Setidaknya selama 3 bulan ke belakang, saya sudah beberapa kali menyimak kericuhan jagad Twitter tentang diskriminasi usia yang masih membebani masyarakat Indonesia saat cari kerja dan daftar beasiswa. Baru-baru ini, karena pendaftaran beasiswa LPDP dibuka kembali, kericuhan terjadi lantaran batas usia pendaftar dianggap tak masuk akal dan sangat diskriminatif. Maksimal 35 tahun bagi pendaftar Master, serta 40 tahun bagi pendaftar Doktoral. Padahal membatasi usia hingga 35 tahun bagi yang ingin dapat beasiswa S2 membutakan apa yang terjadi di realita. Faktanya, justru malah banyak yang ingin lanjut kuliah di akhir 30 tahunan dan tetap layak dapat beasiswa.
Sebetulnya batasan usia sebagai syarat administrasi bukan hal baru lagi dan sudah lama prakteknya. Tak hanya di Indonesia, tapi juga negara-negara di Asia Timur. Saya ingat betul beberapa tahun lalu berniat cari beasiswa di Asia, batasan usia sebagai persyaratannya pun nyaris serupa. Karena adanya batasan umur inilah, akhirnya saya berniat lanjut kuliah S2 secepatnya sebelum menyentuh angka tersebut.
Hanya saja, masyarakat Indonesia sekarang sudah semakin kritis, vokal menyuarakan pendapat. Kehadiran media sosial juga dianggap wadah besar menyalurkan aspirasi untuk sebuah perubahan. Tak hanya syarat usia bagi pelamar kerja yang dianggap menyengsarakan, namun juga batas usia bagi pelamar beasiswa kuliah seperti LPDP. Padahal, tak semua yang usianya di atas 35 tahun sudah malas belajar dan menapakki tangga karir mentereng. Justru ada banyak orang yang baru punya kesempatan memikirkan pendidikan tinggi di usia tersebut karena terlalu sibuk cari nafkah di usia muda. Meski banyak yang menganggap usia 30-an sudah mapan secara materi dan karir, namun tak sedikit yang tetap kesulitan jika harus membiayai pendidikan pakai uang pribadi. Praktek lama, mengapa belum juga dibenahi?
Yang saya pernah baca, batasan usia ini diberlakukan karena tingginya angka kompetisi di sebuah negara dalam segi pendidikan. Populasi anak muda yang berlomba mendapatkan pendidikan terbaik masih banyak dan pembatasan usia ini dinilai mampu menyaring kandidat muda terbaik yang serius ingin lanjut sekolah. Bukan berarti yang usianya di atas 40 tahun sudah tak serius belajar. Namun beasiswa yang diberikan negara juga investasi jangka panjang dan bergantung kepada usia produktif serta angka harapan hidup. Misal, angka harapan hidup rata-rata Indonesia tahun 2023 adalah 73 tahun dan pensiun di awal 60an. Maka mendahulukan kepentingan anak-anak muda yang usianya di bawah 35 tahun untuk sekolah akan lebih diprioritaskan karena jangka investasi akan lebih panjang.
Kemudian saya ingat seringkali menerima keluhan para pembaca yang baru tahu au pair saat usianya di atas 30-an, sedih sadar dirinya tak lagi memenuhi syarat. Mereka yang usianya 30 tahunan ini sebetulnya juga ingin ke luar negeri, bertukar budaya, dan belajar bahasa baru. Sayang, batasan usia menjadi halangan bagi mereka yang terpikir menggapai mimpi ke luar negeri lewat program ini. Namun apakah jadinya sama dengan yang di atas, program au pair sangat diskriminatif?
Setiap negara tentunya punya peraturan masing-masing tentang batasan usia ini. Ada yang maksimal 25 tahun seperti Belgia dan Belanda, ada juga yang memperbolehkan hingga 30 tahun seperti Prancis. Peraturan ini tak dibuat tanpa alasan. Au pair, sebuah program yang tujuan utamanya adalah cultural exchange memang lebih memprioritaskan anak-anak muda untuk tinggal di negara asing sekalian belajar budaya baru. Saat usia 18 sampai mid/akhir 20 tahun, banyak dari kita yang baru lulus sekolah atau kuliah, belum menikah dan punya anak, serta punya motivasi yang lebih tinggi untuk menjelajah banyak hal baru. Mengapa banyak negara punya batasan usia yang minim pun juga ada hubungannya dengan intensi para au pair sendiri. Para au pair yang usianya lebih tua cenderung punya latar belakang besar untuk tinggal lebih lama di sebuah negara tanpa ada niat untuk pulang.
Alasan serupa juga mendasari Belanda yang awalnya sangat royal membuka kesempatan hingga usia 30 tahun, akhirnya memangkas habis batas hingga 25 tahun saja sekarang. Belanda menganggap banyak au pair yang usianya mepet 30 tahun hopeless kembali ke negara asal dan memanfaatkan kesempatan untuk mencari pasangan lalu settle down. Tak hanya di Belanda, cerita para au pair yang mepet usia lalu cari pasangan juga terjadi di banyak negara. Au pair yang tahu usianya sudah di penghujung 20 tahun akhirnya malas pulang, lalu terdesak mencari pasangan lokal untuk memperpanjang masa tinggal. Berbeda bagi anak muda di awal 20-an yang lebih punya banyak kesempatan kembali ke negara asal untuk lanjut sekolah dan membangun karir. Sejatinya program au pair juga dipersiapkan untuk mengembangkan jiwa kepemimpinan, komunikasi asing, serta adaptasi terhadap lingkungan baru, yang diharapkan dapat berguna saat kita lanjut sekolah atau cari kerja di negara asal.
Baca juga: Berapa Usia yang Tepat Mulai Au Pair?
Yang saya pahami juga, usia 18-30 tahun di Barat masih dinilai muda dan berhak mendapatkan beberapa diskon dan youth benefits. Misalnya di Belgia, kita bisa dapat diskon transportasi umum dan tiket pesawat terbang sampai 40% jika masih di bawah 26 tahun. Di Norwegia, kamu bisa dapat diskon langganan kartu pascabayar dan gratis biaya administrasi bank sampai usia 28 tahun. Tak hanya itu, beberapa keluarga Barat yang butuh au pair juga punya anak saat usia mereka di atas 30 tahunan. Mengundang au pair asing seusia mereka untuk tinggal di rumah terkesan canggung dan lebih riskan.
Berbeda dengan persyaratan beasiswa dan cari kerja yang masih bisa direvolusi, mengeluh tentang batasan usia au pair justru buang-buang waktu. Apalagi yang membuat peraturan ini adalah negara-negara maju yang terkenal punya aturan ketat. Lagi-lagi, kita sebagai tamu hanya bisa mengikuti peraturan tersebut. Take it as a destiny. Kalau memang masih ada kesempatan untuk jadi au pair, bergegaslah cari keluarga angkat sebelum usia menghalangi jalan mu. Pun kalau memang tak bisa lagi, mungkin memang ada hal baik lain yang bisa kita lakukan; misalnya jadi nanny, lanjut sekolah, atau cari kerja legal lain via agensi.
Bagaimana menurut kalian, apakah batasan usia untuk au pair juga perlu diubah agar kesempatan orang Indonesia ke luar negeri semakin luas?
Komentar
Posting Komentar