 negara. Harusnya sudah bisa ganti kewarganegaraan atau jadi penduduk tetap kalau saya fokus membangun nasib di satu tempat. Tapi karena izin tinggal juga "kontrakan" alias masih tak tentu, maka sampai sekarang nasib saya belum stabil di tanah orang.
Namun siapa sangka sudah selama itu, padahal yang paling teringat baru 2 tahun lalu saya lulus kuliah. Yang terasa kalau baru lulus, masih fresh from the oven. Pengalaman masih seusia jagung. Baru lahir, baru berkembang, baru ketemu dunia sesungguhnya. Yang harusnya dari kecil asa saya cuma ingin lanjut kuliah di luar negeri, jadi punya kesempatan tinggal selama ini.
Satu dekade bukan waktu yang sebentar menghabiskan usia 20-an di negara orang. Apa tak ada niat untuk pulang? Oh, jelas saja, ADA! Sering malah. Yang menyuruh saya pulang juga banyak. Tapi, kenapa masih di sini?
1. Ketagihan au pair
Belgia, 2014. Membuka kembali album foto saat pertama kali ke Belgia cukup membuat mellow. I was so simple back then. Less expectations, more creative. |
Kembali ke awal mula jadi au pair di Belgia 9 tahun lalu, sebetulnya niat saya kala itu hanya sesimpel ingin ke negara orang dengan budget seminimal mungkin. Lulus kuliah adalah waktu yang paling tepat. Saya yang memang belum ingin membangun karir di Indonesia, melihat au pair adalah kesempatan terbaik untuk datang ke negara orang sekalian bertukar budaya. Betul, karena saat itu saya memang sedang passionate belajar bahasa dan budaya asing, dibuat sangat excited sekali saat tahu ada program sejenis au pair ini. The purpose definitely matched my value.
Meski sempat ada tantangan di awal minta restu orang tua, namun inilah langkah awal saya menjelajah Benua Eropa. Dengan bantuan modal 5 juta dari ibunda, saya akhirnya berhasil menginjakkan kaki di Belgia saat musim semi. Bagusnya, ekspektasi saya sudah ditakar dari Indonesia. Saya tak selalu percaya dengan semua tulisan orang di internet yang terlalu mengglorifikasi luar negeri. Di pikiran saya, luar negeri tidak senyaman dan sesempurna itu. Makanya saat ada masalah dengan host family di minggu-awal kedatangan, saya tahu apa yang harus dilakukan. Karena tentu saja, jawabannya bukan pulang.
Baca juga: 5 Tanda Kamu Ketagihan Au Pair
Merasa tujuan di Belgia belum tepat sasaran, maka saya putuskan untuk jadi au pair lagi kedua kalinya. Walau sempat tertarik ke Prancis untuk mendalami bahasa, namun langkah saya berlabuh di Denmark. Lapak orang Filipina, kata rekan sesama au pair saat itu.
Berbeda dengan hiruk pikuk keluarga angkat sebelumnya, hidup saya di Denmark akhirnya lebih berwarna. I tried so hard to go beyond the limit. Mencoba apapun yang tak bisa atau tak pernah saya lakukan di Palembang maupun di Belgia; mulai dari agenda rutin mampir ke museum seni, ikut banyak kegiatan sukarelawan, travelling solo, super sosial berkenalan dengan orang baru hampir tiap minggu, hingga (finally) bisa join kelas desain berbahasa lokal. Ada juga masa dimana hampir tiap bulan saya sibuk jalan-jalan sampai selalu kehabisan uang jajan dan muak sendiri. Tapi di negara ini jugalah saya merasa menjadi pribadi yang kreatif, berani mengambil resiko, dan punya banyak ruang untuk jadi lebih eksploratif. Definitely best au pair years in my life — meskipun negara ini sangat tak ramah au pair!
