Langsung ke konten utama

Norwegia, Negara Sarat Nepotisme


Entah sebuah kebetulan atau tidak, cerita au pair saya di 3 negara selalu dimulai dari mengasuh anak balita. Di Belgia, saya dihadapkan dengan anak usia 2 tahun yang sedang giat-giatnya tantrum dan keras kepala. Di Denmark lebih seru lagi, mengasuh bayi usia 4 bulan yang tak cuma seorang, namun kembar! Di Norwegia, tugas saya lebih menantang karena harus jadi au pair, mama pengganti, kakak, serta pengasuh untuk bayi yang usianya saat itu baru 3 minggu, serta si kakak yang belum menginjak 2 tahun. Bisa dibayangkan bagaimana kehidupan saya sebagai au pair yang selalu dibayang-bayangi tangisan dan tantrum dari para balita dengan karakter mereka yang berbeda-beda.

Sebagai orang tua yang punya anak balita, apalagi masih bayi, adalah normal rasanya untuk memastikan bahwa anak yang kita titipkan ke au pair baik-baik saja. Apalagi au pair ini hanyalah gadis asing yang asalnya (kebanyakan) dari negara ketiga yang tak punya kompetensi panjang sebagai nanny. Mereka tak pernah dilatih untuk merawat bayi baru lahir, pun tak dibekali kompetensi mengatasi tantrum dan psikologi anak balita. They are totally innocent. Harusnya sebagai orang tua, kita bisa lebih berhati-hati menitipkan anak ke orang asing yang belum kita kenal sepenuhnya. Tapi, hal ini justru berbeda saat saya tinggal bersama keluarga Denmark dan Norwegia yang super luwes. Was it a "Nordic thing"? Mungkin, tapi Norwegia cenderung berbeda.


Di rumah keluarga Norwegia dulu, saya seringkali ditinggal dengan dua balita dan hanya disuruh mengikuti semua arahan yang sudah orang tuanya berikan. Makan jam sekian, tidur jam sekian, mandi jam sekian. Yang terpenting bagi orang tuanya saat itu, anak-anak mereka harus diajarkan disiplin perihal jadwal makan dan tidur yang akan berimbas pada jam tubuh mereka setiap hari. Tanpa terkesan mengontrol, mereka tak memasang satu pun CCTV, baik di dalam maupun luar rumah.

Beberapa kali, saya juga ditinggal dengan si bayi dan si kakak saat orang tua mereka liburan. Pernah juga saat si bayi sedang sakit, orang tuanya hanya mempercayakan saya tinggal berdua saja di rumah tanpa pengawasan siapa pun. Logikanya, who was I to earn that trust? Kalau situasinya dibalik dan saya yang punya anak, entahlah apakah saya bisa sepercaya itu dengan gadis muda asing mengasuh bayi saya yang sedang sakit, sendirian di rumah, tanpa pengawasan siapa pun. I wouldn't take the risk!

Lalu cerita berlanjut saat saya menapakki tangga karir selulus kuliah. Saya semakin paham mengenai norma dan peraturan tak tertulis di negara ini ketika di-PHK perusahaan lama. Jika saat itu perjalanan karir saya mulus-mulus saja, mungkin saya tak akan belajar banyak hal lewat pengalaman pahit. Meski sempat di masa-masa sulit saat cari kerja lagi dan job offer dibatalkan sebuah perusahaan, namun bright side-nya, saya memahami sisi lain tentang pasar kerja di Norwegia yang tak semua orang Indonesia pernah alami dan bagikan. 


Yang seringkali saya dengar, 70% lowongan kerja di Norwegia sebetulnya tak pernah dipublikasikan. Saya didorong harus lebih aktif lagi menonjolkan personal branding di LinkedIn dan mengetuk banyak pintu ke beberapa perusahaan yang saya sukai. Jangan tanya berapa kali para kenalan dan mantan kolega menyarankan saya lebih aktif di LinkedIn dan 'jual diri' lebih masif. Banyak juga yang menganjurkan saya untuk sering-sering datang ke event dan bertemu orang baru untuk menambah jejaring relasi yang kemungkinan dapat membuka peluang kerja. Bagi saya pendatang yang tak punya banyak relasi bisnis, sosialisasi di Norwegia bisa jadi salah satu cara terbaik mendapatkan pekerjaan. Namun pertimbangan saya saat itu, networking akan jadi hal yang sangat melelahkan karena tak hanya perkara habis energi, namun juga uang dan waktu.

