Sedikit tersentil, karena orang Indonesia yang sering promosi kekurangan tinggal di luar negeri itu salah satunya saya sendiri. Lewat blog ini, saya juga membanjiri cerita pengalaman tak mengenakan yang berbeda dengan banyak konten bahagia diaspora di media sosial. Saya juga seringkali menjelekkan negara tempat tinggal dan kadang masih membandingkannya dengan kampung halaman di Indonesia. Padahal sedekade ini tinggal di Eropa, harusnya sudah di fase 'menerima' bukan lagi gegar budaya. Bahkan karena seringnya menjelekkan Norwegia (haha!), saya pernah ditodong untuk banyak-banyak bersyukur atau pulang saja kalau tak bahagia.
Mau lara atau gembira, pengalaman tiap orang tinggal di luar negeri bisa jadi tak sama namun persepsi mereka tetap valid. Menurut saya, mengeluhkan negara tempat tinggal sangat normal. Karena sudah terlalu banyak yang mengagungkan sebuah negara, maka menyeimbangkan fakta tentang minusnya tinggal di negara tersebut juga tak salah. Fakta inipun sebetulnya perlu untuk mematahkan banyak asumsi orang Indonesia sendiri yang berpikir bahwa negara maju itu sempurna tanpa celah. Berbondong-bondong ingin hijrah karena yang ada hanyalah gambaran hidup tenang damai, bebas, serta terbuka. Padahal aslinya tak ada tempat yang sempurna. Semakin ke sini, semakin saya menyadari juga bahwa kehidupan nyaman damai di luar negeri hanya bisa dicapai kalau punya pekerjaan bagus atau dapat izin tinggal permanen. Setidaknya, punya sponsor atau penjamin. Tak perlu kaya, tapi ujung-ujungnya masalah uang juga.
Sudah tahu banyak kurangnya, mengapa tak pulang juga?!
Karena semua kekurangan itu masih bisa ditoleransi dengan cara beradaptasi. Meski sering mengeluh tentang kehidupan sosial di Norwegia, namun ada beberapa alasan yang membuat saya masih betah tinggal di sini. Setidaknya untuk sekarang, pulang bukan jawaban. Hidup di Indonesia memang semakin tak kondusif, tak ramah seperti dulu, dan menipisnya sirkel membuat saya kehilangan kehidupan sosial. Tapi, banyak hal dari Indonesia yang tetap saya rindukan, banggakan, dan ujung-ujungnya akan selalu kembali untuk liburan. Di sisi lain, saya juga sadar bahwa seberapa kerasnya mencoba untuk berintegrasi di negara orang, sampai kapan pun juga saya tak akan pernah bisa melebur dengan kehidupan masyarakat lokal.
Baca juga: 6 Alasan Tak Pulang Juga ke Indonesia
Banyak pendatang juga masih berpikir lebih baik hujan emas di negeri orang daripada hujan batu di negeri sendiri. Freedom di negara maju adalah hal mahal yang sulit didapatkan. Banyak juga yang merasa bisa dapat karir lebih baik di luar, karena muak dengan persyaratan kerja yang terlalu diskriminatif. Beberapa orang bahkan merasa lebih percaya diri mendapatkan cinta sejati, tanpa tertekan standar sempurna di negeri sendiri. Terlebih lagi, jika sudah ada kehidupan baru yang ditata, entah karena pekerjaan atau keluarga, maka hasrat untuk pulang semakin terpendam. Jadi, meski si imigran ini selalu ngomel harga barang mahal atau cuaca dingin, tetap ada seribu alasan menikmati kehidupan yang tentram di negara orang.
Tapi saya selalu percaya bahwa perasaan dan pemikiran manusia itu sangat dinamis, bisa berubah-ubah. Setidaknya bagi saya sendiri. Ada perasaan berbeda ketika saya tinggal di Eropa saat awal 20-an, masih jadi au pair, masih jadi pelajar, masih sibuk mencari cinta kesana-sini, masih doyan travelling, serta masih asik menjelajah banyak hal. Semakin dewasa, saya memandang banyak hal dengan perspektif yang lebih luas dan tak selalu girang dengan semua kenyamanan yang diberikan. Bahkan seorang teman merasa saya kurang bersyukur, tak pernah puas, dan terlalu fokus mencari tantangan dalam hidup. Misalnya, belakangan ini keinginan untuk tinggal lebih lama di Norwegia justru semakin pudar. I no longer feel excited about this place.
"Ahh, kamu sudah mengatakan hal tersebut sejak 4 tahun lalu," kata pacar mengingatkan ketika lagi-lagi saya mengutarakan akan meninggalkan Norwegia for good.
Sejujurnya, sudah berapa kali saya terpikir untuk meninggalkan negara ini sejak awal Covid lalu. Seringkali, keinginan tersebut terlintas ketika hidup sedang tak baik-baik saja. Entah karena urusan finansial, lelah mental, pekerjaan, ataupun lunturnya jiwa sosial. Beberapa cerita duka lara kadang saya publikasikan, namun ada banyak yang saya simpan karena terlalu personal.
Baca juga: Ketika Nasib Membawa Mu Pulang
"Apalagi sih yang kamu cari?! Kalau saya jadi kamu, saya akan menikmati hidup saja," ujar seseorang.