Hingga di suatu titik saya merasa, "okay, it's enough!". Cukuplah 3 tahun jadi au pair di negara orang menghabiskan awal 20-an dengan segala gegap gempita di masa muda. Tiga tahun ini sebuah momentum bisa jalan-jalan sebagian besar wilayah Eropa, kenalan dengan banyak orang dari kultur berbeda, dan menuntaskan cita-cita jadi au pair 'sukses'. Now it's time for the real world; being an adult and building a career. Cari uang dan pekerjaan yang benar. Yang tentu saja, tidak di Denmark. Saat itu saya putuskan untuk pulang for good dan cari kerja di Indonesia.
2. Imajinasi tabungan segunung
Denmark, 2017. Buah dari keisengan saya setelah selesai au pair di Denmark menunjukkan jalan yang lebih panjang di Norwegia. |
Tiga minggu sebelum pulang ke Indonesia, saya iseng membuka lagi profil au pair untuk cari keluarga di Norwegia. Yes, harusnya memang cuma iseng! Saat itu saya hanya ingin melihat, untuk au pair berpengalaman 3 tahun seperti saya, kira-kira butuh waktu berapa lama untuk dapat keluarga angkat. Niatnya, cerita ini akan saya bagikan di blog sebagai persepsi baru bahwa pengalaman panjang tak menjamin dapat keluarga lebih cepat. Namun siapa sangka, keisengan saya ini ternyata membuka jalan yang lebih panjang untuk tinggal lebih lama di Norwegia. Ya, saya menemukan satu keluarga yang sangat serius mengundang saya jadi au pair mereka.
Sejujurnya, keputusan ini termasuk yang terberat kala itu. Dari pihak host family di Norwegia inginnya saya segera memberikan jawaban. Namun di satu sisi, saya yang baru pulang masih ingin bersantai dulu sambil memikirkan rencana hidup matang-matang. Apalagi saat itu saya sudah dirayu untuk eksplorasi dan cari pekerjaan di Bali, yang memang sering jadi tujuan mantan au pair saat pulang ke Indonesia. Dimana lagi di Indonesia selain di Bali, tempat yang bisa mendekati kenyamanan yang pernah kita miliki di Eropa. Beberapa rekan mantan au pair yang sudah menetap di Bali pun sebetulnya sangat menyemangati saya untuk berkarir di Denpasar ketimbang 'membabu' lagi di Eropa.
Baca juga: Hah, Jadi Au Pair Lagi?!
Logisnya, mudah saja langsung menolak keluarga tersebut jika memang berniat berkarir di Indonesia. Tapi beberapa petunjuk kecil sedikit menggoyahkan keputusan saya. Misalnya, dari 6 keluarga angkat yang menarik, hanya 2 yang juga tertarik ke saya. Dari 2 ini pun, hanya 1 yang akhirnya sangat tertarik mengundang saya langsung ke Oslo di minggu yang sama setelah wawancara. Saya hanya punya 1 pilihan yang ternyata sangat serius dan menjanjikan. They looked like a normal family with extra luxury. Dari semua fasilitas dan benefit yang ditawarkan, saya yakin pengalaman au pair sekali ini akan jauh lebih kaya ketimbang dua negara sebelumnya. But, is it worth to try one more time?
Saya belum tahu. Yang saya sadari kala itu, Bali bukanlah tempat yang ingin saya tinggali. Setelah kunjungan kedua ke sana, ternyata saya masih cinta dan lebih nyaman tinggal di Palembang. Haha! Entahlah, Bali terasa sangat asing. Tak ada bayangan saya akan tinggal dan membangun kehidupan baru di sana. Kalau pun jadi au pair adalah jalan yang akan saya ambil, maka kali ini niatnya ingin menabung, bukan foya-foya seperti dulu. Saya harus lebih bijaksana dengan pengeluaran karena kumpulan uang ini diharapkan bisa menjadi investasi saat pulang ke Indonesia, ataupun kalau suatu hari ingin sekolah lagi.
