Dari pertengahan tahun lalu, saya sudah visioner untuk tak ingin menghabiskan liburan Natal dan Tahun Baru 2024 di Eropa. Sekali ini Eropa tak masuk dalam daftar rencana tahunan. Apalagi mengingat pengalaman di Paris awal tahun lalu membuat saya trauma dan merasa Eropa jadi tak menarik lagi. Sombong sekali, tapi perasaan tak ada yang abadi. Kemarin happy, bisa jadi hari ini sedih.
Secara impulsif, rencana liburan akhir tahun berdua dengan adik pun dibuat spontan tanpa berpikir apakah finansial siap. Haha! Ini adalah kali ke-4 saya reuni dengan si adik dalam setahun. Sebetulnya ada keinginan pulang sejenak ke Indonesia, tapi tiket cukup mahal dan liburan kurang dari 2 minggu rasanya terlalu tanggung. Ingin ke Taipei, tiketnya juga masih mahal di akhir tahun apalagi untuk dua orang. Lucunya, mendadak terpikir Cina karena baca berita negara ini sudah mulai buka normal lagi pasca Korona dan harga tiketnya terbilang murah dari Oslo. Tanpa pikir dua kali, booked!
No lie, the more I live in Norway, the more I am fed up with this place! Memikirkan lagi-lagi harus kena angin beku dan snow shoveling, saya mengumpat berkali-kali mengapa bisa memilih tempat ini untuk tinggal. Saya mulai mengutuki semua hal tentang apapun yang memberatkan hidup saya 6 tahun ke belakang. Dari mulai sistem kerja, benefit tinggal, budaya sosial, hingga perkara makanan.
...dan betul. Kalau dirasa tak bahagia dan mengeluh terus-terusan, mungkin ini saat yang tepat untuk leaving the country atau lari sejenak dari keabsenan negara tempat tinggal.
...dan saya cenderung memilih Asia sebagai tempat pelarian. Lebih dekat dengan rumah, alamnya tak ternilai dengan kata, kehidupan sosialnya lebih hangat, what's better... makanannya yang... ah sudahlah, we all know it. Tujuan ke Cina kali ini juga bukan dalam rangka mencari cowok ganteng bagian kedua, tapi demi perbaikan gizi.
Sebagai pecinta mie kuah, Cina adalah surganya karena di negara ini juga saya bisa setiap hari dari pagi sampai malam cuma makan mie tanpa merasa bersalah |
Selain kulineran, saya juga belajar konsep Yin-Yang dimana makanan punya peran besar dalam keseimbangan tubuh saat musim dingin |
Ada yang menarik. Meski sebelumnya sudah 2 kali ke Cina, tapi saya baru sadar bahwa selain membentuk tradisi, makanan punya esensi terbesar dalam vitalitas tubuh orang Cina. Berbeda dengan Eropa yang bangunannya didesain sedemikian rupa menghadapi musim dingin, masih banyak bangunan di Cina tak kedap angin dingin serta tanpa penghangat. Tak heran bahwa rumah sendiri, sekolah, ataupun restoran bisa dingin semriwing. Namun daripada misuh-misuh karena cuaca dingin, tak ada yang bisa disalahkan selain diri sendiri.
Di Norwegia, kalau badan masih menggigil saat musim dingin, yang disalahkan adalah pemakaian baju yang kurang tepat. Di Cina, yang disalahkan adalah makanan yang dikonsumsi. Makanan adalah faktor penting dalam keseimbangan tubuh yang ada hubungannya dengan konsep Yin-Yang. Di luar dingin, di dalam tubuh haruslah lebih hangat. Caranya, cukup konsumsi air atau teh hangat kah? Cukup makanan berkuah hangat kah? Cukup tambahan bumbu yang bisa menghangatkan tubuh kah? Karena... food is cure.
Baca juga: 7 Kebiasaan Makan Keluarga Eropa
Makanya di banyak restoran (ataupun bandara dan stasiun) biasanya disediakan minuman gratis berupa air atau teh panas yang memang sangat pas dinikmati bersama mie kuah saat musim dingin. Tanpa perlu alkohol, mengonsumsi makanan atau minuman hangat lama-kelamaan akan membuat tubuh hangat dengan sendirinya. Pun uap yang terus-terusan mengepul dari hidangan Hotpot mendukung keseimbangan angin dingin dalam ruangan berubah menjadi lebih hangat.
Jadi terpikir, jangan-jangan konsep "teh hangat adalah obat dari segala obat" di Indonesia juga ada hubungannya dengan konsep Yin-Yang dari Tionghoa ini.
Menu mie sarapan hotel pun cenderung berkuah meski lebih ringan. Di Indonesia, belum makan kalau belum ketemu nasi. Di sini, saya merasa belum makan kalau belum tercicip mie. |
Food is life. Food is comfort. Food is happiness.
Nyaris satu dekade tinggal di Eropa, hidup saya di benua ini sepertinya sudah berada di fase "saya bosan clean eating". Tak ada yang menarik lagi dari saus tomat, pizza, keju, steak, ataupun sayuran mentah hijau itu. Justru that oily, greasy, and spicy food is real cure.
Selain cinta mie kuah, saya juga pecinta makanan pedas yang bahagia sampai langit ketujuh saat ketemu Malatang 麻辣燙 |
Saya juga sedang di fase selalu kangen kehidupan yang lebih mudah di Asia. Cari makanan enak gampang. Kelaparan tengah malam tinggal pesan. Tak ada peraturan tertentu one day one warm meal. I can eat warm meal whenever I want, dan yang jual pun banyak di pinggiran. Life is harder and harder these days. Karenanya perasaan kalut ini pun semakin membuncah dan membuat saya ingin kembali ke Asia demi menenangkan jiwa.
Mungkin juga karena beberapa minggu ke belakang saya terus-terusan nonton drama Asia yang menonjolkan makanan sebagai penguat adegan. Plus, tak sengaja melototi Flavorful Origins di Netflix yang membuat tak sabar makan Lanzhou Lamian 兰州拉面 yang asli di negaranya. On that's why, selagi di Asia... marilah perbaikan gizi!
Jika memang tinggal di Eropa adalah sebuah pilihan yang hakiki seperti yang sudah ditulis beberapa bulan lalu, semoga saja saya selalu punya rejeki bisa beli tiket pesawat kembali ke Asia kapan pun kangen makanannya. The Asian noodle soup supremacy is real!
Komentar
Posting Komentar