Iya, yang terlihat di permukaan sepertinya saya harus berhenti berkembang dan hidup di zona nyaman saja. Padahal, ada banyak kegelisahan saat tinggal di negara asing yang tak tersirat. Sama dengan imigran lain yang meskipun selalu terlihat bahagia, tapi deep down perasaan mereka juga galau. Cuaca ekstrim, harga barang mahal, atau kangen makanan, hanyalah keluhan biasa pelipur lara. Namun perasaan lain seperti kesepian, rasisme, tak punya teman, tak bisa beradaptasi, tak juga mampu menguasai bahasa lokal, hingga minder soal pekerjaan justru jarang diutarakan. Ada lagi hal mendalam seperti benefit imigran, duo parenting, perbedaan pola pikir dengan pasangan, serta budaya kerja lokal yang kadang sesama imigran juga tak saling memahami.
Hidup dimana saja pasti ada plus minusnya. Mau Indonesia atau luar negeri, kehidupan tetap punya dua sisi. Indonesia memang tak sempurna, namun masih banyak yang bahagia karena bisa makan enak dan murah, ketemu matahari setiap hari, keberadaan taksi online, serta beruntung tinggal di alam yang disebut surga dunia. Di media sosial mungkin banyak yang koar-koar ingin pindah negara, tapi di kehidupan nyata, masih banyak orang Indonesia yang realistis dan bersyukur. Yang paling penting, find happiness wherever you are! Percayalah, tak semua orang Indonesia yang tinggal di luar negeri juga bahagia dan pintar beradaptasi dengan lingkungannya. Yang mereka lakukan juga sama, ‘dibawa hepi aja’, mengingat kesempatan tinggal di luar juga bukan untuk semua.
Jadi, kalau ada diaspora yang berbagi cerita tentang plus minus tinggal di sebuah negara, jadikan cerita mereka sebagai wawasan baru terhadap negara asing yang belum kita jamah. Apalagi yang dibahas lebih dari sekedar harga barang mahal atau kedinginan. Perlu digarisbawahi juga bahwa pengalaman jalan-jalan dan tinggal adalah dua hal berbeda. Sebagai traveller, kita selalu fokus ke objek wisata dan disuguhi pemandangan yang indah saja. Sementara kalau sudah tinggal dan menetap, masalah sudah mulai kompleks. Tahu kekurangan sebuah negara juga bisa jadi amunisi agar kita selalu menjaga ekspektasi dan siap toleransi dengan hal-hal asing.
Semakin lama dan makin usia bertambah fleksibilitas utk beradaptasi dapat banyak tantangan. Sangat bisa dipahami. Saya sendiri menikmati kisah-kisah yang riil adanya tanpa harus judging. Kadang orang komen ini itu karena ada unsur iri juga loh mba. Banyak masalah hidup. Biarkan saja.Fokus pada yang menikmati tulisan kita saja.
BalasHapusBener banget!! Semakin lama tinggal, malah semakin menemukan masalah2 kompleks yang dulunya gak kepikiran bakalan dihadapin. Gini banget jadi orang dewasa, huhu..
HapusMakasih banyak ya udah suportif :)
Bener banget, nggak ada yg namanya tempat yg sempurna. Tapi aku lihat banyak teman2 yg baru datang ke Norway merasa bahwa ini negara ideal banget. Biasanya tahun2 awal, periode honeymoon 🤠Belom bisa bahasanya, apalagi paham aturan hukum, pajak, dsb.
BalasHapusDi sisi lain ya, semakin lama tinggal di satu tempat, makin pintar beradaptasi, makin masuk zona nyaman.
Pertama2 datang ke Norway di umur 20an, mana kepikiran bakal stay lebih dari 2-3 tahun. Nyatanya sekarang sudah hampir 2 dekade berlalu masih disini2 aja. Anak makin besar, jadinya makin susah pindah negara. Most likely juga mereka akan pilih jadi warga negara Norway dibandingin WNI ketika mereka 18 tahun nanti. Mau gimanapun didik anak, ngajari bhs Indonesia dsb, tetep aja ikatan batin ke Indonesia nggak sebesar ikatan batin ke negara dimana mereka dilahirkan dan dibesarkan. Mudik ke Indonesia juga paling banter setahun sekali kan, itupun kadang ga sampai 4 minggu.
Bukan salah mereka tentu saja. Balik lagi semuanya dimulai dari kami orang tua yg memilih tinggal di sini. Ya beginilah nasib imigran generasi pertama2 #curcol 😆
So, kalau mau pindah negara, sebaliknya jangan ditunda2 😬
Hai kak nin, aku ada interest untuk ikut program aupair ke usa, kenapa ke usa karena ngga harus belajar bahasa baru lagi seperti halnya kalau aupair ke jerman atau belanda. Namun setelah aku searching lebih dalam kebanyakan program aupair yang aku jumpai di jerman dan belanda. Apakah aupair ke usa rentan akan scam? Bisa sharing info agen atau tips untuk aupair ke uas kak?
BalasHapusNin, masya Allah kangen... Dah lama gak ngunjungin blog kamu, sekarang dah punya anak aja.. Sehat terus ya nin .. Moga kebahagiaan selalu melimpahimu dan keluarga
BalasHapus