But I heard that A LOT! I need to network. Networking is important, blablablaJangan dikira saya tak pernah mencoba untuk datang ke banyak acara dengan harapan bertemu orang yang bisa mendatangkan peluang. Namun alih-alih bertemu orang baru agar bisa kenalan dan tambah relasi, saya memutuskan hanya datang ke beberapa acara informal yang tak terlalu fokus pada kesempatan kerja. Datang ke banyak acara profesional saat status masih pengangguran kadang tak efektif. Lebih tepatnya, rawan insecurity.

The thing is, I truly missed the norm here. Sosialisasi memang membosankan dan buang-buang energi, tapi faktanya, banyak orang justru mendapatkan pekerjaan lewat kerabat, relasi, ataupun kenalan. Hingga akhirnya saya paham bahwa... Norwegians don't hire strangers, but people they know. 

TRUST, alias kepercayaan, adalah norma terpenting dalam kehidupan bersosial di Norwegia. Sebuah studi dari OECD mencatat, tingkat kepercayaan orang Norwegia kepada pemerintahan tahun ini naik menjadi 77%. Sebuah angka yang sangat tinggi, dibandingkan Amerika Serikat yang hanya 26% saja. Bagi masyarakat Norwegia, jika kita percaya kepada pemerintahan dan satu sama lain, maka tingkat korupsi pun akan menurun. Level kepercayaan ini tak hanya berlaku di pemerintahan, tapi juga hal lain misalnya, sains, media, pemasaran, hingga rekrutmen. Sederhananya, orang Norwegia itu gampang percayaan dengan orang lain.


Poin tentang mengapa host parents saya dulu sebegitu entengnya mempercayakan anaknya diasuh oleh saya yang malah belum pernah punya anak ini, justru karena mereka sudah percaya dengan kemampuan dan personal saya dari awal. I have earned their trust. Entah kapan, mungkin dari kedatangan saya ke rumah mereka pertama kalinya dan memperkenalkan diri sebagai calon au pair. Kalau tak menaruh kepercayaan, mungkin saya tak akan direkrut jadi au pair. Walau saat itu belum sadar tentang norma tersebut, tapi kepercayaan mereka pun saya pegang dengan tanggung jawab besar. Saya ikuti semua peraturan yang sudah dibuat untuk anak-anak mereka tanpa dilanggar sedikit pun. Saya jaga dan asuh anak-anak mereka dengan baik layaknya anak sendiri. Juga, walau kadang sudah terlalu lelah dan ingin marah, saya tak berani main kasar meski tak ada CCTV yang mengawasi. 

Poin kedua, tentang cari kerja. Mengapa 70% lowongan kerja di Norwegia justru tak pernah dipublikasikan, karena perusahaan akan mencari relasi, kerabat, atau koneksi LinkedIn yang mereka kenal lebih dahulu untuk mengisi posisi tersebut. By knocking each door is definitely not enough, untuk kita para pendatang yang miskin relasi. It’s not a new game. Dimana-mana, punya kenalan orang dalam tentunya akan membuka kesempatan apapun lebih luas. Jadi, kalau menurut kalian cuma Indonesia yang mengandalkan 'the power of orang dalam', di Norwegia justru nepotismenya lebih kuat. 

"Kadang mereka itu hanya kenalan di sebuah acara, selanjutnya ngopi-ngopi, lalu di pertemuan ketiga tiba-tiba sudah direkrut saja. Semudah itu memberikan pekerjaan untuk orang yang sudah mereka kenal duluan, padahal orang tersebut kadang tak memiliki kompetensi mumpuni," ucap kenalan asal India yang juga salah satu mentor karir di Norwegia.

Tak hanya standar kantoran, berbagai pekerjaan di Norwegia pun akan lebih mudah didapat kalau kita mengenal orang dalam. Misal, si ibu yang bekerja menjadi kasir di sebuah toko, bisa memasukkan anaknya sekalian di toko yang sama untuk posisi berbeda. Suami yang bekerja di sebuah instansi, bisa merekomendasikan istrinya di instansi lain dengan lebih mudah. Atau misal, orang Filipina yang terkenal solid dan tak pelit berbagi, seringkali merekomendasikan kerabat sebangsanya duluan untuk mengisi sebuah lowongan. Si atasan yang sudah percaya dengan kinerja si Filipina ini juga biasanya ikut menaruh kepercayaan ke kerabat si Filipina, karena si atasan percaya dengan rekomendasi dari orang yang dikenalnya. So if A trusts B, then B introduces C, then A will trust C immediately. Simpelnya, karena A sudah percaya dengan B, maka siapapun orang yang direkomendasikan B pastinya terpercaya dan tak mengecewakan. 