3. Mimpi di depan mata
Universitas Oslo, 2019. Lima bulan sebelum kontrak selesai, saya meneruskan kuliah S2 di Universitas Oslo (UiO) dan memulai status baru sebagai seorang mahasiswa. |
Meski tak pernah menyesal menghabiskan separuh usia 20-an jadi 'babu di Eropa', namun tetap ada kehampaan saat menyadari selama 5 tahun ke belakang yang bisa saya lakukan hanyalah mengurus anak dan membersihkan rumah. Saya rindu tantangan. Saya rindu kembali ke bangku kuliah. Saya rindu ujian. Saya rindu punya teman sekelas yang satu visi misi. Saya rindu mimpi awal ke luar negeri itu sebetulnya ingin lanjut sekolah. Kalau pun harus pulang for good, setidaknya ada yang bisa saya bawa ke rumah; yaitu ijazah S2 keluaran kampus luar negeri. My mom would be proud!
Baca juga: I Made It: Dari Au Pair Sampai Wisuda S2!!
Bagusnya, au pair memang bisa jadi batu loncatan melihat peluang baru di negara orang, termasuk memperpanjang izin tinggal. Di bulan kedua kedatangan di Norwegia, saya sudah bertekad untuk lanjut kuliah master di tahun berikutnya. Meski cukup mudah diterima di Universitas Oslo, namun perjuangan saya mengganti dan mempertahankan izin tinggal pelajar ini luar biasa sulitnya. Apalagi saat itu saya memang nekad membiayai semua biaya hidup sendiri, tanpa beasiswa. Pandemi jadi awal masalah baru ketika banyak orang di-PHK dan tak mampu lagi menutupi biaya hidup bulanan. Termasuk saya yang hanya mengandalkan penghasilan dari bekerja paruh waktu.
Setelah dua tahun 'membelah sebagai amoeba' menyisihkan waktu untuk cari uang dan belajar, tesis pun kelar dan saya wisuda tepat waktu dengan nilai memuaskan. Sulit bagai merangkak, namun akhirnya badai berhasil terlewati karena bantuan orang-orang baik juga. What a challenging life I had after au pair! PR selanjutnya adalah mencari pekerjaan yang juga sebuah tantangan sebagai lulusan baru. Namun karena sebelum lulus saya sudah bekerja penuh waktu di sebuah perusahaan, maka bisa ditebak rencana saya setelahnya adalah ingin membangun karir di negara ini.
4. Menua di Eropa
Norwegia, 2020. Menolak tua di Eropa karena kamu tetap bisa jadi apapun yang kamu mau, belajar dari awal, dan ganti karir di usia 40 tahunan. |
Jangan ditanya sesering apa ibu saya menyuruh untuk pulang dan berkarir di Indonesia. Baginya, meskipun sangat membanggakan melihat saya bisa lulus kuliah dan punya pekerjaan di luar negeri, tetap ada kehampaan saat jauh dari anak. Terlebih lagi, beliau yakin ada banyak pekerjaan di Indonesia yang menunggu saya sebagai lulusan kampus luar. Tapi karena sudah terikat kontrak dengan perusahaan di sini, maka ada alasan untuk bertahan dulu di Norwegia. Di satu sisi, cari uang di negara maju efeknya akan sangat cepat terasa di Indonesia. Salah satunya, saya tak perlu menabung lama untuk membeli tiket pesawat dan memberangkatkan keluarga ke Eropa.
Namun dari semua alasan yang ada, faktor umur adalah hal yang paling menguatkan saya untuk memperpanjang izin tinggal di Norwegia setelah lulus kuliah. Saya sadar sudah cukup terlambat untuk mulai di Indonesia. Not a good excuse, I know. Tapi mengingat usia produktif wanita di Indonesia terhenti di mid-20s, sementara saya saja baru mulai kuliah lagi late-20s, ada gap yang terlalu kompetitif. Berkarir di Eropa justru sebaliknya. Ada banyak kolega saya yang bahkan baru kuliah S1 di akhir 20-an dan memulai karir pertama mereka di pertengahan 30-an. Semuanya terlihat masih normal.
