Mungkin banyak yang belum cerita, tapi salah satu duka tinggal di Norwegia adalah sulitnya menemukan tempat makan yang kualitas dan standarnya sebanding dengan kantong. Meski sudah terucap berulang kali lewat Instagram pribadi, namun kali ini saya ingin berbagi lagi derita jajan di utara Eropa yang standar makanannya sukar cocok dengan lidah. Tapi kali ini mari fokus ke Norwegia, salah satu negara terindah yang dicanang banyak orang sebagai one of the perfect places to live in.
Penafian: saya bukanlah seorang gastronom atau connoisseur, tapi hanya seasonal foodie yang kebetulan punya kesempatan mencicipi gourmet hingga street food di beberapa negara saat travelling. Selain hobi nonton acara masak-masak, saya juga sedikit tahu tentang beberapa olahan dan teknik masak dari keluarga – meskipun saya sendiri kurang pandai mengaplikasikannya di dapur. Masalah rasa pun sangat subjektif dan cerita yang ada di sini murni opini pribadi hasil dari kegelisahan seorang pendatang terhadap pilihan jajanan yang ada di Norwegia.
1. Kopenhagen si ibukota wisata kuliner Skandinavia
Budaya makan dan nongkrong di Kopenhagen menjadikan kota ini salah satu opsi wisata kuliner di benua Eropa |
Ketika bicara tentang Eropa Utara, saya sebetulnya tak merujuk ke seluruh wilayah Nordik. Denmark bagi saya adalah pusat kuliner terbaik seantero Nordik yang makanannya worth to try. Selain keunggulan pastry, cari makanan lezat di Kopenhagen tak sesulit di Norwegia. Tak cuma soal rasa, tapi harga serta kualitasnya sebanding dengan apa yang kita dapatkan. Stockholm sebagai ibukota Swedia pun, menurut saya, masih kalah dengan Kopenhagen dari segi wisata kuliner.
Kembali ke masa au pair di Denmark 8 tahun lalu, saya yang memang suka eksplorasi ini baru tahu ternyata cara bersenang-senang di ibukota memang tak murah. Tiap akhir pekan, jalanan serta angkutan umum di Kopenhagen selalu dipenuhi muda-mudi yang berdandan rapi siap menjelajah malam. Penasaran, saya jadi tertarik ikut menyesapi kehidupan santai ala anak muda Denmark nyaris tiap minggu bertemu teman-teman baru di bar, kafe, sekalian mencicipi beberapa restoran. Yes, it cost a lot of money - apalagi posisi saya saat itu masih au pair.
Tapi tak ada yang disesali. Selain kehidupan malamnya yang lively, Kopenhagen menawarkan banyak tempat nongkrong dan makan enak yang kamu tak harus datang dulu ke fine dining restaurant untuk mendapatkan kualitas memuaskan. Ingin santai, hampir tiap sudut publik Kopenhagen diisi kafe mungil yang menawarkan atmosfir nyaman layaknya rumah. Cocok dengan konsep hygge ala orang Denmark. Kafe-kafe ini pun sedikit berbeda dengan warung kopi di luaran yang interiornya selalu dibuat seindustrial mungkin dan terkesan mainstream. Saat sedang bosan di rumah, saya biasanya melipir sebentar memesan Chai Latte yang entah kenapa, versi Denmark jauh lebih manis dan gurih di mulut dibandingkan Chai Latte di tempat lain.
Dari rasa, penampilan, ukuran makanan, sampai harga, semuanya selaras! Gambar: salah satu menu dari 10-course menu restoran di Denmark yang terlihat seperti sebuah kuratan seni. |
Karena banyak hidden gems di tiap sudut, saya jadi selalu tertantang mencoba banyak tempat baru setiap minggu. Beberapa cowok yang saya kencani di Denmark juga kadang mengajak ke tempat-tempat asik saat first date yang atmosfirnya nyaman tanpa takut awkward. Tak mesti kafe, beberapa bar dan restoran santai juga selalu masuk dalam daftar. Saking seringnya jelajah dan tahu banyak tempat, dulu beberapa teman sering kali minta rekomendasi tempat seru untuk nongkrong atau kencan.
Tak ada yang menyangka bahwa kota sekecil Kopenhagen memiliki perkembangan sejarah kuliner yang berfokus ke bahan-bahan lokal dan musiman; meluas dari food hall sampai food truck. Dengan total 31 restoran Michelin yang ada di ibukota, tak heran mengapa kota ini dicap sebagai ibukota kuliner di Skandinavia. Dibandingkan Stockholm yang punya 12 restoran serta Oslo yang hanya punya 6, masuk akal mengapa saya condong membandingkan alternatif jajanan seantero Nordik dengan Denmark.