Berbicara tentang inovasi dan inklusi di Nordik, salah satu fokus banyak organisasi lokal saat ini adalah membantu para talenta internasional untuk mendapatkan pekerjaan ahli di Norwegia. Bagi banyak pendatang, memahami norma berdasarkan asas kepercayaan ala orang Norwegia tak ada jalan pintasnya. Namun masalahnya, darimana mereka harus memulai? Apa yang harus mereka siapkan agar database relasi yang cukup dapat berbuah kesempatan? Yang mana yang lebih penting, belajar bahasa dulu atau bersosialisasi lebih dulu? Ditambah lagi, level kepercayaan orang Norwegia terhadap orang asing cenderung rendah dikarenakan proses integrasi yang makan waktu. Hal ini membuat talenta ahli justru kesulitan menembus pasar kerja Norwegia karena lanskapnya terlalu kompetitif. Sungguh, hal seperti inilah yang membuat banyak perusahaan Norwegia tak mampu berinovasi keluar dari Nordik karena apa-apa masih terbawa norma konservatif menutup pintu keberagaman (diversity).

"They tend to hire unskilled Norwegians, ketimbang talenta ahli internasional yang masih kurang terintegrasi dengan budaya lokal sepenuhnya. Padahal negara ini kurang talenta lokal berbakat," ucap salah seorang kenalan lain.

Wajarkah kita mengatakan hal ini sebagai sebuah keberuntungan dan privilese jika berhasil dapat kerja di Norwegia dari orang dalam? Nyatanya, punya banyak relasi di Norwegia bisa jadi privilese, tapi mendapatkan pekerjaan karena relasi juga adalah sebuah keberuntungan. Cari kerja dimana-mana semakin susah. Jadi kalau memang layak dan punya kemampuan untuk mengisi sebuah posisi, saya rasa tak ada yang salah dengan memanfaatkan koneksi untuk dapat kerja. Seperti kata para ahli yang sering saya baca di LinkedIn, "jangan memancing di kolam besar yang harus bersaing dengan 100 pemancing lainnya. Tapi memancinglah di kolam kecil yang sedikit, bahkan tak ada pesaingnya."

Menurut kalian sendiri bagaimana dengan norma 'based on trust' saat merekrut orang ala Norwegia ini?



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bule Ketemu Online, Bisakah Serius?

( PERHATIAN!!! SAYA BANYAK SEKALI MENERIMA TESTIMONIALS SOAL COWOK-COWOK DARI INGGRIS YANG MEMINTA ALAMAT SI CEWEK YANG DIKENAL VIA ONLINE. FYI , HAMPIR SEMUA MODUS PENIPUAN SEPERTI INI BERASAL DARI INGGRIS DAN AMERIKA! JANGAN PERNAH TERTIPU KEMASAN KULIT PUTIHNYA, KARENA BISA JADI YANG KALIAN AJAK CHATTING -AN ATAU VIDEO CALL -AN ITU ADALAH PENIPU !! JANGAN PERNAH BERI DATA DIRI SEPERTI NAMA LENGKAP, ALAMAT, SERTA NOMOR IDENTITAS ATAU KARTU KREDIT KE ORANG-ORANG ASING LEWAT DUNIA DIGITAL! BE SMART, BE AWARE, AND PLEASE JANGAN DULU BAPERAN KALO ADA YANG MENGAJAK NIKAH PADAHAL BARU SEMINGGU KENAL!!!) Selain berniat jadi au pair, ternyata blog saya banyak dikunjungi oleh cewek-cewek Indonesia yang ingin pacaran atau sedang dekat dengan bule. Gara-gara tulisan tentang cowok Eropa dan cowok Skandinavia , banyak pembaca blog yang mengirim surel ke saya dan curhat masalah cintanya dengan si bule. Aduh, padahal saya jauh dari kata "ahli" masalah cinta-cintaan. Saya sebetu