Pola pikir saya pun ikut berubah ketika tahu usia mapan di Norwegia dimulai saat 34 atau 35 tahun, bukan 25 tahun layaknya di Indonesia. Di usia ini diharapkan banyak dewasa muda sudah punya karir yang bagus dan uang yang cukup untuk membeli properti pertama mereka. Tak ada kata tua bagi yang usianya baru menginjak kepala 3. Ingin ganti karir di usia 40-an pun, masih bisa. Bahkan ada ibu-ibu yang baru melamar jadi pramugari di usianya mendekati 50 tahun, dan diterima. Sangat memungkinkan untuk mengejar atau mengganti karir apapun yang kita mau tanpa takut memikirkan usia. Pemerintah setempat bahkan memberikan pinjaman lebih bagi para dewasa muda di usia >30 tahun untuk sekolah lagi.
Hal inilah yang membuat saya tak pusing memikirkan milestones dan ambisi apa yang harus dikejar dalam waktu singkat. Saya tahu saya terlambat di Indonesia, tapi saya ingin memulainya dengan perlahan di Eropa. Mulai membangun karir yang harusnya sudah saya lakukan beberapa tahun lalu.
5. Kobaran dari sisa harapan
Indonesia, 2022. Tahun yang berat dan berulang kali kangen Indonesia. Seringkali ingin menyerah dan memunculkan pertanyaan, apa memang ada tempat untuk saya di Norwegia? |
Puncaknya ketika perusahaan mem-PHK akhir tahun lalu, saya menemukan fakta bahwa negara ini sama sekali tak memihak ke pengangguran non-EU. Meski tiap bulan selalu membayar pajak tinggi, namun tak ada yang negara ini bisa lakukan ketika seseorang seperti saya kehilangan pekerjaan. Uang pesangon pengangguran dari negara hanya diberikan ke kelompok tertentu. Pajak yang saya bayarkan nyatanya hanya hangus termakan fasilitas maju. Belum lagi saat cari pekerjaan baru, sulitnya bukan main karena kompetisi yang begitu sengit di awal 2023. Sudah dapat pekerjaan, ternyata takdir belum memihak dan kontrak ditarik lagi. Kalau dipikir, kenapa nasib saya bisa setidakhoki ini?!
Baca juga: Berhutang Demi ke Luar Negeri
Keluarga dan teman-teman di Indonesia sering kasihan mendengar cerita saya di Norwegia yang kelihatannya selalu pedih oleh perjuangan. Ada banyak panggilan dan rayuan untuk pulang. Ada banyak yang masih percaya bahwa nasib saya di Indonesia bisa lebih baik. Saya pun percaya itu. Saya juga ingin pulang. Lelah rasanya bertarung di negara orang. Mental saya sudah cukup tertekan.
Tapi... izinkan saya bertahan sedikit lagi. Masih ada banyak semangat, terutama dari mantan kolega di sini yang berulang kali meyakinkan saya untuk terus cari pekerjaan baru. Mereka selalu percaya bahwa kesempatan saya di negara ini akan selalu ada. It's all about timing, kata mereka saat itu. Dari mana lagi saya bisa bertahan selama ini kalau bukan dari kepercayaan dan sisa harapan yang ada. Bodoh, tapi inilah jalan yang saya pilih.
6. Selangkah lagi!
Spring in Norway, 2023. Belum tahu akan ada kejutan apalagi akhir tahun ini maupun tahun depan. Norway is always surprising! |
Hanya saja, kalau dirunut lagi mengapa saya masih kuat bertahan setelah tiap tahun badai menyerang, mungkin karena sudah sejauh ini. Melihat lagi ke belakang bagaimana saya memulai perjalanan, lalu berhasil satu per satu melewati rintangan sendiri, rasanya sayang sekali untuk menyerah. Nyatanya, selalu ada solusi dari tiap masalah. Kalau pun memang ingin menyerah, harusnya dari 2020 masa pandemi kemarin langsung pulang saja ke Indonesia. Tanpa ijazah, tanpa cerita lelah mencari kerja, mungkin dengan mudah saya move on ke kehidupan selanjutnya.