Tak hanya penganannya yang mendunia, tapi juga inovasi para koki untuk menciptakan cita rasa yang kaya menggunakan bahan-bahan segar, menjadikan sepiring makanan layaknya maha karya. Kalau ada yang mengatakan jajan kuliner di Kopenhagen itu mahal, memang iya kalau dibandingkan dengan Indonesia. Namun dibanding dengan rasa dan servis yang ditawarkan se-Eropa Utara, harga yang kita bayar sangat sepadan dengan apa yang didapatkan. Bagi kalian yang tertarik wisata kuliner di Kopenhagen, cobalah untuk lebih open minded tak melulu harus datang ke restoran Asia saking apapun yang dijual di sini hampir semuanya memuaskan lidah.
2. Susahnya cari makanan enak di Oslo
Awal kedatangan ke Norwegia beberapa tahun lalu, saya sempat membaca keluhan para turis yang merasa tak bisa menemukan banyak keseruan di ibukota. Mereka yang membayangkan Oslo layaknya Amsterdam atau Stockholm, akan dibuat sangat kecewa ketika tahu ibukota Norwegia bahkan seringkali sepi di akhir pekan. Oslo memang tidak diciptakan bagi si pecinta kehidupan malam, tapi alam. Penduduk Oslo justru tak doyan cari keramaian, tapi melarikan diri ke pegunungan atau hutan dari Jumat sore.
Saat ragu ingin Western food, cuma masakan Italia yang rasanya masih masuk dengan lidah |
Meski ingin menghabiskan akhir pekan di ibukota pun, kehidupan malam di Oslo faktanya tak semenarik itu. Bir dan alkohol di bar sangat mahal. Cari jajanan yang kualitas dan harga selaras adalah sebuah tantangan. Seorang pendatang asal India yang sempat kerja di Swedia mengatakan bahwa Oslo masih terlihat kampungan dibandingkan banyak kemodernan malam di Stockholm. Well, Norwegia memang baru jadi OKB di tahun 70-an dan masih perlu banyak pembangunan jangka panjang.
Kembali ke kuliner, berpengalaman mencoba makanan enak di negara lain, membuat lidah saya cukup terlatih membedakan mana makanan yang overall penampilan dan rasanya top notch, mana yang sebetulnya cuma asal jadi. Di Oslo yang multikultural, dominan restoran diisi makanan fusion yang lebih sering menghilangkan rasa otentik. Nama restoran boleh Jepang, tapi menu makanan merupakan perpaduan dari berbagai negara di Asia. Dari Sushi, spring rolls, sampai Bebek Peking disediakan dalam satu menu. Saking fusion-nya restoran di Oslo, cari makanan asli yang fokus ke satu negara tertentu sangat sukar ditemui.
Mari ambil contoh kuliner Jepang yang paling dasar seperti Sushi. Di Oslo sebetulnya ada banyak pilihan restoran Sushi dari yang paling murah sampai paling mahal. Meski belum mencoba semua tempat di ibukota, tapi saya akhirnya tertarik mencoba tiga tempat yang digadang-gadang terbaik di Oslo. Tentu saja, predikat tersebut disandingkan dengan harganya yang tak murah. Hasilnya, none of them exceeded my expectations! Selain rasa yang biasa saja, harganya pun tak masuk akal dengan kualitas bahan yang tak jauh beda dari warung Sushi di sudut jalan. Yang berbeda hanya, Sushi di restoran dibuat terlalu inovatif dengan tambahan bahan lain seperti stroberi, nanas, daun kemangi, dan daun bawang.
Meski terlihat lebih berwarna, namun terlalu inovatif sampai kehilangan rasa otentik |
Saking bingung dengan rasanya yang nano-nano, saya tak berminat lagi makan Sushi di restoran mewah. Rasa Sushi di warung-warung sederhana lain, meskipun penampilannya membosankan, tapi rasa dan harganya masih masuk akal. Namun tak sekali ini saja pengalaman saya jajan di Oslo berakhir mengecewakan. Beberapa restoran Asia atau Western lain yang direkomendasikan orang dan dapat review baik nyatanya, menurut saya, juga biasa saja. Opini ini pun didukung oleh pasangan saya yang setuju bahwa standar makanan di tempat yang pernah kami datangi lebih sering zonk ketimbang outstanding.
