Sebagai orang tua yang punya anak balita, apalagi masih bayi, adalah normal rasanya untuk memastikan bahwa anak yang kita titipkan ke au pair baik-baik saja. Apalagi au pair ini hanyalah gadis asing yang asalnya (kebanyakan) dari negara ketiga yang tak punya kompetensi panjang sebagai nanny. Mereka tak pernah dilatih untuk merawat bayi baru lahir, pun tak dibekali kompetensi mengatasi tantrum dan psikologi anak balita. They are totally innocent. Harusnya sebagai orang tua, kita bisa lebih berhati-hati menitipkan anak ke orang asing yang belum kita kenal sepenuhnya. Tapi, hal ini justru berbeda saat saya tinggal bersama keluarga Denmark dan Norwegia yang super luwes. Was it a "Nordic thing"? Mungkin, tapi Norwegia cenderung berbeda.
Baca juga: Mari Menjelekkan Norwegia!
Di rumah keluarga Norwegia dulu, saya seringkali ditinggal dengan dua balita dan hanya disuruh mengikuti semua arahan yang sudah orang tuanya berikan. Makan jam sekian, tidur jam sekian, mandi jam sekian. Yang terpenting bagi orang tuanya saat itu, anak-anak mereka harus diajarkan disiplin perihal jadwal makan dan tidur yang akan berimbas pada jam tubuh mereka setiap hari. Tanpa terkesan mengontrol, mereka tak memasang satu pun CCTV, baik di dalam maupun luar rumah.
Beberapa kali, saya juga ditinggal dengan si bayi dan si kakak saat orang tua mereka liburan. Pernah juga saat si bayi sedang sakit, orang tuanya hanya mempercayakan saya tinggal berdua saja di rumah tanpa pengawasan siapa pun. Logikanya, who was I to earn that trust? Kalau situasinya dibalik dan saya yang punya anak, entahlah apakah saya bisa sepercaya itu dengan gadis muda asing mengasuh bayi saya yang sedang sakit, sendirian di rumah, tanpa pengawasan siapa pun. I wouldn't take the risk!
Lalu cerita berlanjut saat saya menapakki tangga karir selulus kuliah. Saya semakin paham mengenai norma dan peraturan tak tertulis di negara ini ketika di-PHK perusahaan lama. Jika saat itu perjalanan karir saya mulus-mulus saja, mungkin saya tak akan belajar banyak hal lewat pengalaman pahit. Meski sempat di masa-masa sulit saat cari kerja lagi dan job offer dibatalkan sebuah perusahaan, namun bright side-nya, saya memahami sisi lain tentang pasar kerja di Norwegia yang tak semua orang Indonesia pernah alami dan bagikan.
Yang seringkali saya dengar, 70% lowongan kerja di Norwegia sebetulnya tak pernah dipublikasikan. Saya didorong harus lebih aktif lagi menonjolkan personal branding di LinkedIn dan mengetuk banyak pintu ke beberapa perusahaan yang saya sukai. Jangan tanya berapa kali para kenalan dan mantan kolega menyarankan saya lebih aktif di LinkedIn dan 'jual diri' lebih masif. Banyak juga yang menganjurkan saya untuk sering-sering datang ke event dan bertemu orang baru untuk menambah jejaring relasi yang kemungkinan dapat membuka peluang kerja. Bagi saya pendatang yang tak punya banyak relasi bisnis, sosialisasi di Norwegia bisa jadi salah satu cara terbaik mendapatkan pekerjaan. Namun pertimbangan saya saat itu, networking akan jadi hal yang sangat melelahkan karena tak hanya perkara habis energi, namun juga uang dan waktu.
But I heard that A LOT! I need to network. Networking is important, blablabla. Jangan dikira saya tak pernah mencoba untuk datang ke banyak acara dengan harapan bertemu orang yang bisa mendatangkan peluang. Namun alih-alih bertemu orang baru agar bisa kenalan dan tambah relasi, saya memutuskan hanya datang ke beberapa acara informal yang tak terlalu fokus pada kesempatan kerja. Datang ke banyak acara profesional saat status masih pengangguran kadang tak efektif. Lebih tepatnya, rawan insecurity.
The thing is, I truly missed the norm here. Sosialisasi memang membosankan dan buang-buang energi, tapi faktanya, banyak orang justru mendapatkan pekerjaan lewat kerabat, relasi, ataupun kenalan. Hingga akhirnya saya paham bahwa... Norwegians don't hire strangers, but people they know.
TRUST, alias kepercayaan, adalah norma terpenting dalam kehidupan bersosial di Norwegia. Sebuah studi dari OECD mencatat, tingkat kepercayaan orang Norwegia kepada pemerintahan tahun ini naik menjadi 77%. Sebuah angka yang sangat tinggi, dibandingkan Amerika Serikat yang hanya 26% saja. Bagi masyarakat Norwegia, jika kita percaya kepada pemerintahan dan satu sama lain, maka tingkat korupsi pun akan menurun. Level kepercayaan ini tak hanya berlaku di pemerintahan, tapi juga hal lain misalnya, sains, media, pemasaran, hingga rekrutmen. Sederhananya, orang Norwegia itu gampang percayaan dengan orang lain.