Sekarang menjadi beda karena dari dua negara yang saya tinggali sebelumnya, Norwegia adalah negara terlama tempat saya mengadu nasib. Ada mimpi yang berhasil saya capai di tempat ini. Ada kehidupan yang saya bangun. Ada prospek karir yang terus menanti di masa depan. Memang menjalaninya penuh ketidaknyamanan. Tapi karena tantangan sebelumnya selalu berhasil dilalui, saya yakin ke depannya akan jauh lebih mudah dihadapi.
Baca juga: Ketika Nasib Membawa Mu Pulang
Juga, karena berhasil mempertahankan izin tinggal yang sekarang, saya selangkah lagi bisa mengukuhkan diri sebagai penduduk tetap (permanent resident atau PR) Norwegia. Yang artinya, masa tinggal saya menjadi tak terbatas di negara ini dan saya bisa mendapatkan semua benefit yang kemarin tak saya dapatkan layaknya orang lokal. Oh, I miss that security! Tak tahu apakah proses menjadi PR jalannya mulus ataukah akan ada kejutan lain selanjutnya, kita lihat saja nanti. Walau bagaimana pun, manusia hanya bisa berencana dan Tuhan yang menentukan.
Namun yang paling membanggakan jika berhasil sampai di tahap ini adalah, menjadi sebuah prestasi terbesar dalam hidup saya bisa berjuang di tanah orang dengan mandiri. Mandiri bukan berarti tak butuh bantuan. Tapi membuktikan ke banyak orang bahwa saya yang mantan au pair ini bisa mulai dari 0 dan bertahan di luar negeri tanpa mengandalkan lelaki. Adalah sebuah mitos bahwa mantan au pair hanya bisa bergantung ke sebuah hubungan untuk tinggal lama di sebuah negara. No, they could pick other 'nicer' paths. Hanya saja jalannya memang pelik. Tak semua orang mampu, mau, dan punya kesempatan.
Go, warriors!
Cerita nya melebihi alur cerita film Hollywood. Perjuangan mu layak disimak setiap post utk melihat perjuangan mantan au pair utk menjadi seorang yg sukses yg mengandalkan konsistensi, kerja keras dan gampang menyerah. Layak menjadi teladan bagi au pair2 seluruh dunia. Tusen Takk!!
BalasHapusWaduh! ((Au pair2 di seluruh dunia)) Hehe..
HapusI doubt it! :p
Tiap au pair pasti punya jalan dan cerita suksesnya masing2. Sekali lagi, sukses ku bukan untuk semua orang. Aku pun berharap para au pair lain jalannya bisa lebih baik dari aku. Tapi aku setuju dengan komentar kamu yang bilang kalo untuk tinggal di luar negeri jalur mandiri emang dibutuhkan konsistensi, kerja keras, dan gak gampang menyerah :)
Cheers!
Waaaa akhirnya, selalu setia nunggu cerita kak Nin. Aku cuma merantau di Sumbawa aja dan merasa gak punya peluang pekerjaan di sana, memutuskan untuk pulang ke Jawa. Selang 2 bulan dengan mudahnya aku dapat pekerjaan yang banyak orang inginkan. Terkadang bertahan / melepaskan sesuatu yg sudah kita perjuangkan lama itu memang sulit. Apapun keputusan kita bertahan / lepaskan pasti tuhan punya alasan untuk itu semua.
BalasHapusBener banget!!!! Temen2 ku juga dari dulu bilang, kalo cuma perkara kerjaan yang aku pengenin sekarang, sebetulnya marketnya banyak banget di Eropa lain ataupun Indonesia. Gak perlu takut untuk merelakan Norwegia/luar negeri in general, karena nasib ku bisa aja lebih baik di tempat lain.