3. Budaya kuliner Norwegia yang berbeda
Berkaca dari pusat kuliner se-Skandinavia, sekarang kalian tahu mengapa dari awal saya misuh-misuh dengan pilihan jajanan di Norwegia. Meski katanya salah satu negara bahagia, apalah arti kebahagiaan tersebut jika susah sekali menyenangkan lidah.
Sempat punya proyek di bidang F&B saat kuliah dulu, saya pernah riset pasar sampai wawancara dengan seorang founder startup yang akhirnya membuka insights baru tentang dunia kuliner di negara ini. Mengapa kualitas dan standar makanan di Norwegia masih kalah dengan Denmark, juga disebabkan oleh dua budaya berbeda. Orang Denmark saat akhir pekan lebih sering menghabiskan waktu di dalam ruangan sambil santai menikmati makanan dan alkohol. Sementara orang Norwegia sebaliknya, akhir pekan lebih banyak dihabiskan di luar ruangan dengan melakukan aktivitas fisik.
Mengapa banyak kafe lucu dan selalu ada saja restoran baru yang dibuka di Denmark, juga berhubungan dengan kebiasaan makan orang lokal yang lebih sering jajan di luar. Saat waktu istirahat kerja, mereka lebih suka quick order dari kafe terdekat dan niat cari tempat makan di luar. Sementara orang Norwegia, cukup puas dengan menu makan siang kantin kantor. Makanya cari makanan enak di Norwegia lebih susah, karena kebiasaan orang Norwegianya sendiri yang jarang jajan di luar.
Meski sektor kelautan dan perikanan Norwegia sangat berkembang, namun tak didukung oleh olahan laut yang digemari orang banyak |
Di satu sisi, posisi geografis Denmark yang lebih strategis menjadikannya lebih mudah mendapatkan bahan baku segar baik lokal maupun musiman. Bahan protein di Denmark nyatanya juga lebih bagus karena mereka punya pusat jagal sendiri di ibukota. Sementara geografis Norwegia yang lebih dingin dan jauh di utara, membuat negara ini cukup sulit mengekspor bahan baku makanan untuk kebutuhan restoran. Banyak hasil tanam petani lokal berfokus untuk kebutuhan pasar ketimbang tempat makan. Tak sama seperti Denmark sebagai pengonsumsi daging merah cukup tinggi, Norwegia yang lebih banyak nelayannya ini malah orang lokalnya sendiri tak terlalu suka mengonsumsi ikan. Karena perbedaan fokus inilah, dunia kuliner di Norwegia tak sewarna-warni Denmark dalam hal seni dan rasa.
Sempat kerja di restoran selama beberapa waktu, saya juga sedikit paham mengapa sulit sekali menemukan rasa otentik di negara ini. Orang Norwegia sampai sekarang sangat skeptis dengan makanan non-Western dan pemerintahnya sendiri sangat strict dengan persyaratan membuka restoran. Orang Norwegia masih sangat sulit beradaptasi dengan rasa asing dan selalu berekspektasi makanan yang ada di restoran sebisa mungkin disesuaikan dengan lidah mereka. Turun-temurun bahagia dengan rasa hambar ala garam dan merica, orang Norwegia masih harus berlatih dengan makanan kaya bumbu dan rasa pedas yang bisa membahayakan perut. Belum lagi banyak alergi aneh-aneh dan para environmental concious yang mulai rewel dengan menu makanan yang tak sesuai preferensi mereka. Demi mengikuti selera pasar inilah, akhirnya makanan dibuat se-fusion mungkin agar cocok dengan lidah orang lokal.
Faktor lain yang membuat saya kecewa dengan banyak tempat makan di Norwegia adalah, mereka seringkali tidak konsisten. Hari ini enak, besok bisa jadi berubah. Pernah suatu kali saya punya kafe langganan yang menyediakan kue enak di Oslo, dan cuma tempat ini yang satu-satunya menjual kue spesial tersebut. Saking niatnya, kadang saya datang jauh dan malam-malam ke sini cuma demi memenuhi craving ingin makanan manis. Anehnya, lambat-laun penampilan dan rasa si kue jadi berubah. Tak cuma di satu kafe ini saja, kejadian serupa juga sempat terjadi di beberapa restoran lain. Pertama datang rasanya enak, pas datang kedua kali konsistensi rasa dan tekstur malah tak sama. Ketidakonsisten kualitas ini akhirnya membuat saya kecewa dan malas mampir lagi.