Baca juga: Hobinya Imigran: Membandingkan!
Poin tentang mengapa host parents saya dulu sebegitu entengnya mempercayakan anaknya diasuh oleh saya yang malah belum pernah punya anak ini, justru karena mereka sudah percaya dengan kemampuan dan personal saya dari awal. I have earned their trust. Entah kapan, mungkin dari kedatangan saya ke rumah mereka pertama kalinya dan memperkenalkan diri sebagai calon au pair. Kalau tak menaruh kepercayaan, mungkin saya tak akan direkrut jadi au pair. Walau saat itu belum sadar tentang norma tersebut, tapi kepercayaan mereka pun saya pegang dengan tanggung jawab besar. Saya ikuti semua peraturan yang sudah dibuat untuk anak-anak mereka tanpa dilanggar sedikit pun. Saya jaga dan asuh anak-anak mereka dengan baik layaknya anak sendiri. Juga, walau kadang sudah terlalu lelah dan ingin marah, saya tak berani main kasar meski tak ada CCTV yang mengawasi.
Poin kedua, tentang cari kerja. Mengapa 70% lowongan kerja di Norwegia justru tak pernah dipublikasikan, karena perusahaan akan mencari relasi, kerabat, atau koneksi LinkedIn yang mereka kenal lebih dahulu untuk mengisi posisi tersebut. By knocking each door is definitely not enough, untuk kita para pendatang yang miskin relasi. It’s not a new game. Dimana-mana, punya kenalan orang dalam tentunya akan membuka kesempatan apapun lebih luas. Jadi, kalau menurut kalian cuma Indonesia yang mengandalkan 'the power of orang dalam', di Norwegia justru nepotismenya lebih kuat.
"Kadang mereka itu hanya kenalan di sebuah acara, selanjutnya ngopi-ngopi, lalu di pertemuan ketiga tiba-tiba sudah direkrut saja. Semudah itu memberikan pekerjaan untuk orang yang sudah mereka kenal duluan, padahal orang tersebut kadang tak memiliki kompetensi mumpuni," ucap kenalan asal India yang juga salah satu mentor karir di Norwegia.
Tak hanya standar kantoran, berbagai pekerjaan di Norwegia pun akan lebih mudah didapat kalau kita mengenal orang dalam. Misal, si ibu yang bekerja menjadi kasir di sebuah toko, bisa memasukkan anaknya sekalian di toko yang sama untuk posisi berbeda. Suami yang bekerja di sebuah instansi, bisa merekomendasikan istrinya di instansi lain dengan lebih mudah. Atau misal, orang Filipina yang terkenal solid dan tak pelit berbagi, seringkali merekomendasikan kerabat sebangsanya duluan untuk mengisi sebuah lowongan. Si atasan yang sudah percaya dengan kinerja si Filipina ini juga biasanya ikut menaruh kepercayaan ke kerabat si Filipina, karena si atasan percaya dengan rekomendasi dari orang yang dikenalnya. So if A trusts B, then B introduces C, then A will trust C immediately. Simpelnya, karena A sudah percaya dengan B, maka siapapun orang yang direkomendasikan B pastinya terpercaya dan tak mengecewakan.
Baca juga: Gadis Filipina vs Gadis Indonesia di Eropa
Saking menjamurnya budaya nepotisme di Norwegia, hal ini pun dimanfaatkan sebuah startup untuk mengembangkan ide merekomendasikan pekerjaan ke kenalan dengan strategi referral. Namanya Vouch, yang saat ini sudah dipercaya lebih dari 300+ perusahaan dalam mencari talenta ahli lewat platform tersebut.
Berbicara tentang inovasi dan inklusi di Nordik, salah satu fokus banyak organisasi lokal saat ini adalah membantu para talenta internasional untuk mendapatkan pekerjaan ahli di Norwegia. Bagi banyak pendatang, memahami norma berdasarkan asas kepercayaan ala orang Norwegia tak ada jalan pintasnya. Namun masalahnya, darimana mereka harus memulai? Apa yang harus mereka siapkan agar database relasi yang cukup dapat berbuah kesempatan? Yang mana yang lebih penting, belajar bahasa dulu atau bersosialisasi lebih dulu? Ditambah lagi, level kepercayaan orang Norwegia terhadap orang asing cenderung rendah dikarenakan proses integrasi yang makan waktu. Hal ini membuat talenta ahli justru kesulitan menembus pasar kerja Norwegia karena lanskapnya terlalu kompetitif. Sungguh, hal seperti inilah yang membuat banyak perusahaan Norwegia tak mampu berinovasi keluar dari Nordik karena apa-apa masih terbawa norma konservatif menutup pintu keberagaman (diversity).
"They tend to hire unskilled Norwegians, ketimbang talenta ahli internasional yang masih kurang terintegrasi dengan budaya lokal sepenuhnya. Padahal negara ini kurang talenta lokal berbakat," ucap salah seorang kenalan lain.