HapusNamun entahlah, aku kayak masih terpikir bakalan punya harapan di negara ini. Mungkin juga karena udah ampir 6th di sini, makanya aku pengen kayak optimal aja di satu tempat daripada mesti pindah2 mulu. BUT, who knows, sekalinya pindah malah semuanya lancar jaya. Kan bisa aja ya :/
Kayak kamu yang akhirnya melepaskan Sumbawa dan balik ke Jawa. Tapi kalo dipikir2, make sense gak sih kalo peluang di Jawa memang sebetulnya lebih gede daripada di Sumbawa? :)
Halo Kak, Sori ini agak menyimpang komen saya. saya mau tanya kak, saya pemegang visa d tetapi saya sudah punya residence permit card (ktp). kan sticker visa uda expired tuh kak tp kan aq ktp masih valid ampe 2024. kalo balik indo harus ada sticker visa ato dengan ktp Belgia cukup kak? mksh kak.
BalasHapusShort answer: CUKUP
HapusVisa itu kunci masuk Schengen, sementara izin tinggal itu yang mengukuhkan kamu jadi penduduk di suatu negara. Kalo udah jadi penduduk, ya ngapain lagi butuh kunci kan?
Pertanyaan kamu sebetulnya pernah aku bahas di sini ya: https://www.artochlingua.com/2019/04/visa-dan-izin-tinggal-residence-permit.html
Kalo ada waktu, coba kopi dan buka aja postingan dari link tsb :)
Senang membaca tulisan-tulisan kamu Nin... saya belakangan sering mampir karena diminta menuliskan artikel tentang negara-negara Skandinavia. Melihat banyak tulisan lain rasanya terlalu muluk dan kok indah banget tanpa minus... tapi tulisan kamu Nin memberi view yang relate bahwa di tiap negara pasti ada kok hal yang tidak menyenangkan. Semangat Nin... saya ibu dari 3 anak berharap kelak anak-anak saya bisa menjelajah negara lain dan belajar dari sana...
BalasHapusTerima kasih banyak, Bu/Mbak.
HapusSemoga anak2nya kelak juga bermental baja dan bisa menjelajah/hidup di negara orang juga ya. Ada banyak banget pembelajaran yang bisa kita dapatkan di negara orang dan sesungguhnya bisa lebih mensyukuri negara asal; biasanya soal makanan. Haha!
Go, warriors!!
BalasHapusSemangat dan pantang menyerahnya layak banget ditiru mba!
Saya pun termotivasi dari cerita-cerita mba Nin di sini.
Semoga dimudahkan untuk dapat permanent residence nya ya mba.
Saya pun punya cerita dari teman yg berjuang sendiri di Jepang, dan gimana jatuh bangunnya dia di sana. Biayain kuliah sendiri dengan hasil kerja part time, sampai akhirnya berbuah manis. Emang butuh waktu, dan seperti yang temen mba Nin bilang "It's all about timing". Saya pun percaya, bahwa kesempatan kita akan datang, jika memang sudah waktunya. Tidak akan ada yang tertukar. Perkara kita percaya dan sabar! Semangat mbaaaa!!!
Bener!!!
HapusTIMING. LUCK. CHANCE. PRIVILEGE.
Semuanya tuh bener2 ngaruh banget untuk kesuksesan tiap orang. Ada yang hokinya jelek, tapi punya kesempatan gede di saat timing-nya tepat. Ada juga yang meski luck dan punya privilege, tapi kalo timing-nya gak tepat, ya nunda pasti.
Tahun 2024 pokoknya aku idup slow mellow aja. Belajar dari tahun sebelumnya, lebih soft sama diri sendiri dan lebih banyak listen to my own gut. Mudah2an kalo rejekinya udah di depan mata, pasti akan kebagian juga.
Makasih banyak udah mampir lagi ke blog dan komen di sini :)