Mempelajari Karakter Para Cowok di Tiap Bagian Eropa

*I talk a lot about European boys in this blog, but seriously, this is always the hottest topic for girls! ;) Oke, salahkan pengalaman saya yang jadi serial dater  selama tinggal di Eropa. Tapi gara-gara pengalaman ini, saya juga bisa bertemu banyak orang baru sekalian mempelajari karakter mereka. Cowok-cowok yang saya temui ini juga tidak semuanya saya kencani. Beberapa dari mereka saya kenal saat workshop, festival, ataupun dari teman. Beruntung sekali, banyak juga teman-teman cewek yang mau menceritakan pengalamannya saat berkencan dari cowok ini, cowok itu, and all of them have wrapped up neatly in my head! Secara umum, tulisan yang saya ceritakan disini murni hasil pengalaman pribadi, pengalaman teman, ataupun si cowok yang menilai bangsanya secara langsung. Letak geografis Eropanya mungkin sedikit rancu, tapi saya mengelompokkan mereka berdasarkan jarak negara dan karakter yang saling berdekatan. Kita semua benci stereotipe, tapi walau bagaimana pun kita tetaplah bagi

7 Kebiasaan Makan Keluarga Eropa

Tiga tahun tinggal di Eropa dengan keluarga angkat, saya jadi paham bagaimana elegan dan intimnya cara makan mereka. Bagi para keluarga ini, meja makan tidak hanya tempat untuk menyantap makanan, tapi juga ajang bertukar informasi para anggota keluarga dan pembelajaran bagi anak-anak mereka. Selain table manner , orang Eropa juga sangat perhatian terhadap nilai gizi yang terkandung di suatu makanan hingga hanya makan makanan berkualitas tinggi. Berbeda dengan orang Indonesia yang menjadikan meja makan hanya sebagai tempat menaruh makanan, membuka tudung saji saat akan disantap, lalu pergi ke ruang nonton sambil makan. Selama tinggal dengan banyak macam keluarga angkat, tidak hanya nilai gizi yang saya pelajari dari mereka, tapi juga kebiasaan makan orang Eropa yang sebenarnya sangat sederhana dan tidak berlebihan. Dari kebiasaan makan mereka ini juga, saya bisa menyimpulkan mengapa orang-orang di benua ini awet tua alias tetap sehat menginjak usia di atas 70-an. Kuncinya, pola

First Time Au Pair, Ke Negara Mana?

Saya ingat betul ketika pertama kali membuat profil di Aupair World, saya begitu excited memilih banyak negara yang dituju tanpa pikir panjang. Tujuan utama saya saat itu adalah Selandia Baru, salah satu negara impian untuk bisa tinggal. Beberapa pesan pun saya kirimkan ke host family di Selandia Baru karena siapa tahu mimpi saya untuk bisa tinggal disana sebentar lagi terwujud. Sangat sedikit  host family dari sana saat itu, jadi saya kirimkan saja aplikasi ke semua profil keluarga yang ada. Sayangnya, semua menolak tanpa alasan. Hingga suatu hari, saya menerima penolakan dari salah satu keluarga yang mengatakan kalau orang Indonesia tidak bisa jadi au pair ke Selandia Baru. Duhh! Dari sana akhirnya saya lebih teliti lagi membaca satu per satu regulasi negara yang memungkinkan bagi pemegang paspor Indonesia. Sebelum memutuskan memilih negara tujuan, berikut adalah daftar negara yang menerima au pair dari Indonesia; Australia (lewat Working Holiday Visa ) Austria Amerika

Berniat Pacaran dengan Cowok Skandinavia? Baca Ini Dulu!

"Semua cowok itu sama!" No! Tunggu sampai kalian kenalan dan bertemu dengan cowok-cowok tampan namun dingin di Eropa Utara. Tanpa bermaksud menggeneralisasi para cowok ini, ataupun mengatakan saya paling ekspert, tapi cowok Skandinavia memang berbeda dari kebanyakan cowok lain di Eropa. Meskipun negara Skandinavia hanya Norwegia, Denmark, dan Swedia, namun Finlandia dan Islandia adalah bagian negara Nordik, yang memiliki karakter yang sama dengan ketiga negara lainnya. Tinggal di bagian utara Eropa dengan suhu yang bisa mencapai -30 derajat saat musim dingin, memang mempengaruhi karakter dan tingkah laku masyarakatnya. Orang-orang Eropa Utara cenderung lebih dingin terhadap orang asing, ketimbang orang-orang yang tinggal di kawasan yang hangat seperti Italia atau Portugal. Karena hanya mendapatkan hangatnya matahari tak lebih dari 3-5 minggu pertahun, masyarakat Eropa Utara lebih banyak menutup diri, diam, dan sedikit acuh. Tapi jangan salah, walaupun dingin dan hampa