Wajarkah kita mengatakan hal ini sebagai sebuah keberuntungan dan privilese jika berhasil dapat kerja di Norwegia dari orang dalam? Nyatanya, punya banyak relasi di Norwegia bisa jadi privilese, tapi mendapatkan pekerjaan karena relasi juga adalah sebuah keberuntungan. Cari kerja dimana-mana semakin susah. Jadi kalau memang layak dan punya kemampuan untuk mengisi sebuah posisi, saya rasa tak ada yang salah dengan memanfaatkan koneksi untuk dapat kerja. Seperti kata para ahli yang sering saya baca di LinkedIn, "jangan memancing di kolam besar yang harus bersaing dengan 100 pemancing lainnya. Tapi memancinglah di kolam kecil yang sedikit, bahkan tak ada pesaingnya."
Menurut kalian sendiri bagaimana dengan norma 'based on trust' saat merekrut orang ala Norwegia ini?
Artikel ini sangat menarik! Aku baru mengetahui bahwa rasa kepercayaan yang tinggi di masyarakat Norwegia berperan penting dalam cara mereka mencari kandidat pekerja. Sistem networking yang berlandaskan kepercayaan tidak hanya memperkuat hubungan profesional, tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang lebih harmonis. Ini menunjukkan betapa pentingnya membangun relasi yang baik dalam dunia kerja. Terima kasih telah berbagi wawasan ini kak Nin!
BalasHapusTengkyu banget sudah mampir dan ninggalin jejak ya :)
HapusSebenernya dimana2 nepotisme gak ada yang bagus sih. Iya, kamu percaya dengan si kandidat gara2 kenal. Tapi masalahnya, si kandidat ini punya skill yang di butuhkan perusahaan gak? Kebanyakan, kenal dan percaya doang, tapi pas di lapangan beda banget. Gara2 ini juga, skilled immigrants susah banget ngisi job market di Norwegia karena dikit2 ngasih jabatan ke kenalan dulu. Padahal yang dibutuhin tuh skill, bukan dikit2 masalah kepercayaan :/
Wkwkw kasian para imigran yg udah capek lamar sana sini, eh taunya percaya kerabat kolega lebih baik. Trust issues nya gede kah sama yg ngga kenal? cuma karena masalah ngga paham budaya norway
BalasHapusTapi orang Norwegia yang punya budaya homogen ini emang berat banget, lho, masukin orang asing yang sama sekali gak kenal budaya kerja mereka. Soalnya aku pun mengakui kalo budaya kerja orang Norwegia tuh emang beda banget. Makanya hanya perusahaan tertentu doang yang bener2 open sama international talents yang akhirnya lebih mentingin skills ketimbang level kefasihan bahasa si kandidat tersebut.
HapusHi,
BalasHapusAku Master Student di Norway dan aku pas baca ini cuman ketawa karena hampir semua yg kamu tulis itu bener. 🤣🤣
Aku datang ke sini tahun 2020 ambil 1st Master dan memang sestruggle itu untuk dapet kerja di sini untuk International Student kalo Gradenya biasa aja + ga punya Networking.
Setahun after graduate pake Job Seeker VISA dan masih belum dapat. Sampai akhirnya ambil 2nd Master dan masih berusaha cari opportunities sampai hari ini. Beruntungnya aku kuliah sektor Engineering, jadi ga harus bisa Norsk dan lebih mengutamakan skilled dan experiences. Meanwhile, temen2ku yg non - Engineering, mereka rata2 diminta untuk at least B1 dan aku jg sering denger soal strugglenya mereka.
Perihal Reference, memang bener sih. Aku dapat part time pertamaku dari kenalannya temanku yg sudah kerja di sana duluan. Dan sekarang dapat part time lagi karena ngegantiin temanku yg ketemu saat Summer Internship dan langsung keterima. Aku pun saat summer akhirnya dapat Internship sesuai Background di Engineering, aku percaya karena aku punya Reference yg mana ga semua temanku punya, regardless faktor2 lain seperti experience, keberuntungan, dll. Dan temenku yg orang lokal malah ga dapet. Well, banyak faktor juga sih yg turut serta dalam proses rekrutmentnya. Setelah dapat internship pertama itu, rasanya memang opportunity lain seolah lebih terbuka.
Dan Networking in Community jg sepowerful itu sih, aku join Social Informal event dan justru karena itu, aku dikenal sesama engineer sebagai partner dance bukannya Engineer. 😅
Sama seperti yg kamu tulis juga, gapapa banget kalo memang masuk karena punya Networking dan Reference. Di Indonesia-pun begitu sih. Tapi Skilled dan Knowledge yg akan "berbicara" ketika sudah masuk tahap interview dan keterima kerja. Apakah skilled dan knowledge sesuai dengan yg dibutuhkan atau tidak. Jadi walaupun punya reference, kita as an immigrant tetap harus bisa ngebuktiin kalo kita memang layak diposisi tersebut. 😁