Satu lagi yang paling krusial, saya pernah dikelabui pemilik restoran yang menyediakan daging babi padahal saya memesan sapi. Saya sangat paham tekstur dua jenis daging ini dan dari segi harganya pun jelas sapi lebih mahal dari babi. Dikelabui dengan cara seperti ini sampai dua kali membuat saya sangat marah dan kecewa. Saat dikomplen, pemilik restoran berdalih bahwa daging tersebut bukan babi, tapi bagian lain dari punggung sapi. Nope, I didn't buy it! Saya blacklist restoran Asia tersebut, tulis review negatif di Google, dan bersumpah tak akan pernah kembali lagi ke sana! Sayang sekali, padahal restoran ini masih jadi salah satu terfavorit banyak orang di Oslo dan selalu dapat review positif dari pelanggan.
4. Norwegia butuh KFC!
Saat masih kerja di restoran, saya bertugas melakukan brand monitoring dan social listening tentang pain points dan preferensi orang Norwegia terhadap makanan cepat saji. Di sebuah sebuah lapak komunitas lokal, saya menemukan sebuah pertanyaan menarik yang mendapatkan cukup banyak respon, "merk makanan cepat saji apa yang kalian rindu dan inginkan di Norwegia?". Mengamati tiap jawaban cukup seru karena saya jadi tahu kegelisahan banyak anak muda Norwegia dengan keterbatasan restoran cepat saji di negara ini.
Meskipun dominan orang Norwegia bukanlah pecinta fast food, namun makanan cepat saji sangat erat relevansinya dengan para anak muda, pelajar, dan pendatang karena dirasa harganya masih ramah kantong. Padahal, makanan cepat saji di ibukota sebetulnya juga tak murah. Menu yang paling sering ditemukan hanya terbatas ke pizza, burger, dan kebab. Karena keterbatasan inilah, banyak yang menyerukan Taco Bell dan KFC dibuka lagi di Norwegia. Hell yes! Entah berapa kali saya sempat rindu makan crispy chicken, sampai pernah sengaja road trip ke Gothenburg di Swedia cuma demi makan KFC terdekat.
KFC di Denmark, kadang jadi pelarian demi ayam garing. Belum ada alternatifnya di Oslo. |
Di tahun 80-an, KFC sempat membuka cabang di Oslo namun tak bertahan lama. Selain kompetisi, alasan sebenarnya adalah karena pemerintah sangat strict dengan kualitas bahan dan standar harga saat itu. Sebagai negara yang sangat menjamin kesejahteraan hewan, Norwegia memastikan bahwa bahan baku protein yang digunakan oleh restoran harus sesuai dengan standar dan kualitas yang telah ditetapkan. Hewan tak boleh disiksa selama proses pertumbuhan ataupun sebelum pengolahan. Terus-terusan butuh bahan baku yang cepat, KFC mengekspor ayam instan hasil suntik hormon agar bisa selalu menyediakan stok untuk persediaan pasar. Ayam yang harusnya diternakan dengan lamban selama masa pertumbuhan, justru tak selaras dengan kebutuhan KFC yang lebih memilih ayam gemuk hasil instan. Untuk terus bertahan di pasar lokal, jelas usaha KFC termasuk ilegal. Dirasa menghambat pertumbuhan laba demi mengikuti peraturan pemerintah lokal, KFC memutuskan menutup usaha dan tak pernah kembali lagi ke negara ini.
Baca juga: Mari Menjelekkan Norwegia!
Sebuah merk lain, Fly Chicken, akhirnya jadi alternatif baru di Oslo dengan beberapa cabang yang tersebar di beberapa tempat. Meski sama-sama fokus menyajikan crispy chicken, tapi orang lokal berpendapat bahwa Fly Chicken masih jauh kualitasnya dibanding KFC dengan harga yang jauh lebih mahal. Karena tak banyak alternatif jajanan cepat saji, maka lagi-lagi orang hanya kembali ke pizza, burger, atau kebab. Pun untuk kebab yang bukan Western food, cukup lama prosesnya agar bisa diterima oleh masyarakat Oslo. Karena dijual di daerah permukiman imigran yang tak jelas kualitas bahan dasarnya, banyak sekali yang skeptis dengan makanan ini di awal 90-an. Hingga lambat laun, persepsi terhadap kebab berubah sampai menempati salah satu posisi teratas sebagai makanan cepat saji terfavorit di Norwegia.
5. Lalu, harus jajan kemana kalau di Oslo?
Dari semua kekurangan yang saya jelaskan di atas, apa iya tak ada satu pun restoran yang oke di Oslo? Apa iya orang lokal tak ada yang keluar untuk jajan? Harus makan dimana di Oslo yang harga dan kualitas makanannya bersahabat?
Well, kalau ditanya apakah ada restoran yang menyajikan makanan enak, tentu saja ADA! Di beberapa restoran yang pernah saya kunjungi, ada satu atau dua menu yang sebetulnya cukup oke untuk dicoba lagi. Tapi karena menu-menu ini kadang seasonal based, maka belum tentu ada juga tiap bulan.
Menurut saya, kunci jajan di Oslo adalah tak perlu berekspektasi apa-apa. Selain tidak konsisten, beberapa makanan cenderung sudah kehilangan rasa otentik dan membuat kita harus open minded dengan rasa yang lebih inovatif. Secara looks memang mengesankan dan menggugah selera, namun dari segi rasa akan sangat subjektif perorangan. Tapi dengan menghilangkan ekspektasi dari awal, kita jadi tak perlu kecewa berat ketika tahu makanan yang disajikan jauh dari harapan.
Baca juga: 9 Cara Hidup Super Hemat di Oslo
Beberapa teman dari Asia juga sebetulnya sangat menghindari jajan di restoran Asia di Oslo karena rasanya yang kurang orisinil. Bagi para pendatang Asia, kadang cara yang mereka bisa lakukan adalah beli semua bahan makanan di toko dan masak sendiri. Salah satu restoran Cina di Oslo yang katanya close to the original taste ternyata juga punya 2 menu berbeda, menu asli dan menu untuk lidah non-Chinese. Selain overrated, rasa masakan di semua menu pun cenderung seragam. Teman sekelas saya yang orang Korea juga tak pernah tertarik makan di restoran Korea di Oslo karena kaget dengan harganya yang mahal tapi kualitasnya di bawah standar. Jadi ingat suatu kali datang ke restoran Thailand, lalu lagi-lagi dibuat kecewa dengan konsistensi kuah Red Curry yang terlalu cair. Lucunya, yang datang dan memesan makanan ramai sekali sampai saya bingung mengapa restoran tersebut begitu terkenal.
Restoran India yang pertama kali saya kunjungi di Oslo, selain harganya affordable, rasanya sudah diadaptasi ke lidah lokal dan masih cocok dengan selera Indonesia |
Tapi kalau kalian ingin jajan di Oslo dan masih bingung harus kemana, mungkin saya sarankan mampir saja ke restoran India terdekat. Dengan semakin meningkatnya populasi orang Asia Selatan di Norwegia, maka bisnis F&B yang fokus ke wilayah ini pun semakin menjamur di tiap sudut kota. Dibandingkan pendatang dari Asia Timur, pendatang dari Asia Selatan masih banyak yang sering keluar jajan di restoran. Tanda sebuah restoran India enak dan nyaris otentik adalah, pelanggan yang datang lebih didominasi oleh orang mereka sendiri. Lebih bagus lagi datang ke restoran yang direkomendasikan oleh orang Indianya langsung. Plus, masakan India Selatan biasanya punya level pedas yang setara dengan level pedas orang Indonesia, serta tak pernah menyediakan babi sebagai protein utama jika kalian mencari makanan Halal.
⚘ ⚘ ⚘
Mengeluhkan daftar jajanan di Oslo yang tak sesuai selera personal sebetulnya tak adil, tapi lumrah saja sebagai konsumen. Namun bagi kita orang Indonesia yang terbiasa nongkrong di warung Nasi Uduk saat sarapan, jajan Nasi Padang untuk makan siang, lalu beli Siomay di sore hari, sebelum biasanya mampir ke tenda pinggiran untuk makan malam, lalu lanjut pula Pecel Lele di tengah malam, hidup dengan pilihan kuliner yang seuprit ini bisa jadi duka nestapa. Karena...food is life!!
Di Indonesia ada nggak ya resto yang menjual makanan asli Norway. Penasaran, tapi dari stylenya bisa agak kebaca gak banyak bumbu dan masih rasa asli ya. Kalau yang di resto IKEA mungkin sudah perpaduan dengan lidah Asia..
BalasHapusKalo di Indonesia ada restoran Norwegia, dijamin gak laku!! ;D
HapusKayaknya kamu juga gak bakalan suka sih, karena lom pernah nemu aku pendatang di sini yang suka sama makanan lokal.